Bab 149
Menghadapi sikap Nindi yang nyaris terang-terangan,
Cakra hanya bisa memilih untuk mundur dengan putus asa.
Dia tidak mampu membalas perhatian
yang diberikan Nindi.
Tenggorokannya terasa seperti
tersumbat kapas. Butuh waktu lama sebelum dia akhirnya berkata, " Kamu
masih kecil, kamu nggak akan mengerti."
"Aku sudah dewasa. Cakra, apakah
kamu takut aku mendekatimu? Khawatir jatuh cinta padaku?"
Hari ini, Nindi benar-benar nekad.
Dia merasa Cakra cukup baik padanya.
Dia hampir mengira bahwa Cakra juga
memiliki sedikit perasaan terhadapnya. Tapi, begitu dia mendengar bahwa Cakra
sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis, dia pun merasa sedikit sedih.
Cakra menatapnya dengan mata hitam
pekat, " Kamu tahu nggak, kata 'suka' itu nggak boleh diucapkan
sembarangan."
Nindi tertegun sejenak, lalu setelah
memahami maksudnya, wajahnya langsung memerah.
Dia tidak pernah menyangka bahwa pria
dingin seperti Cakra juga bisa membuat lelucon yang berwarna seperti ini.
Dia berkata dengan wajah memerah,
"Ternyata laki-laki sama saja."
Cakra tersenyum tipis, "Lelucon
seperti ini saja kamu merasa jijik, apalagi mau ikut-ikutan orang lain
nongkrong di bar?"
Nindi mendengarkan ceramah dari Cakra
dan menyadari bahwa topik ini telah dialihkan olehnya.
Dia tidak menyerah dan mengangkat
kepalanya, " Cakra, sebenarnya aku selalu memiliki satu pertanyaan, kenapa
kamu begitu baik kepadaku?"
Cakra tidak dapat menjawabnya, bahkan
tidak berani menatap matanya.
Dia khawatir jika dia bertatapan
dengannya, maka rahasianya akan terbongkar.
Nindi mengalungkan lengannya di leher
Cakra, dengan nada keras kepala tetapi penuh kehati-hatian dia bertanya,
"Kamu selalu baik padaku, apakah kamu sedikit pun nggak menyukaiku?"
"Kalau kamu nggak suka padaku,
kenapa kamu terus baik padaku?" batin Nindi.
Nindi terus bertanya dlam hati,
"Jadi, Cakra, apakah kamu juga menyukaiku?"
Saat ini, Nindi merasa bahwa dia
telah menghabiskan semua keberaniannya. Hanya dalam suasana gelap seperti ini
dia memiliki nyali untuk mengatakan hal itu.
Dia juga ingin sekali saja
menunjukkan keberanian dalam hidupnya.
Cakra yang berada dalam pelukannya
langsung bertanya dengan lugas. Dia tampak tenang dan tulus, menunjukkan bahwa
niat yang dia miliki sejak awal sebenarnya tidak layak untuk dipertanyakan.
Dia mendekati Nindi hanya untuk
menebus rasa bersalahnya, bukan benar-benar demi Nindi.
Dia tidak berani memberitahukan
alasannya.
Bahkan tidak memiliki keberanian
untuk memiliki pikiran ini!
Ketika Cakra melihat tatapan Nindi,
hatinya melembut seketika. Namun, dia hanya bisa berkata dengan nada yang
bertentangan dengan hatinya, Anak kecil, aku membantumu itu hanya karena
kebetulan saja. Aku hanya nggak suka melihat kakakmu terlalu pilih kasih."
Nindi merasakan matanya yang seketika
langsung berair.
Ucapan Cakra sangat tenang, bahkan
ada sedikit kelembutan.
Namun, dia menolak Nindi dengan
begitu tegas.
Nindi saat ini merasa sangat
canggung, karena dia baru saja mengungkapkan perasaannya kepada seorang pria
yang sudah memiliki pacar, yang jelas-jelas melanggar batas moral. 1
Dia panik melepaskan tangannya,
menundukkan kepala dan berkata, "Aku, aku cuma bercanda, kok. Aku ke
toilet dulu, ya."
Nindi pergi meninggalkan kerumunan
dengan canggung dan panik.
Cakra mengikuti di belakangnya dengan
langkah yang tak terlewat. Tatapannya seketika menjadi suram, seolah menyimpan
kepedihan yang telah terpendam selama bertahun-tahun.
Sampai Nindi masuk ke toilet, barulah
Cakra berhenti. Dia berdiri di tempat dan merasa gelisah. Dia lalu meminjam
sebatang rokok dari seseorang.
Jari-jarinya yang panjang memegang
rokok, asap putih keluar dari bibir tipisnya, menutupi tatapan matanya yang
tertekan saat ini.
Zovan membawa dua gelas minuman dan
menyerahkan satu gelas sambil bertanya, " Bagaimana permainanmu?"
Cakra menghabiskan anggur merah di
tangannya, " Dia menangis."
"Nalı, kan aku sudah
mengingatkanmu sejak lama. Kamu harus beri sedikit jarak darinya, jangan
terlalu baik padanya."
"Bukannya kamu juga baik
padanya?"
Cakra menggigit pangkal rokoknya
dengan alis berkerut.
No comments: