Bab 149
"Kamu mau telepon atau
nggak?" teriak Waldi.
Emilia menggigit mulutnya yang penuh
darah. Wajahnya kini pucat pasi, tetapi dia tetap menggelengkan kepalanya
dengan lemah, "Nggak. Aku nggak akan membiarkan Nathan mempertaruhkan
nyawanya. Menyerah sajalah!"
Waldi tampak marah dan berteriak
keras, "Pukul lagi! Pukul sampai dia patuh!"
Cambuk itu kembali menghantam
punggung Emilia dengan keras bagai hujan badai.
Tak butuh waktu lama, tubuh Emilia
sudah berlumuran darah. Bahkan, ada kulit di bagian punggungnya yang terkoyak.
Dia menjerit kesakitan dan kemudian tak sadarkan diri.
Pria tua berambut putih yang duduk di
sebelah Waldi, yang juga dikenal sebagai Bahir, itu tersenyum aneh dan berkata,
"Wanita ini keras kepala sekali."
"Orang seperti ini, sekalipun
kamu memukulnya, juga nggak akan mematahkan tekadnya sepenuhnya. Aku punya
rencana yang bisa membuatnya menyerah."
"Bahir, apa kamu punya taktik
yang lebih bagus?" tanya Waldi.
Dia juga ingin mengubah metodenya,
karena jika dia terus memukul Emilia sampai mati, takutnya hasilnya juga tidak
seperti yang dia inginkan.
Bahir tertawa. "Dia gadis yang
cantik sekali. Aku merasa kasihan padanya. Alih-alih menghancurkannya,
bagaimana kalau Tuan Waldi menunjukkan kejantanan seorang pria di
hadapannya?"
"Seberapa kuat pun kegigihan
seorang wanita, asalkan jatuh di tangan laki-laki, dia pasti akan takluk!"
Mendengar itu, Waldi langsung
merasakan ketegangan di perut bagian bawahnya. Dia tertawa cabul dan berkata,
"Bahir benar. Aku sudah lama punya ide ini. Kecantikan gadis ini memang
sangat langka ditemukan!"
"Bahir, kamu paling senior di
sini. Bagaimana kalau kamu lebih dulu memberi contoh?"
Melihat sikap Waldi yang rendah hati,
Bahir tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Tuan Waldi, jangan bercanda.
Aku sudah berusia lebih dari 70 tahun dan juga seorang master bela diri. Aku
hanya akan menonton dan menikmati dari samping. Aku nggak punya stamina tinggi
seperti kalian lagi."
Waldi tertawa. "Bahir, kamu
terlalu rendah hati. Semua orang tahu kamu itu sosok yang perkasa sewaktu masih
muda dulu."
Ada sedikit kebanggaan yang muncul di
wajah keriput Bahir. Dia berkata sambil mengenang, "Benar sekali. Kalau
aku masih muda seperti 30 tahun yang lalu, staminaku sudah pasti nggak akan
kalah dibandingkan kalian!"
Waldi tertawa cabul dan berkata
kepada anak buahnya, " Bangunkan dia. Ayo kita lakukan hal yang lebih
seru!"
Anak buah itu menuangkan baskom
berisi air dingin ke wajah Emilia dan segera membangunkannya.
Melihat tubuh Emilia yang kini basah,
seksi, dan juga penuh darah itu, gairah dalam hati pria-pria yang ada di
sekitar sana langsung bangkit.
Daren bergegas keluar dan berkata
dengan penuh semangat, "Ayah, bolehkah aku mencobanya lebih dulu?"
Selesai berbicara, tanpa menunggu
jawaban Waldi, dia mulai membuka ikat pinggangnya dengan tidak sabar dan
mendekati Emilia sambil tersenyum cabul.
Waldi, yang duduk di kursi utama,
tampak memperlihatkan ekspresi penuh penyesalan.
Namun, mengingat putra tunggalnya
telah banyak menderita akhir-akhir ini dan perlu melepaskan rasa frustrasinya,
Waldi terpaksa menahan rasa panas di perut bagian bawahnya.
"Wanita murahan, bukankah kamu
pernah berpacaran dengan Nathan? Kalau begitu, aku akan mempermainkanmu dengan
kejam. Nanti saat Nathan melihat ini, dia pasti akan marah besar."
Daren menjilat bibirnya, lalu menatap
tubuh halus Emilia dengan tatapan penuh nafsu. Dia terus-menerus menelan
ludahnya.
Emilia langsung menutupi dadanya dan
refleks melangkah mundur.
Namun, hanya bergerak sedikit saja
sudah membuat luka di punggungnya terasa sakit dan membuatnya meringis.
"Dasar bajingan, aku lebih baik
mati daripada membiarkan kalian menyentuhku."
Daren mencibir, lalu berjalan
mendekat dan menampar wajah Emilia.
"Wanita jalang, kamu sekarang
jatuh di tanganku. Apa kamu pikir kamu bisa bertindak sesuai keinginanmu?"
"Sejujurnya, saat aku melihatmu
di samping Edward hari itu, aku sudah ingin menidurimu. Sayangnya, aku nggak
punya kesempatan!"
No comments: