Bab 148
Emilia menarik napas dalam-dalam dan
menenangkan diri.
"Tuan Waldi, meski kamu penguasa
Hessen, kamu juga nggak boleh sembarangan memukul orang. Aku yakin Edward pasti
akan menegakkan keadilan untukku nanti."
Masalah sudah sampai di tahap ini,
Emilia tidak percaya Waldi masih tidak akan memberi muka pada Keluarga Halim.
Siapa sangka, Waldi berkata dengan
nada menghina, " Edward? Bocah itu masih berutang ratusan miliar padaku.
Kamu ingin dia menegakkan keadilan untukmu? Haha. Bahkan saat bertemu denganku,
bocah itu masih harus berlutut."
Orang-orang dari Hessen juga tertawa
terbahak-bahak saat ini.
"Putra sulung Keluarga Halim
bukanlah apa-apa. Dia hanya pecundang yang punya penampilan luar yang kuat.
"Kamu begitu cantik dan juga CEO
berbakat. Sayang sekali kamu mengikutinya. Lebih baik kamu ikut aku saja
daripada Edward, si pecundang nggak punya masa depan itu. Aku jamin Keluarga
Sebastian kalian pasti akan makmur!"
"Nona Emilia, aku terus terang padamu
saja. Edward itu hanyalah sampah. Kalau bukan karena reputasi ayahnya, Thomas,
dia pasti sudah hancur dari dulu!"
Emilia diam-diam mengumpat dalam
hati. Orang-orang dari Hessen ini begitu sombong. Mereka bahkan meremehkan
Keluarga Halim.
Yang makin membuatnya bingung adalah
mengapa Alfian, kepala Bank Beluno juga mengatakan Edward terlilit utang
sebelumnya?
Sekarang Waldi juga mengatakan Edward
terlilit utang.
Kalau hanya satu orang yang
mengatakan hal itu, mungkin saja itu rumor.
Namun, sudah beberapa orang
mengatakan padanya. Meski Emilia percaya pada Edward, wanita itu juga mulai
menaruh sedikit kecurigaan.
"Tuan Waldi, karena
orang-orangmu begitu sombong, apa kamu berani membiarkanku menelepon Edward
sekarang?" ucap Emilia dengan suara berat. Mungkin hanya dengan kemunculan
Edward, orang-orang Hessen ini akan menyerah.
Waldi tertawa. "Menarik!
Lantaran Nona Emilia ingin menelepon, silakan saja. Lagi pula, aku nggak
terburu-buru."
Sikap percaya diri Waldi membuat
Emilia merasa makin tidak nyaman.
Namun, Keluarga Halim juga termasuk
keluarga kelas satu di Beluno. Dia tidak menyangka karakter Edward akan begitu
buruk seperti yang dikatakan oleh Waldi dan yang lainnya.
Emilia segera menelepon Edward.
Namun setelah lama menelepon, masih
tidak ada yang mengangkat.
Emilia mengerutkan kening. Biasanya,
begitu melihat Emilia meneleponnya, Edward akan selalu bersikap sopan dan tidak
pernah melewatkan satu panggilan pun dari wanita itu.
Jadi. dia terus menelepon.
Tetap saja tidak ada yang mengangkat
panggilan itu.
Waldi mendengus dingin. "Nona
Emilia, jangan buang-buang waktu lagi. Edward pasti takut denganku dan langsung
bersembunyi. Sekalipun membunuhnya, dia juga nggak mungkin datang ke
sini."
Wajah Emilia berubah pucat.
Kegelisahan dalam hatinya makin bertambah.
Apa sebenarnya yang terjadi pada
Edward?
"Aku akan beri kamu satu
kesempatan terakhir. Cepat telepon Nathan dan pancing dia ke sini. Dengan
begitu, kamu akan aman," kata Waldi dengan dingin.
"Kalau nggak, kamu begitu cantik
dan menawan, saudara -saudaraku pasti sudah nggak sabar untuk menikmati
tubuhmu."
Setelah mengatakan itu, dia mulai
tertawa terbahak-bahak.
Emilia mulai merasa takut sekarang.
Namun, dia menggigit bibirnya dan
berkata dengan keras kepala, "Tuan Waldi, maaf. Aku nggak bisa mengikuti
perintahmu."
Waldi menepuk kursi dan berkata,
"Huh! Ayo kita lihat, mulutmu lebih keras atau cambukku lebih keras."
"Pukul dia, tapi jangan lukai
wajah dan kakinya yang indah karena saudara-saudara lainnya masih ingin
bersenang-senang dengannya nanti."
Sebuah cambuk tipis jatuh tepat di
punggung Emilia.
Seketika, noda darah yang mencolok
muncul di pakaian Emilia.
Rasa sakit yang luar biasa membuat
air mata muncul di mata indah Emilia.
Namun, Emilia masih keras kepala dan
menggigit bibirnya erat-erat. Dia menolak mengatakan sepatah kata pun.
Waldi mendengus dingin. "Kamu
cukup keras kepala juga. Mari kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan. Pukul
dia terus!"
Cambuk itu langsung menghantam
punggung Emilia dengan keras.
Dalam beberapa detik, noda darah
berubah menjadi darah lengket.
Emilia tidak bisa menahan diri lagi
karena rasa sakit yang luar biasa. Dia pun berteriak, "Bunuh saja aku!
Kalau kalian punya nyali, bunuh saja aku."
No comments: