Bab 156
Terdengar suara benturan keras.
Bahir tiba-tiba melompat dan memukul
atas kepala Waldi dengan telapak tangannya.
"Bahir, kamu, kamu, kamu...."
Dengan darah mengucur dari mulut dan
hidungnya, tangan Waldi terus-terusan menunjuk Bahir. Terakhir, sebelum sempat
menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya sudah ambruk ke tanah.
Tatapan Bahir tampak membeku.
"Kalau kamu berani menyentuh orang yang berkuasa, kamu ditakdirkan mati.
"Kita sudah menyinggung putra
Keluarga Anggoro. Nyawa kita sudah nggak terselamatkan lagi. Kamu pergilah
dulu. Aku akan segera menyusulmu."
Arjun yang berdiri di belakang
menyaksikan pemandangan itu sambil menahan napas. Dia tampak ketakutan sekali.
Tanpa perlu bertindak ataupun dipaksa
secara fisik, hanya mengandalkan status Nathan, seorang master bela diri
seperti Bahir dan Waldi langsung didesak sampai mati.
Sebenarnya, seberapa hebat identitas
asli Tuan Nathan hingga bisa membuat semua orang ketakutan seperti itu?
"Tuan Bima, setelah aku mati,
merepotkanmu dan juga Tuan Nathan agar nggak mempermalukan sekte dan
keluargaku. Apa Tuan Bima bisa menyetujui permintaanku ini?" Bahir
berlutut di tanah dan memohon dengan suara serak.
Bima berkata dengan acuh tak acuh,
"Tuanku nggak pernah menyakiti orang yang nggak bersalah. Jangan khawatir,
kami nggak akan menyentuh Sekte Bimala dan keluargamu."
Bahir menghela napas panjang.
"Kalau begitu, aku sudah tenang."
Selanjutnya, terdengar suara teredam
dari mulutnya. Darah mengalir dari sudut mulutnya. Dia menggigit lidahnya
sendiri untuk bunuh diri.
Bima menoleh dan melirik pria di
belakangnya. "Arjun."
Arjun tampak menggigil. "Tuan
Bima, silakan beri instruksi!"
Bima berkata dengan nada datar,
"Segala sesuatu yang terjadi di sini hari ini harus dirahasiakan. Jangan
sampai ada sedikit pun yang bocor ke luar."
"Kalau nggak, konsekuensinya
bukanlah sesuatu yang bisa kita berdua tanggung, mengerti?"
Melihat ekspresi Bima yang penuh arti,
Arjun hanya bisa menelan ludahnya. "Aku mengerti, aku mengerti. Tuan Bima,
apa Tuan Nathan sungguh... putra dari keluarga kerajaan Anggoro?"
Bima melambaikan tangannya dan
berkata, " Sebenarnya, menanyakan hal seperti ini nggak ada gunanya
bagimu."
"Arjun, kamu hanya perlu ingat
satu hal. Bisa bekerja dengan tuanku merupakan anugerah yang seharusnya kamu
syukuri."
Arjun mengangguk dengan
sungguh-sungguh. "Terima kasih untuk petunjuknya, Tuan Bima. Selain itu,
terima kasih Tuan Nathan sudah memberiku keberuntungan ini.
Tak lama kemudian, berita telah
menyebar di kalangan kelas atas dan kalangan bawah tanah Beluno.
Waldi Antonius, penguasa Hessen,
telah tersingkirkan dari Beluno sejak saat itu.
Dalam sekejap, seluruh masyarakat
kelas atas Beluno gempar.
Rumah Sakit Perdana.
Emilia tertidur lelap di ranjang
rumah sakit. Luka di punggungnya telah sembuh total.
Di samping tempat tidur, ada gumpalan
besar kapas-kapas yang berlumuran darah.
Tiara menggertakkan giginya dan
berkata dengan marah, "Waldi dan anak buahnya benar-benar berengsek!
Teganya mereka menyiksa seorang gadis hingga seperti ini. Mereka memang
bajingan!"
Nathan hanya memasang ekspresi dingin
dan tidak memberikan tanggapan.
Tiara meliriknya dan bertanya dengan
cemas, "Kamu sudah kembali, tapi apa Kak Arjun dan Tuan Bima bisa
menangani situasi di Hessen sana?"
"Nggak ada yang perlu
diselesaikan. Mereka di sana hanya perlu berurusan dengan Waldi, si bajingan
tua itu saja," ucap Nathan dengan nada datar.
Wajah kecil Tiara bergetar.
"Nathan, kekuatan Waldi bukanlah kecil. Aku nggak percaya kamu bisa
menyelamatkan Nona Emilia sendirian."
Nathan mendengus dingin. "Aku
nggak peduli seberapa besarnya kekuatan yang dimiliki Waldi. Aku bukan hanya
menyelamatkan Emilia, tapi aku juga ingin seluruh Hessen lenyap di
Beluno."
Tiara tertegun. Mulutnya sedikit
terbuka. "Ja ... jangan gegabah. Aku tahu kamu marah, tapi untuk
menghadapi Waldi, kamu masih harus membuat rencana jangka panjang."
No comments: