Bab 106
Ada darah di sudut mulut Emilia. Dia
juga sangat panik.
Bagaimanapun juga, ini ruangannya
Alfian. Dia kini terkunci di dalamnya. Siapa yang bisa datang menolongnya?
Apa dia benar-benar akan dinodai oleh
pria cabul ini di sini?
Tanpa sadar, air mata yang menggenang
di pelupuk matanya pun turun membasahi wajahnya.
Di saat kritis seperti ini, orang
pertama yang muncul di benaknya bukanlah Edward, sang tunangannya.
Melainkan Nathan.
Tepat di saat ini!
Terdengar suara pintu didobrak!
Pintu ruangan Alfian ditendang hingga
terbuka.
Emilia dan Alfian terkejut. Keduanya
langsung menoleh.
Nathan melangkah masuk sambil
memasang ekspresi dingin. Dia mengangkat kakinya dan langsung menendang dada
Alfian.
Terakhir, terdengar suara jeritan
keras. Tubuh Alfian yang beratnya melebihi 100 kg terpental ke belakang dan
menghantam meja.
Tendangan kuat itu seketika membuat
Emilia tercengang.
"Ke kenapa kamu bisa
datang?"
Emilia memperlihatkan tatapan kosong.
Bekas tamparan di wajahnya tampak merah sekali.
Tatapan mata Nathan terlihat dingin.
"Kenapa aku bisa datang? Bu Emilia benar-benar pelupa. Bukankah kamu yang
menelepon dan memintaku datang ke sini?"
Emilia tergagap. "Bukan,
maksudku, ba... bagaimana kamu bisa masuk?"
"Kamu nggak perlu tahu masalah
ini!"
Nathan menatapnya, lalu berteriak
dengan marah, "Aku mau tanya, siapa yang memberimu keberanian untuk
memasuki ruangan pria buncit ini sendirian, apalagi tanpa ada seorang pun yang
menemanimu?"
"Aku ... aku barusan nggak
berpikir begitu banyak. Nathan, kamu jangan marah!"
Nathan berkata dengan dingin,
"Aku nggak marah. Aku hanya merasa kamu bodoh sekali."
Emilia mengerutkan bibirnya dan tidak
mengatakan apa pun lagi.
Nathan tampak sangat menakutkan saat
ini.
Namun, bukankah yang menjadi korban
di sini adalah Emilia? Mengapa Nathan begitu galak padanya?
Alfian mengerang, lalu perlahan
bangkit dari lantai. Urat -urat di wajahnya tampak menonjol. "Beraninya
kamu memukulku. Aku pasti akan menghabisimu."
Emilia terkejut dan buru-buru
berkata, "Nathan, ayo kita pergi. Jangan khawatir. Sebentar lagi akan ada
orang yang datang membantu kita."
Nathan berkata sambil memasang
ekspresi datar, " Tangan mana yang digunakan si gendut ini untuk
memukulmu?"
Emilia tertegun. Dia tidak tahu apa
maksud pertanyaan Nathan.
Di saat genting seperti ini, untuk
apa dia menanyakan hal ini?
Nathan berteriak, "Tangan yang
mana?"
Tubuh Emilia bergetar. Dia pun
berkata dengan takut-takut, "Tangan kanan!"
Selanjutnya, dia melihat Nathan
berjalan menghampiri Alfian dan menginjak tangan kanannya dengan keras.
Krek, krek!
Suara tulang retak dan jeritan
histeris terdengar secara bergantian.
Pergelangan tangan Alfian langsung
dipatahkan oleh Nathan.
"Nathan, kamu...."
Saat ini, Emilia merasa pikirannya
menjadi kosong.
Pria ini sangat kejam. Apa Nathan
sedang membalas dendam untuknya?
Nathan bergegas memapah Emilia dan
berjalan keluar. Wajahnya masih memasang ekspresi datar. "Dia menamparmu,
jadi aku memotong salah satu tangannya. Ini sangat adil."
Alfian buru-buru keluar dan
berteriak, "Satpam, tangkap bajingan kecil ini untukku. Bunuh dia, bunuh
dia!"
Tap, tap, tap.....
Belasan satpam Bank Beluno bergegas
datang sambil membawa tongkat.
Beberapa karyawan bank juga mendekat,
lalu menatap Nathan dengan marah.
Namun saat melihat kondisi
menyedihkan Alfian, mereka semua terkejut.
"Pak Alfian, bagaimana Anda ...
bisa berakhir seperti ini?"
Alfian menutupi tangannya yang patah
dan berkata kepada Nathan, "Kalau aku nggak membunuhmu hari ini, jangan
panggil namaku lagi."
"Beraninya kamu menyentuhku.
Tahukah kamu siapa aku? Aku ini kepala Bank Beluno. Bagiku, menghabisimu
hanyalah masalah mudah."
Plak! Plak!
Nathan mengangkat tangannya dan
menamparnya sebanyak dua kali.
Alfian bahkan tidak sempat untuk
mengerang. Dia langsung memuntahkan darah segar. Bahkan, giginya juga tanggal.
No comments: