Bab 194
Wanita cantik itu berkata dengan
ngeri, "Edward, jangan main-main. Dia itu ayahmu, juga kepala Keluarga
Halim. Kalau berani memberontak, kamu pasti akan mati."
Edward tersenyum sinis. "Aku
nggak bodoh. Aku nggak perlu melakukan hal-hal seperti membunuh ayahku dan
merebut takhta secara terang-terangan."
"Ingat obat yang aku berikan
padamu. Beri dia makan setiap hari seperti biasa. Tapi mulai hari ini,
tingkatkan dosisnya. Aku rasa tubuhnya sudah nggak kuat lagi. Dia pasti nggak
akan bertahan lebih dari sebulan!"
Wanita cantik itu menggigil dan
langsung menolaknya. " Nggak bisa. Kalau terlalu kentara, pasti akan
ketahuan sama ayahmu. Saat itu, aku pasti akan dibunuh."
"Aku sudah berbaik hati
membantumu. Jangan memaksaku lagi. Aku nggak mau mengambil risiko."
Edward tidak berbicara. Dia hanya
menatap tubuh wanita itu dari atas hingga ke bawah. Mendadak ada senyum mesum
yang muncul di sudut mulutnya.
"Ibu Tiri, kita sekarang berada
di kapal yang sama. Kita sudah melakukan semua hal yang boleh ataupun yang nggak
boleh kita lakukan."
"Kalau kamu nggak membantuku,
apa kamu pikir kamu akan selamat kalau ayahku tahu apa yang terjadi di antara
kita?"
Wanita cantik itu sangat marah. Dia
mengangkat tangannya dan menampar wajah Edward. "Dasar bajingan, kamu
mengancamku?”
Edward meraih tangannya dan
memeluknya dengan kasar. Napasnya terengah-engah, lalu berbisik sambil
tersenyum cabul di telinga wanita cantik itu, "Ibu Tiri, sebaiknya kamu
dengarkan aku. Saat posisi kepala Keluarga Halim jatuh di tanganku, hari-hari
baikmu juga akan datang."
"Ayahku sekarang sudah sekarat.
Aku tahu kamu juga sudah muak dengan pria tua itu."
"Sebaliknya, aku masih muda,
kuat, dan penuh energi. Aku bisa memuaskan apa pun yang kamu inginkan. Bisa
dikatakan, membantuku juga termasuk membantu dirimu sendiri."
Wajah wanita cantik itu dipenuhi rasa
malu dan marah. Dia memberontak selama beberapa saat, tetapi dia tidak bisa
lepas dari cengkeraman Edward. Dia pun perlahan-lahan menjadi patuh.
"Kamu ... pelan sedikit.
Baiklah, kamu benar-benar membuatku nggak berdaya. Aku akan membantumu, sudah
puas?"
"Tapi Edward, kamu harus ingat
kata-katamu. Setelah kamu menjabat sebagai kepala Keluarga Halim, kamu harus
memperlakukanku dengan baik."
Mendengar jawaban patuh itu, wajah
Edward memperlihatkan ekspresi puas dan penuh nafsu. Dia mencengkeram bokong
wanita itu dengan kuat dan berkata sambil terkekeh, "Jangan khawatir, Ibu
Tiri. Aku pasti akan menepati janjiku."
Wanita cantik itu masih tidak menyerah
dan bertanya, " Kalau begitu, bagaimana dengan Emilia dari Grup Sebastian
itu? Bagaimana dengan hubungan kalian berdua?”
Edward berkata dengan cuek,
"Jangan terlalu banyak berpikir. Ibu Tiri, hanya kamu yang aku cintai.
Emilia cuma alat yang aku gunakan untuk memperkuat Keluarga Halim."
Wanita cantik itu baru tersenyum puas
dan mencium wajah Edward.
Setelah keduanya berpisah, wanita itu
merapikan pakaiannya yang berantakan, lalu memaksakan senyum anggun, dan
melangkah keluar dengan kaki putihnya yang panjang menuju ke aula.
"Sayang, kamu cari aku?"
Edward berbalik meninggalkan aula.
Senyum di wajahnya perlahan berubah.
"Nggak lama lagi, nggak lama
lagi. Asalkan aku menduduki posisi kepala Keluarga Halim, Nathan dan lainnya
nggak akan berani meremehkanku lagi. Saat itu, siapa yang berani melawanku,
semuanya harus mati!"
"Dokter Nathan, apa kamu ingin
merobohkan Klub Balavan dan merenovasi kembali?"
Regina dan Tiara tampak terkejut.
Saat ini, Nathan bersama dua gadis
itu sedang makan malam di sebuah restoran privat.
Nathan mengangguk dan berkata,
"Ya, aku punya rencana lain."
Regina menyarankan. "Dokter
Nathan, Klub Balavan sebenarnya sangat menguntungkan. Apalagi, lokasinya sangat
strategis. Kalau kamu terus menjalankannya, pasti akan menjadi aset yang sangat
besar.”
"Nathan, Klub Balavan milik
Keluarga Halim termasuk sarang uang yang terkenal di Beluno. Ada banyak orang
kaya yang datang untuk bermain. Kamu bosnya sekarang. Kamu bisa terus
mengembangkan bisnis dan membuatnya menjadi makin kuat!" tambah Tiara.
Nathan tersenyum dan berkata,
"Menghasilkan uang bukanlah hal yang penting bagiku."
"Setelah merobohkannya, aku
berencana membangun klinik untuk menyediakan perawatan medis yang baik bagi
masyarakat umum di Beluno. Menurutku, rencana ini lebih baik daripada hal
lainnya."
Setelah mendengar itu, Regina juga
ikut berpikir.
Ekspresi Tiara tampak aneh dan
bertanya, "Nathan, apa kamu berencana meninggalkan Rumah Sakit Perdana dan
menjalankan bisnismu sendiri?"
"Aku bilang dulu ya. Kalau kamu
pergi, aku juga nggak akan bekerja di sana lagi. Kamu nggak boleh pergi.”
No comments: