Bab 143
"Bukannya aku ingin mengomelimu,
tapi kamu sudah membesar-besarkan masalah nggak penting. Dia hanya tokoh kecil.
Apa perlu aku yang turun tangan?"
Liam mendengus dingin. "Satya,
kalau ingin mewarisi Grup Suteja sepenuhnya, aku harus menyingkirkan Regina
dulu."
"Awalnya, asal aku membunuh
Regina dan dengan bantuanmu, aku bisa dengan mudah mengambil alih Grup
Suteja."
"Tapi Nathan muncul di tengah
jalan dan merusak rencanaku. Kalau nggak balas dendam, kelak bagaimana aku bisa
mempertahankan harga diriku lagi?"
Master Satya mengangguk dan berkata,
"Baiklah, aku juga agak penasaran dengan bocah bernama Nathan ini."
"Bisa-bisanya dia menetralisasi
racun buatanku. Kemampuannya lebih hebat dari Bayu, si pecundang tua itu. Aku
juga ingin bertemu dengannya."
Liam tampak percaya diri dan berkata
sambil tersenyum dingin, "Adik sepupuku terus-terusan melindunginya. Aku
kesulitan untuk menyentuh bocah itu."
"Tapi begitu Waldi, si bajingan
tua berhati hitam itu mengambil tindakan, bocah itu pasti akan mati."
Sore harinya.
Setelah mengalami hari yang panjang,
Emilia bersiap untuk meninggalkan Departemen Proyek Gluton.
Ken mengikutinya dan memohon, "Kak,
bisakah kamu membelikanku sebuah Porsche? Bantulah adikmu ini, kumohon."
Emilia menggelengkan kepalanya dan
berkata, "Ken, kamu memang adikku, tapi kamu juga seorang pria."
"Kalau menginginkan mobil mewah,
kamu harus mengandalkan diri sendiri. Aku sudah memberikan platform bagus
seperti Grup Sebastian. Asalkan kamu bekerja keras, membeli Porsche seharusnya
nggak sulit."
Ken tersenyum dan berkata, "Tapi
aku baru saja mulai menabung. Entah butuh berapa lama baru bisa sampai
miliaran."
"Kak, belikan dulu untukku. Biar
aku bisa menikmatinya. Lagi pula, aku ini adiknya CEO grup Sebastian, 'kan?
Jadi, aku harus mengendarai mobil mewah agar nggak mempermalukan Kakak,
'kan?"
Tamara ikut menimpali, "Benar.
Emilia, apa salahnya kamu berikan dua miliar atau empat miliar untuk Ken agar
dia bisa membeli mobil?"
"Kamu hanya punya satu adik.
Kalau kamu nggak sayang padanya, siapa lagi yang akan sayang padanya?"
Emilia merasa kesal dan menatap Ken
sambil berkata, " Aku tanya kamu, kenapa kamu tiba-tiba ingin membeli
mobil mewah? Bukankah kamu sendiri punya mobil?"
Ken berkata dengan nada meremehkan,
"Aku malas mengendarai BMW lusuh itu lagi. Tahukah kamu gadis-gadis
berkelas tinggi pun nggak mau aku antar? Yang bisa aku dapatkan hanyalah
gadis-gadis murahan."
Emilia tersenyum dingin. "Jadi,
kamu membeli Porsche hanya untuk pamer dan merayu gadis?"
Ken berkata dengan berani,
"Bukan begitu. Aku hanya nggak tahan dengan sikap Nathan. Sialan! Dia
hanya seorang gigolo, bagaimana dia bisa mengendarai mobil yang lebih mewah
dariku?"
"Benar. Emilia, setelah
pecundang itu meninggalkanmu, dia nggak perlu mengemis lagi untuk bertahan
hidup, tapi dia malah bertambah sukses."
"Kita mana boleh kalah darinya.
Dia mengendarai Porsche, jadi Ken juga harus mengendarai Porsche. Apalagi,
harganya harus lebih mahal dari miliknya."
Emilia tertawa. "Jadi, pada
akhirnya, kalian hanya ingin bersaing dengan Nathan?"
"Kalian tahu nggak, dia sekarang
wakil kepala Rumah Sakit Perdana? Setidaknya, posisinya juga termasuk pimpinan.
Ken, apa kamu bisa bersaing dengannya?"
Ekspresi wajah Tamara dan Ken
langsung berubah muram.
"Wakil kepala rumah sakit? Mana
mungkin? Kak, kamu pasti salah," seru Ken dengan tidak percaya.
Tamara juga menjulurkan lehernya dan
berteriak, " Nathan bisa menjadi pemimpin? Mana mungkin aku percaya."
Emilia masih ingin mengatakan hal
lainnya, tetapi ada sekelompok orang bergegas masuk ke departemen proyek.
Ekspresi wajah pria yang memimpin itu
tampak galak dan tatapannya juga menakutkan. Dia jelas merupakan seorang master
bela diri.
Dia menatap Emilia dan dua lainnya
dengan dingin. " Kalian dari Keluarga Sebastian, 'kan? Yang mana yang
namanya Emilia?"
Tanpa ragu sedikit pun, Emilia maju
ke depan dan berkata, "Aku Emilia. Ada keperluan apa kalian datang ke sini?"
"Bawa pergi!"
No comments: