Bab 145
Tentu saja dia tahu orang seperti apa
Waldi itu.
Namun permasalahannya sekarang, dia
masih berutang ratusan miliar pada Waldi. Jadi, dia tidak punya hak untuk
menantang penguasa bawah tanah Hessen itu.
"Bibi, jangan khawatir. Aku akan
mencari cara untuk menyelesaikan masalah ini. Waldi, si bajingan tua ini,
berani menyentuh Emilia. Aku pasti akan membuatnya membayar harga mahal!"
Meski Edward takut, putra sulung
Keluarga Halim masih mempertahankan nada sombong, seolah-olah dia tidak menganggap
serius Waldi sama sekali.
Tamara tersenyum dan berkata,
"Sudah kuduga. Edward, asal kamu mengambil tindakan, meski Waldi si
bajingan tua itu penguasa bawah tanah Hessen, dia juga harus melepaskan Emilia
dengan patuh."
Edward kembali meyakinkannya. "Bibi,
kamu tenang saja. Waldi masih harus memberi muka kepada Keluarga Halim
kami."
Begitu panggilan telepon berakhir.
Wajah Edward langsung berubah cemas,
bagaikan semut di wajan panas. Sikap sombongnya barusan lenyap dalam seketika.
"Waldi, Emilia itu wanita yang
aku sukai. Aku bahkan belum sempat mencicipinya. Kamu malah ingin mencobanya
dulu? Huh! Jangan harap ada hal seperti itu bisa terjadi!"
Makin memikirkannya, Edward makin
kesal. Wajahnya tiba-tiba berubah ganas dan dia pun menelepon Waldi.
"Tuan Waldi, meski aku berutang
padamu, kamu juga nggak perlu membawa pergi wanitaku. Tolong lepaskan dia
secepatnya."
Begitu panggilan tersambung, Edward
langsung mengungkapkan permintaannya, apalagi nadanya juga keras.
Di ujung telepon sana, Waldi hanya
menanggapinya dengan tenang. "Edward, aku sarankan sebaiknya jangan ikut
campur masalahku."
"Kamu masih berutang ratusan
miliar padaku, atas dasar apa kamu berdebat denganku di sini?"
"Aku membawa pergi gadis
Keluarga Sebastian hanya demi satu tujuan. Aku ingin membuat bajingan kecil
bernama Nathan itu datang dan berlutut di hadapanku serta mengakui
kesalahannya."
Edward merasa terkejut sekaligus
gembira. "Jadi, Tuan Waldi ingin menyerang Nathan?"
Waldi mendengus dingin, "Benar,
putraku, Daren, hampir dipukul sampai mati olehnya. Bajingan kecil ini juga
berani menendangku. Kamu kira aku masih akan membiarkannya hidup?"
Edward buru-buru berkata, "Tuan
Waldi, kamu harus membunuhnya. Kamu nggak boleh melepaskannya begitu
saja."
"Tapi bukankah yang ingin kamu
lawan itu Nathan? Kenapa kamu malah menculik wanitaku? Tuan Waldi, berbelas
kasihanlah. Lepaskan Emilia."
Waldi tidak peduli. "Emilia ini
adalah alat tawar-menawarku untuk menghadapi bocah itu. Aku nggak mungkin
melepaskan wanitamu ini."
Amarah Edward yang tertahan kembali
muncul. "Tapi Tuan Waldi, aku sudah bilang barusan. Emilia itu wanitaku.
Kamu malah menculiknya begitu saja. Bagaimana dengan harga diriku?"
Waldi tersenyum sinis. "Kamu
terlilit banyak utang. Walau kamu itu tuan muda terbaik di Beluno, tapi itu
hanya julukan belaka. Dari luar kelihatan bagus, tapi dalamnya nggak
berguna."
"Kamu minta aku meninggalkan
harga diri untukmu? Edward, bukankah kamu menganggap dirimu terlalu
tinggi?"
Perkataan Waldi penuh dengan
penghinaan.
Wajah Edward memerah. Dia
menggertakkan giginya dan berkata, "Tuan Waldi, kamu sungguh nggak mau
melepaskan Emilia?"
Waldi berkata dengan nada tidak
sabar, "Omong kosong! Aku nggak akan menyerah sampai aku berhasil membunuh
bocah bernama Nathan itu."
"Sudahlah, begitu saja. Aku
nggak akan melepaskan Emilia. Setelah aku lihat, ternyata Emilia ini cantik.
Sekarang dia jatuh di tanganku, menurutmu apa mungkin aku nggak
bersenang-senang dengannya?"
Terdengar suara 'tut'. Panggilan
telepon telah ditutup.
Tangan Edward yang memegang telepon
mulai bergetar tak terkendali.
Emilia adalah wanitanya, tetapi saat
ini, ada orang yang mengatakan dia ingin bermain dengan wanitanya.
Penghinaan dan kemarahan yang hebat
membuat wajah Edward berubah seketika. "Waldi, kamu bajingan!"
No comments: