Bab 156
"Sekolah kita sudah nggak pernah
dapat juara selama beberapa angkatan. 'kan? Sebenarnya siapa yang bisa meraih
gelar sang juara?"
Wali kelas sengaja memberikan
teka-teki. "Kalau gitu, sekarang mari kita tebak-tebakan siapa yang
menjadi sang juara di kelas kita."
Sania berkata, "Dia pasti si
anggota OSIS jenius yang mendapat peringkat pertama di kelas kita."
"Ya, benar. Kalau bicara tentang
sang juara, sudah pasti si anggota OSIS. Selama beberapa tahun ini, nilainya
selalu konsisten berada di tiga besar seluruh angkatan, sudah pasti dia
juaranya."
Pada momen ini, si jenius berdiri dan
berkata, " Bukan aku."
"Mana mungkin? Kalau bukan si
jenius, siapa lagi yang bisa meraih gelar sang juara? Apa mungkin peringkat
dua?"
Wali kelas yang melihat wartawan
sudah datang, segera mengumumkan, "Sang juara kita adalah Nindi
Lesmana."
Seketika kelas menjadi sunyi senyap.
Kemudian, Luna sang ketua kelas yang
pertama kali berseru, "Ternyata, sang idola adalah kamu. Hebat juga kamu
bisa meraih peringkat pertama sekota. Astaga, kamu memang luar biasa!"
Siswa yang lainnya terkejut bukan
main.
Mereka barusan menebak banyak orang,
tetapi tak ada yang menyangka bahwa sang juara itu adalah Nindi.
Setelah mendengar pengumuman ini,
Sania benar-benar terkejut. Bagaimana mugkin? Ternyata, Nindi -lah yang meraih
peringkat pertama sekota.
Pengumuman ini lebih menyakitkan bagi
Sania dibanding dengan membunuhnya.
Luna si ketua kelas melirik Sania dan
si dua sembari berkata, "Heh! Siapa, ya, tadi yang berani-beraninya
menghibur sang juara dengan bilang, ' Kalau nilai ujianmu kali ini jelek, aku
akan menemanimu tinggal kelas, deh.' Berasal dari mana rasa percaya diri
sebesar itu? Mau menemani sang juara peraih peringkat pertama sekota tinggal
kelas? 11
"Ketua kelas, berhentilah. Lucu
banget sumpah! Perkataannya benar-benar lelucon paling lucu yang pernah
kudengar selama hidupku."
"Ya, berani-beraninya murid
bodoh menghibur sang juara peraih peringkat pertama sekota dengan bilang mau
menemaninya tinggal kelas. Dasar nggak tahu diri!"
Raut muka Sania begitu kusut.
Kata-kata tersebut bagai tamparan
yang menghantam wajahnya dengan keras.
Pengikut kedua berteriak histeris,
"Mana mungkin Nindi bisa jadi sang juara, kurasa nilainya pasti
bermasalah. Kalau nggak, berarti Nindi menyontek."
Sania juga berpikir demikian di dalam
hati.
Bagaimana mungkin Nindi bisa menjadi
sang juara peraih peringkat pertama sekota?
Wali kelas langsung menatap Sania
dengan raut muka dingin. "Kalian berdua kenapa? Semua orang tahu
perkembangan nilai Nindi. Dia tampil dengan performa luar biasa dan menjadi
kuda hitam. Kalian sebagai teman sekelas dan keluarga bukannya turut bahagia,
malah meragukan nilai Nindi. Apa aku pernah mengajari kalian itu?"
Mata Sania langsung memerah.
Namun, saat ini, tak ada seorang pun
yang menghiburnya. Semua orang sedang membicarakan Nindi yang berhasil menjadi
sang juara.
Pada momen ini, wartawan bersama
kepala sekolah dan wakil kepala sekolah menghampiri.
Kepala sekolah adalah pria tua
berhati mulia. Ketika menoleh Nindi, dia menunjukkan ekspresi bangga. "
Aku nggak menyangka kamu bisa mendapatkan nilai sebagus ini."
Nindi menatap kepala sekolah sembari
tersenyum. " Terima kasih atas alat tulis yang Anda berikan pada saya
waktu itu."
Kalau saja kepala sekolah tak
memberikan seperangkat alat tulis bagus tepat waktu.
Kemungkinan akan berimbas pada nilai
bahasa nasionalnya.
Hasil tulisan dari alat tulis ampas
itu begitu buram dan bahkan tintanya bisa bocor. Kalau sampai kertas jawaban
kotor, pasti ada pengurangan nilai.
"Aku hanya melakukan segalanya
sesuai aturan. Mungkin dirimu memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga bisa
menjadi sang juara."
Wartawan berjalan mendekat dan
meletakkan mikrofon di depan Nindi. "Dik Nindi, akademismu meningkat pesat
dalam beberapa bulan terakhir dan akhirnya bisa meraih peringkat pertama sekota
dengan nilai yang bagus. Semua itu pasti tak lepas dari bantuan dan dukungan
orang-orang di sekitarmu. Siapa orang yang paling ingin kamu berikan ucapan
terima kasih?"
No comments: