Bab 146
Saat ini, Nathan berada di Rumah
Sakit Perdana.
Arjun menelepon dan berkata,
"Tuan Nathan, ada sesuatu yang ingin saya laporkan pada Anda."
"Kak Arjun, katakanlah. Ada
masalah apa?" kata Nathan.
Arjun berkata dengan suara yang
dalam, "Begini, orang-orangku melihat Emilia, CEO Grup Sebastian, dibawa
pergi oleh anak buahnya Waldi di proyek Gluton."
"Kapan hal ini terjadi?"
Suara Nathan tiba-tiba berubah
dingin.
"Baru saja. Emilia sepertinya
dibawa ke Hessen. Saya rasa Waldi, si bajingan itu mungkin akan menggunakan
Emilia untuk menghadapi Anda, Tuan Nathan," jawab Arjun dengan cepat.
Nathan berkata dengan nada serius,
"Kalau begitu, aku akan menghabisi nyawanya!"
Arjun sangat ketakutan hingga
tubuhnya gemetar. Dia buru-buru berkata, "Tuan Nathan, apa Anda ingin
mengambil tindakan? Saya akan mengumpulkan anak buah dan mengikuti Anda ke
Hessen."
"Nggak perlu, aku bisa ke sana
sendirian. Aku mau lihat apa yang akan dilakukan Waldi," ucap Nathan
dengan datar.
Arjun berkata dengan nada putus asa,
"Tuan Nathan, Waldi bukanlah orang yang mudah dihadapi. Kalau Anda pergi
ke sana sendirian, saya khawatir ....
Sebelum dia menyelesaikan
perkataannya, Nathan sudah lebih dulu menyelanya. "Jangan khawatir, asal
aku pergi ke sana sendirian, nggak peduli seberapa banyak pun master hebat di
Hessen, yang akan mati hanyalah Waldi."
Selesai berbicara, Nathan pun menutup
telepon.
Tiara yang berada di sampingnya
tampak heran. " Nathan, apa yang terjadi? Mengapa raut wajahmu begitu
muram?"
Nathan mengambil baju luarannya dari
rak dan memakainya. Dia kemudian berkata dengan tenang, 11 Emilia ditangkap
oleh Waldi. Ini terjadi karena aku. Aku harus pergi ke sana."
Tiara terkejut dan berkata,
"Kamu berani pergi ke Hessen sendirian? Jangan lupa, itu wilayah
kekuasaannya Waldi.
"Begini saja. Aku akan hubungi
Regina dan kakekku untuk meminta bantuan mereka."
Nathan menggelengkan kepalanya dan
berkata, "Sudah terlambat. Emilia sudah dibawa pergi sekarang. Aku harus
segera ke sana. Kalau nggak, mungkin akan lebih bahaya."
Kemudian, mobil Porsche Panamera
hitam miliknya langsung melaju kencang menuju Hessen.
Sementara itu, Hessen.
Waldi tampak di duduk di kursi utama.
Saat ditendang oleh Nathan
sebelumnya, kursi di belakangnya bahkan ikut hancur hingga berkeping-keping.
Tak perlu waktu lama, Waldi segera
mengganti kursi yang baru.
"Hari ini akan menjadi hari
kematian bocah itu!"
Waldi melirik sekelilingnya sambil
tersenyum gembira.
Ratusan anak buah Hessen sudah berada
dalam siaga tinggi.
Bahkan, tiga master tersembunyi
kekuatan bawah tanah yang dia miliki pun muncul hari ini.
Ketiganya merupakan master hebat dari
sekte bela diri yang memiliki keterampilan unik.
Sekarang mereka bertugas sebagai
pendukung Hessen.
Waldi harus mengeluarkan uang dalam
jumlah besar setiap tahun.
Jika bukan karena berada dalam
situasi putus asa, Waldi juga tidak akan sembarangan meminta bantuan.
Lantaran biaya yang dia keluarkan
untuk meminta para master ini mengambil tindakan sekali saja sangatlah tinggi.
"Tuan Waldi, bukankah dia hanya
orang bodoh yang tahu sedikit ilmu pengobatan tradisional dan seni bela diri?
Apa perlu sampai kami bertiga yang menghadapinya?"
Yang duduk di sebelah kiri Waldi
adalah seorang lelaki tua berambut putih. Dari nada bicaranya, dia tampak tidak
puas.
Waldi berkata dengan nada serius,
"Bahir, bocah itu bahkan bisa membunuh Zevan yang punya pistol. Kita harus
waspada padanya."
Bahir berkata dengan nada meremehkan,
"Zevan memang bukan apa-apa. Jangankan punya pistol, sekalipun memberinya
senapan mesin, aku juga bisa membunuhnya dalam hitungan detik!"
Waldi berkata sambil tersenyum,
"Tentu saja kekuatan Zevan nggak bisa dibandingkan denganmu, Bahir."
"Tapi aku minta kalian bertiga
datang bukan hanya untuk menghadapi bocah itu, tapi aku masih harus tetap
waspada terhadap Keluarga Suteja dan Dokter Bayu itu."
Bahir mendengus dingin. "Waktuku
sangat berharga. Aku nggak akan menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang nggak
penting. Aku hanya akan turun tangan kalau para master Keluarga Suteja atau
Dokter Bayu datang."
"Tapi kalau yang datang ke sini
hanyalah lawan kelas teri, aku nggak akan bertindak. Tuan Waldi, meski begitu,
kamu masih harus memberi upah kerja keras pada kami dan nggak boleh kurang
sedikit pun."
No comments: