Bab 18
"Bagus, putriku. Pria nggak tahu
berterima kasih ini memang pantas disiram!"
"Kak, bagus sekali. Menurutku,
kamu seharusnya nggak hanya menyiramnya dengan air, tapi kamu juga harus
menamparnya agar dia mengingatnya."
Tamara dan putranya bertepuk tangan
dan bersorak. Keduanya diam-diam merasa bangga.
Daniel berkata sambil tersenyum
jahat, "Nathan, bahkan aku merasa kasihan padamu. Emilia adalah gadis yang
baik, lembut, dan berbudi luhur. Kamu bukan hanya nggak menghargainya dengan
baik, tapi kamu juga membuatnya emosi."
"Kamu benar-benar nggak
tertolong lagi. Pantas saja, Emilia minta putus denganmu."
Melihat air di wajah Nathan yang
jatuh membasahi bajunya, Emilia tertegun sejenak.
"Ke... kenapa kamu nggak
menghindar?"
Nathan memang bisa menghindar, tetapi
dia tidak ingin.
"Apa kamu puas sekarang?
Senang?"
"Aku rasa seharusnya kamu lebih
jelas daripada siapa pun mengenai sifat asli ibumu dan juga adikmu itu."
"Kamu percaya dengan apa yang
mereka katakan. Emilia, kamu benar. Berpisah adalah keputusan yang paling bagus
buat kita berdua. Lantaran kamu hanyalah seorang gadis bodoh!"
Suara Nathan begitu dingin. Bahkan,
tidak ada sedikit pun kehangatan dalam tatapan matanya. Membuat tubuh Emilia
bergetar tanpa alasan yang jelas.
Benar juga. Apa yang sedang dia
lakukan?
Apa Nathan benar-benar orang seperti
itu?
Apalagi, Ibu dan adik laki-lakinya
selalu bersikap tidak masuk akal. Yang satunya suka bergosip dan yang satunya
lagi begitu arogan. Kenapa dia bisa memercayai perkataan mereka?
Seketika, ada penyesalan menyusup
dalam hati Emilia. " Nathan, aku ...."
Nathan mengangkat tangan untuk
menghentikannya berbicara. "Aku nggak tertarik mendengar kata-katamu lagi.
Aku hanya ingin bilang, jagalah dirimu dengan baik. Meski ibumu nggak bermoral,
aku juga nggak akan melakukan apa pun padanya."
"Sebaiknya, kamu selidiki dulu
apa yang telah dilakukan adikmu. Kalau lawannya orang lain dan bukan aku,
kurasa dia pasti sudah dipukul sampai mati. Bukannya hanya ditampar beberapa
kali seperti sekarang ini."
Usai mengatakan itu, Nathan pun
berbalik dan pergi.
Emilia merasa bersalah. "Nathan,
maafkan aku. Dengar dulu penjelasanku, ok?"
Nathan menoleh dan tersenyum sinis.
"Apa yang perlu dijelaskan? Bukankah kamu menganggapku sebagai bajingan
yang nggak bisa dipercaya? Kata-katamu nggak bisa ditarik lagi. Apa Bu Emilia
masih belum puas dan ingin mengambil tindakan lagi?"
Mulut Emilia terbuka, tetapi tidak
ada sepatah kata pun yang keluar.
Ken berteriak, "Nathan, jangan
mencoba membingungkan orang."
"Kamulah yang memukulku dan juga
ingin menyerang ibuku. Ini semua kenyataan, nggak perlu diragukan lagi."
Tamara ikut menimpali. "Benar.
Kamu jelas telah bertindak kejam kepada kami berdua. Luka Ken adalah buktinya.
Selain itu, pinggangku masih sakit sekarang. Aku masih belum perhitungan
denganmu."
Daniel meledeknya. "Nathan, kamu
sengaja memasang tampang menyedihkan dan berharap Emilia akan bersimpati
padamu. Bibi dan Ken punya bukti, apa kamu punya?"
Para tamu yang sedang makan di
restoran itu cukup banyak. Saat ini, satu per satu dari mereka mulai memandang
Nathan dengan tatapan tidak bersahabat dan marah.
Pria ini benar-benar goblok!
Beraninya dia menyinggung CEO cantik yang terkenal di Beluno ini? Bukankah hal
ini hanya akan membuatnya menjadi musuh ribuan pria di Beluno?
Tiba-tiba, sebuah suara menyela.
"Siapa bilang Dokter Nathan
nggak punya bukti? Aku ada di tempat kejadian waktu itu. Aku juga termasuk
saksi mata."
Mereka tercengang. Entah siapa yang
membantu Nathan berbicara.
Diikuti oleh semilir angin
sepoi-sepoi yang harum, Tiara yang menenteng tas Chanel itu berjalan mendekati
mereka.
Nathan mengerutkan kening. Tak
disangka, gadis ini masih belum pergi. Tampaknya, dia datang ke sini untuk
membuat masalah.
Daniel dan Ken memandang Tiara dengan
ekspresi cabul sambil menelan ludah mereka.
Astaga! Yang satu ini pastinya yang
terbaik di kalangan wanita.
Gadis imut yang berdada besar.
Apalagi, wajahnya begitu mungil yang polos. Gadis inilah yang didamba-dambakan
oleh semua pria.
"Dokter Nathan, kamu sabar kali.
Jelas-jelas wanita jalang dan pria berwajah bengkak ini yang mengarang cerita,
tapi mereka malah menyalahkanmu. Aku sungguh nggak paham apa yang sedang kamu
pikirkan."
Tiara tidak peduli begitu banyak
lagi. Begitu mendekati mereka, dia langsung memandang Tamara dan Ken dengan
pandangan meremehkan.
Tamara sangat kesal dan mengumpat,
"Siapa orang ini? Beraninya kamu menyebutku sebagai wanita jalang? Kamu
tahu siapa aku? Grup Sebastian itu milik keluarga kami dan Emilia, CEO Grup
Sebastian, adalah putriku."
Tiara mendengus dingin. "Lantas?
Memangnya aku peduli?"
Daniel tiba-tiba berseru, "Tiara
Wijaya? Kamu kepala Rumah Sakit Perdana, Keluarga Wijaya yang terkenal dengan
dokter genius itu?"
Kelopak mata Tamara berkedut.
Nyalinya mendadak ciut. "Tuan Daniel, apa dia benar-benar dari Keluarga
Wijaya dengan dokter genius itu?"
Daniel tersenyum pahit dan berkata,
"Dia bukan hanya berasal dari Keluarga Wijaya, tapi dilihat dari
penampilannya, sepertinya dia juga satu-satunya cucu dokter genius Bayu."
Tamara tidak berbicara lagi. Ada
kepanikan yang muncul di wajahnya.
Grup Sebastian memang terkenal di
industri bisnis, tetapi Keluarga Wijaya, keluarga dokter genius, merupakan
keluarga kelas atas di Beluno.
Jika mau dibandingkan, berdasarkan
warisan mendalam yang dimiliki Keluarga Wijaya, Grup Sebastian sama sekali
bukanlah apa-apa.
"Kamu mantan Dokter Nathan,
Emilia, CEO Grup Sebastian yang cantik dan berbakat itu, 'kan?"
Tiara sama sekali tidak tertarik
untuk menggubris tokoh kecil seperti Tamara.
Dia lebih memusatkan perhatiannya
pada Emilia.
Emilia berkata, "Aku bukanlah
CEO cantik dan berbakat, tapi kamu benar. Namaku Emilia."
Tiara berkata dengan nada datar,
"Seharusnya kamu orang yang cerdas, jadi aku akan langsung terus terang
padamu."
"Nggak ada satu pun kata-kata
yang keluar dari mulut ibumu dan adikmu yang benar."
"Waktu itu, adikmu mendatangi
rumah sakitku sambil membawa parang dan mengancam Dokter Nathan. Terakhir,
lantaran nggak berhasil bernegosiasi, adikmu langsung meluncurkan parangnya
pada Dokter Nathan."
"Oh ya, ibumu juga pantas
mendapatkan pujian. Aku belum pernah melihat harimau betina yang begitu ganas
sepanjang hidupku. Untungnya, Dokter Nathan punya temperamen yang baik. Kalau
aku berada di posisinya, aku pasti sudah mencakar habis wajah ibumu."
Kata-kata itu seketika membuat wajah
Emilia memerah karena malu.
Dia ingin membantah, tetapi tidak
tahu harus memulainya dari mana.
Ternyata, kebenarannya seperti itu.
Apa Ibu dan adiknya sedang
menggunakan modus' maling teriak maling'? 1
Apalagi, Emilia sudah salah paham
terhadap Nathan. Dia bahkan menyiram pria itu dengan air.
"Bisa-bisanya kalian menggunakan
parang. Keterlaluan sekali."
Setelah melirik Tamara dan Ken,
Emilia langsung menggertakkan giginya.
Tak disangka, kesalahpahaman ini akan
begitu dalam. Sampai-sampai, Emilia pun merasa malu sekali.
Tamara diam-diam mengumpat Tiara,
tetapi dia tidak berani menyinggung gadis itu. Dia menoleh ke arah Nathan dan memarahinya,
"Ini semua gara-gara pecundang ini. Kalau bukan karena dia nggak tahu
berterima kasih dan menolak memberikan tanah itu padamu, mana mungkin aku dan
Ken akan mencari masalah dengannya?"
Ken juga ikut menimpali dengan polos.
"Kak, aku terlalu gegabah saat itu dan hanya ingin menakut-nakutinya.
Siapa sangka bajingan ini cari mati sendiri dan memancing emosiku."
"Diamlah. Kamu sudah bukan anak
kecil lagi, apa kamu masih harus membuat orang khawatir seperti ini?"
Emilia langsung menegurnya. Dia sama
sekali tidak memercayai adiknya.
Dia menatap Nathan dan memasang
ekspresi bersalah. " Nathan, aku benar-benar minta maaf padamu."
"Aku akan membelikanmu pakaian
baru sebagai kompensasi karena sudah mengotori pakaianmu."
Nathan memasang ekspresi datar.
"Nggak perlu. Aku nggak pantas menerima barang pemberian Bu Emilia."
Tiara mengedipkan matanya, lalu
berkata kepada Nathan dengan bangga, "Dokter Nathan, aku sudah membantuku
memberikan penjelasan. Bukankah sehatusnya kamu berterima kasih kepadaku?"
Nathan berkata dengan nada datar,
"Sepertinya aku nggak memintamu untuk mengurusi urusanku."
Tiara tampak kesal. Gadis itu
memelototi Nathan, lalu meninggalkan tempat itu dengan marah.
Namun, dia juga bukannya tulus datang
untuk membantu Nathan.
Sebaliknya, dia punya motif
tersembunyi. Dia ingin Nathan berutang budi padanya. Sayangnya, Nathan tidak
terjerumus dalam jebakannya.
Daniel tertawa dan berkata,
"Bibi, Ken, Emilia, bukankah hanya kesalahpahaman kecil saja? Yang penting
sudah diluruskan sekarang."
"Nathan, kamu juga nggak perlu
merasa dirugikan. Bibi lebih tua dari kita, Ken juga adiknya Emilia. Apa kamu
sungguh ingin mereka minta maaf padamu? Sudahlah, hentikan sampai di sini saja.
Sebagai pria, kamu harus lebih berpikiran terbuka."
Setelah melontarkan nasihatnya,
Daniel merapikan jas mahalnya dan menatap Nathan sambil tersenyum.
"Oh ya, Nathan, kamu mungkin
belum tahu. Aku sudah membantu Emilia mengambil alih tanah panti asuhan."
"Suasana hatiku baik hari ini.
Kamu boleh bergabung dengan kami untuk merayakannya."
Ken langsung menyanjungnya. "Kak
Daniel memang hebat. Nggak seperti gigolo nggak berguna itu."
Tamara melengkungkan bibirnya dan
berkata, "Kalau orang itu punya sepertiga dari kemampuan Tuan Daniel, aku
juga nggak akan begitu membencinya."
Nathan sudah bersiap pergi, tetapi
saat mendengar perkataan Daniel, dia langsung tersenyum sinis.
"Tak disangka, Tuan Daniel
bermuka tebal juga. Tapi apa kamu yakin kamu yang membantu Emilia mendapatkan
tanah panti asuhan?"
No comments: