Bab 148
Melihat kejadian ini, Cakra hanya
bisa tersenyum masam. Dia sudah tahu seharusnya tidak membiarkannya minum
alkohol, bahkan koktail sekalipun.
Dari sebelah ruang VIP, Yanuar
melihat Nindi yang sedang menari. Dia seketika bersiul, "Tarian yang
indah."
Setelah melihat itu, Sania merasa
sedikit kesal. Ternyata, rubah penggoda di luar sana memang selalu berhasil
menarik perhatian pria.
Dia sebenarnya selalu menggantung
perasaan Yanuar dan tidak pernah berpikir untuk menerima cintanya.
Namun, hari ini, setelah menerima
telepon yang diduga dari ayahnya, dia seketika merasa sangat panik. Kalau
kehilangan Keluarga Lesmana sebagai sandaran, dia harus segera mencari pacar
anak orang kaya untuk dinikahi.
Hari ini Yanuar mengungkapkan
perasaannya di bar, Sania pun dengan terpaksa menerimanya.
Sania menggeretakkan gigi,
"Yanuar, ayo kita turun dan menari juga."
"Ayo!"
Yanuar menatap gadis yang sedang
menari di tengah lantai dansa, tetapi karena ada Sania di sampingnya, dia tidak
berani terlalu terang-terangan. Bagaimanapun, hari ini dia baru saja berhasil
menaklukkan Sania, bahkan berhasil menidurinya.
Tidak lama kemudian, Nindi melirik
dari sudut matanya bahwa Yanuar dan Sania mendekat.
Dasar pengacau.
Nindi berbalik dan berjalan menuju
Cakra, tetapi seorang pria muda yang menjijikan berjalan mendekat dan
menghalangi langkah Nindi, "Nona rubah, kamu menari dengan sangat seksi,
maukah kamu minum satu gelas bersamaku? Aku yang traktir."
"Nggak perlu."
Nindi dengan tegas menolak, tapi
orang itu tampaknya tidak mau menyerah, "Lagi pula kamu juga sendirian,
'kan. Sudah datang ke bar, jangan terlalu jual mahal, dong."
"Siapa bilang aku
sendirian?"
Nindi maju dan menggenggam lengan Cakra,
lalu menoleh melihat pria menjijikan itu dan berkata, " Ini pacarku."
Mendengar kalimat ini, Cakra seketika
menoleh dan menatap dalam-dalam gadis di sampingnya itu.
Cahaya di sekeliling remang-remang,
namun gadis yang ditatapnya seolah-olah memancarkan sinar.
Tenggorokannya terasa tercekat. Cakra
kemudian mengangkat pandangannya dan melirik pria menjijikan itu.
Tatapan matanya dingin, dengan
sedikit tatapan yang mengintimidasi.
Pria menjijikan itu seketika merasa
takut, tetapi enggan kehilangan harga diri, "Jangan bicara sembarangan,
aku nggak lihat kalian pernah berinteraksil Dia ini bukan pacar kamu,
'kan?"
"Slapa bilang?"
Nindi berjinjit, menengadah, lalu
mengecup pipi Cakra, "Sekarang terbukti, 'kan?"
Cakra pun membeku di tempat. Sentuhan
lembut di pipinya terasa seperti sehelai bulu yang perlahan melayang melewati
dadanya.
Terlihat ringan, namun rasanya
seperti pukulan keras yang menghujam tepat di jantungnya.
Musik di lantai dansa sangat keras,
dia bisa merasakan detak jantungnya tidak teratur.
Melihat situasi ini, pria menjijikan
itu pun pergi.
Nindi menghela napas, lalu menyadari
apa yang telah dilakukannya, dia menatap pria di depannya dan berkata,
"Eh, aku cuma ingin menghindari gangguan dari pria yang menjijikan
itu."
Saat ini, dia malah merasa bahwa dia
terlalu berani tadi.
Sepertinya dia sedikit mabuk. Di
bawah pengaruh musik dan lingkungan, dia berani melakukan hal itu.
Sorot mata Cakra gelap seperti
pusaran hitam, seolah-olah bisa menarik orang ke dalamnya.
Nindi merasa sedikit gelisah saat dia
ditatap oleh Cakra, "Eh, kamu nggak marah, 'kan? Kamu takut kalau sampai
pacarmu tahu dan dia bakal cemburu?"
Dia mengakui bahwa tindakannya
barusan memiliki unsur kesengajaan!
Dia sedikit tidak bisa mengendalikan
perasaannya terhadap Cakra
Di tengah keramaian, Cakra merangkul
Nindi. Dia menundukkan kepala, suaranya rendah dan dalam, " Kamu tahu
nggak, mencium seorang pria lebih dulu itu berarti apa?"
Suara dia agak serak.
Nindi tetap berada di pelukannya,
merasakan kehangatan yang menjalar dari dadanya. Detak jantungnya semakin
cepat.
Keberaniannya pun tumbuh. Dia
mendongak dan berkata, "Tentu saja aku tahu."
Mata aprikotnya yang jernih dan polos
menatap Cakra dengan penuh kejujuran.
No comments: