Bab 15
Berita pemecatan Ruben dengan cepat
menyebar ke seluruh rumah sakit.
Dalam sekejap, para dokter dan
perawat sangat terkejut. Mereka tidak menyangka situasi akan berubah drastis.
"Dia memang pantas dia
mendapatkannya. Bajingan ini telah melecehkan perawat wanita berkali-kali.
Sekarang akhirnya dia mendapatkan balasannya."
"Syukurlah. Akhirnya Andre dan
putranya diberi hukuman. Dokter Nathan memang hebat dan pantang menyerah."
Banyak orang yang diam-diam bersorak.
Mereka lega karena Nathan tidak dikeluarkan dari rumah sakit.
Sebaliknya, mereka yang tidak
menyukai Nathan dan berharap pria itu dipecat, benar-benar kebingungan.
Wakil kepala rumah sakit tidak bisa
mengalahkan Nathan? Tidak masuk akal sekali.
Tanpa dukungan dari CEO Grup
Sebastian, Nathan bukanlah siapa-siapa.
Beberapa dokter pria yang punya
pemikiran cabul saling berpandangan. Dalam benak mereka sekarang bermunculan
adegan-adegan yang tidak senonoh.
Jangan-jangan Nathan menjadi
gigolonya kepala rumah sakit mereka?
Jika memang begitu permasalahannya,
orang-orang ini tidak akan bisa berdamai dengan Nathan.
"Adel, Dokter Nathan melakukan
semua ini demi membelamu. Dia sudah jadi pahlawan yang menyelamatkanmu.
Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padanya?"
"Benar. Adel, kamu termasuk
perawat paling cantik di rumah sakit kami. Kurasa satu-satunya yang bisa
mendapatkan hatimu hanyalah Dokter Nathan. Ayo, cepatlah."
Mendengar ledekan dan dorongan dari
rekan-rekannya, pipi Adel langsung memerah.
Dia menggertakkan giginya,
mengumpulkan keberaniannya, dan berjalan menuju ke dalam ruang periksa Nathan.
Tidak ada pasien saat ini. Melihat
perawat yang malu-malu itu masuk, Nathan tersenyum dan berkata, "Jangan
khawatir. Kamu juga dengar kalau Ruben telah dipecat, ' kan?"
Adel menggenggam erat ujung bajunya
dan menggigit bibirnya. "Dokter Nathan, aku datang ke sini untuk
mengucapkan terima kasih padamu, sekalian...."
"Sekalian, aku ingin mengatakan
sesuatu padamu. Aku sudah lama menyimpannya dalam hatiku."
Nathan berkata, "Adel, katakan
saja apa yang ingin kamu katakan. Nggak perlu segan denganku."
Mata Adel berbinar-binar. Dia berkata
dengan suara kecil, "Dokter Nathan, aku... aku ingin melahirkan anak
untukmu."
Selesai berbicara, Adel mulai
menyesal. Bukankah kata-katanya terlalu lancang? Bagaimana kalau Dokter Nathan
tidak menyukainya?
Dia menutupi wajahnya dengan
tangannya. Dia merasa dirinya sangat bodoh. Dia langsung berbalik dan bersiap
kabur.
Alhasil, dia tidak memperhatikan
jalan. Kakinya terbentur sudut meja. Dia menjerit kesakitan. Air matanya keluar
dan tubuhnya langsung jatuh ke dalam pelukan Nathan.
Nathan tiba-tiba merasa canggung. Dia
tidak menyangka perawat ini akan begitu ceroboh.
Belum sempat berbicara, sebuah
seringai terdengar dari luar ruangan.
Nathan melirik ke sana. Tampak wajah
Tiara yang terkejut dan juga malu.
"Nathan, kamu nggak tahu
malu."
Nathan kebingungan. "Memangnya
aku kenapa?"
Tiara tersenyum sinis. "Masih
bertanya? Siang bolong begini, apalagi ini ruang periksa pasien. Kamu malah
membiarkan seorang perawat melayanimu dengan mulut?"
"Singkatnya, kamu nggak tahu
malu, bajingan yang nggak taliu malu. Kamu tunggu saja. Aku pasti akan
membongkar sisi menjijikkan pada Regina nanti."
Melihat Tiara yang berjalan pergi
dengan marah, Nathan bernar-benar kehabisan akal. Dia tidak mengerti mengapa
Tiara akan bereaksi seperti itu.
Saat menundukkan kepalanya, dia baru
menyadari wajah perawat itu tepat berada di bawah selangkangannya.
"Ini ...."
Meski Nathan sangat pintar, dia juga
tidak tahu harus berkata apa saat ini.
Pintu ruang periksa didorong terbuka.
Para dokter dan perawat, baik pria maupun wanita, langsung bergegas masuk.
"Hebat. Dokter Nathan, kamu
benar-benar tahu cara bersenang-senang. Yang lebih menarik lagi, kepala rumah
sakit kami juga ikut menonton. Dokter Nathan memang hebat."
"Adel, kami mendorongmu untuk
menyatakan perasaan dan bukannya untuk menyiarkannya secara langsung. Tapi apa
boleh buat? Aku suka melihat kalian melakukan ini. Haha."
Mendengar berbagai tawa dari
rekan-rekannya, Nathan hanya menghela napas tak berdaya. Kali ini, dia
benar-benar tidak punya cara untuk menjelaskan lagi.
Sementara itu.
Pagi-pagi, Emilia dan Daniel telah
bergegas mengunjungi Grup Nugroho, perusahaan milik orang terkaya di Beluno,
Bima, untuk menyerahkan proposal mereka.
"Jangan khawatir, Emilia. Dengan
kualifikasi dan sumber daya keuangan Grup Sebastian dan juga Keluarga Liman,
Tuan Bima pasti akan memberikan tanah panti asuhan itu kepada kita untuk
dikembangkan."
Daniel terus-terusan memberi jaminan.
Dia tampak penuh percaya diri.
Sejak Grup Nugroho mengumumkan akan
menjual tanah panti asuhan, Emilia segera membuat berbagai macam persiapan dan
bergegas untuk bersaing memperebutkannya.
"Jangan senang terlalu cepat.
Bima termasuk veteran yang berpengalaman. Kita harus berhati-hati dalam menghadapinya."
Emilia menggelengkan kepalanya.
Ekspresinya sangat tenang.
"Tapi dilihat dari sudut mana
pun, persyaratan yang ditawarkan oleh Grup Sebastian seharusnya nggak bisa
ditolak oleh Bima."
Emilia baru saja selesai berbicara.
Salah seorang anggota staf Grup
Nugroho datang.
Daniel tersenyum bangga dan berkata,
"Lihat. Emilia, aku benar, 'kan? Tak disangka, kabar baik akan keluar
begitu cepat."
Namun detik berikutnya, senyum di
wajahnya langsung membeku.
Karena staf tersebut berkata,
"Maaf, Bu Emilia. Proposal dan penawaran yang dibuat Bu Emilia belum
memenuhi persyaratan kami."
Emila tiba-tiba merasakan firasat
buruk. Dia mengerutkan kening. "Maaf, apa Tuan Bima sudah memeriksanya
sendiri?"
Staf itu berkata dengan tenang,
"Ya, Tuan Bima yang turun tangan memeriksanya. Proposal ini bisa ditolak
juga karena Tuan Bima menganggapnya sebagai sampah"
Emilia langsung membeku di tempat.
Proposal yang dia rencanakan dengan
sepenuh hati, bahkan dia sendiri juga merasa sangat sempurna, tetapi Tuan Bima
malah menyebutnya sebagai sampah?
Daniel sangat marah dan berkata,
"Aku nggak percaya. Masa proposal kami ditolak? Aku ingin bertemu dengan
Tuan Bima."
Staf itu meliriknya sekilas, lalu
bertanya sambil tersenyum, "Bertemu dengan Tuan Bima? Kamu kira kamu
pantas?"
Selesai berbicara, dia langsung
berbalik dan pergi tanpa melihat Daniel sedikit pun.
Daniel sangat kesal, tetapi dia tidak
berani mengatakan apa-apa. Dia merasa seolah-olahnya pipinya tertampar.
Di hadapan orang paling kaya di
Beluno, tuan muda Keluarga Liman seperti Daniel sama sekali bukanlah apa-apa.
Awalnya, Daniel hanya ingin pamer di
hadapan Emilia. Siapa sangka, dia malah membuat dirinya menjadi bahan
tertawaan.
"Tuan Daniel, Grup Nugroho
sangat kuat. Kita nggak bisa menyentuhnya untuk saat ini. Ayo pergi. Sepertinya
kita nggak punya harapan untuk mendapatkan tanah itu lagi.
Emilia tampak kecewa. Dia menghela
napas dan bersiap pergi.
Daniel tidak rela. Dia mendengus
dingin. "Emilia, tunggu sebentar. Aku bukan orang yang nggak berguna
seperti Nathan."
"Sudah kubilang, aku akan
membantumu mendapatkan tanah panti asuhan, jadi aku pasti akan menepati janji
itu. Aku akan minta ayahku menelepon Tuan Bima sekarang juga."
Emilia tidak terlalu percaya diri.
"Kamu yakin Tuan Bima akan menggubris kepala Keluarga Liman?"
Daniel berkata dengan bangga,
"Tuan Bima memang orang yang paling berkuasa di Beluno, tapi dia masih
segan terhadap Keluarga Liman kami."
Dia segera mengeluarkan ponsel dan
menelepon ayahnya.
"Halo, Ayah, ini aku. Aku ingin
Ayah menelepon Tuan Bima, orang terkaya di Beluno dan memintanya untuk
memberikan kemudahan."
Kepala Keluarga Liman bertanya di
ujung sana, "Apa yang kamu katakan? Katakan sekali lagi?"
Daniel mengulangi. "Aku ingin
Ayah menelepon Tuan Bima dan memintanya untuk memberikan kemudahan."
"Kamu gila? Apa orang kaya
sepertinya akan memberikan kemudahan pada keluarga kelas dua seperti kita? Apa
yang kamu pikirkan?"
"Selain itu, aku bahkan nggak
tahu nomor telepon Tuan Bima. Bagaimana aku bisa menelepon? Sudahlah, aku tutup
teleponnya!"
Setelah rentetan umpatan, ayahnya
langsung menutup telepon. Apalagi, terdengar sangat marah.
Daniel tertegun di tempat, dengan
ponsel yang masih menempel di telinganya,
Gawat! Sepertinya dia terlalu
menyombongkan diri kali ini.
No comments: