Bab 225
"Kebetulan kakekku punya buku
kedokteran yang nggak begitu dia pahami, jadi dia ingin kamu membantunya."
Nathan tersenyum dan berkata,
"Nggak masalah. Asal ada waktu, aku pasti akan pergi mengunjungi Pak
Willy."
Ada dua lesung pipit yang muncul di
wajah cantik perawat itu. Dia pun melangkah pergi dengan gembira.
Emilia yang berdiri di samping
menyaksikan pemandangan ini dengan tatapan tidak senang.
"Nathan, perawat kecil ini dari
Keluarga Setiawan, keluarga terpandang di Beluno, 'kan?" tanya Emilia.
Nathan tidak tahu terlalu banyak
tentang latar belakang Keluarga Setiawan, keluarganya Adel, jadi pria itu pun
menjawab, "Aku kurang tahu."
Emilia tersenyum pahit dan berkata,
"Nggak perlu pura-pura lagi. Tatapan matanya yang penuh kekaguman itu
sudah begitu jelas. Dia sepertinya tergila-gila padamu."
"Haha. Sejak berpisah denganku,
hubungan asmaramu cukup mulus juga. Sebelumnya ada Nona Regina, kemudian Nona
Tiara dari Keluarga Wijaya."
"Sekarang bertambah satu Adel
lagi. Nathan, sepertinya meninggalkanku barulah pilihan terbaik bagimu."
Nathan berkata sambil memasang
ekspresi datar, "Kamu sudah bicara begitu banyak, jadi apa yang sebenarnya
ingin kamu ungkapkan?"
"Selain itu, bukan aku yang
meninggalkanmu, tapi kamu, Bu Emilia. Kamu punya ambisi tinggi dan menganggapku
sebagai beban penghalangmu. Itu sebabnya, kamu mencampakkanku."
"Apa Bu Emilia lupa dengan semua
ini?”
Wajah Emilia memerah. Bibirnya yang
pucat sedikit terbuka. "Kamu ... kamu tahu aku nggak pernah bermaksud
begitu."
Nathan mendengus dingin. "Aku
nggak peduli apa maksudmu lagi sekarang. Aku juga nggak khawatir."
Sikapnya begitu dingin dan tampak
tegas.
Emilia tiba-tiba merasa sedih. Tanpa
disadari, air matanya telah menggenangi matanya.
"Nathan, kamu bilang kamu nggak
peduli padaku lagi, jadi mengapa kamu datang ke sini?"
"Kamu datang untuk mengolok-olok
ibuku dan adikku? Melihat mereka dipukul dan hampir mati, kamu pasti sangat
senang, 'kan?"
"Melihat kondisiku yang
menyedihkan seperti ini, kamu pasti mengejekku dalam hati. Aku memang pantas
mendapatkannya. Aku ini wanita bodoh dan nggak pandai menilai orang,
'kan?"
Ketakutan, penghinaan, penyesalan
mendalam, dan juga lelah yang dia rasakan semalam.
Semuanya berkumpul dan langsung
meledak keluar saat ini.
Ekspresi Nathan membeku.
Dia belum pernah melihat Emilia
menangis tersedu-sedu seperti itu.
Sejak Nathan mengenalnya, Emilia
selalu kuat, keras pada dirinya sendiri, dan juga sangat peduli dengan harga
diri.
Saat ini, Emilia memeluk tubuhnya
yang lemah, meringkuk di tepi tempat tidur, dan terisak pelan.
Kalau bukan karena pertahanan dirinya
runtuh, Nathan tahu bahwa sifat keras kepalanya Emilia tidak mungkin membuatnya
menundukkan kepala di hadapan orang lain, apalagi menangis seperti sekarang
ini.
Tiara masuk dan berkata,
"Nathan, cepat bawa Nona Emilia pergi istirahat. Dia nggak tidur sepanjang
malam dan belum makan apa pun. Kalau terus seperti ini, dia akan pingsan."
Emilia menyeka air matanya dan
berkata dengan keras kepala, "Terima kasih, Nona Tiara. Tapi aku baik-baik
saja."
Nathan berkata dengan nada dingin,
"Apa kamu lebih mengerti kondisimu sendiri daripada dokter? Ayo, ikutlah
denganku."
Selesai berbicara, tanpa peduli
dengan perlawanan Emilia, Nathan langsung meraih tangan wanita itu dan berjalan
menuju ruangannya.
Emilia berusaha meronta beberapa
kali, tetapi melihat tatapan mata Nathan yang begitu dingin, dia langsung
mengerti dan tidak berani melawan lagi.
Nathan sekarang tidak seperti dulu
lagi, yang begitu patuh padanya.
Sebaliknya, Emilia dulu sangat keras
kepala dan kasar.
Namun, Emilia tidak merasa terganggu
ataupun menolak.
Sebaliknya, sikap Nathan yang
mendominasi membuat jantungnya berdebar tidak terkendali.
Nathan dan Emilia baru saja
meninggalkan ruang ICU.
Belasan pengawal berkacamata hitam
mengelilingi Edward, mendorong pintu hingga terbuka, dan bergegas masuk.
No comments: