Bab 163
Nindi mendongak menatapnya. Kata-kata
barusan benar-benar terlontar begitu saja.
Hati Cakra yang biasanya datar tanpa
gelombang, mendadak terasa bergetar seketika.
Dia sedikit menelan ludahnya,
"Anak kecil, jangan sembarangan bilang mau tanggung jawab sama seorang
pria. Itu kan seharusnya diucapkan sama pria."
Nindi langsung tersadar bahwa
ucapannya tadi terdengar kurang pantas, seolah-olah ada sesuatu yang
tersembunyi di balik maknanya.
Dia bergegas menundukkan
pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa malunya, "Jangan salah paham.
Aku nggak ada maksud lain, kok. Kamu 'kan teman baikku. Jadi, aku nggak mau
kamu sampai terlibat masalah gara-gara aku."
"Hm, aku mengerti."
Cakra mengalihkan pandangannya ke
arah rumah sakit, "Lalu, apa rencanamu?"
"Aku mau bicara langsung sama
Yanuar."
"Oke, ayo ke sana."
Nirdi tertegun mendengar jawabannya,
lalu, dengan panik mengejar langkahnya seraya berkata, "Kamu nggak perlu
ikut. Aku bisa sendiri."
Jika Cakra ikut pergi, dia yakin pria
itu pasti akan dipersulit.
Nindi tak ingin hal itu terjadi.
"Nindi, tunggu aku."
Nando akhirnya berhasil menyusul
mereka. Dia tidak menyangka bahwa Nindi akan nekat pergi sendiri dengan naik
taksi. Sikap keras kepala gadis itu memaksanya untuk mengejar sampai sejauh
ini.
Begitu ia melihat Cakra yang sedang
berjalan di depan Nindi, ekspresi wajahnya langsung berubah dingin,
"Ternyata kamu ikut datang juga, ya. Berani sekali kamu, ya."
Nando mengira bahwa Cakra tidak akan
punya nyali untuk muncul di sini.
Nindi mengernyit seraya berkata,
"Kak Nando, aku sudah bilang kalau masalah ini nggak ada hubungannya sama
dia. Kenapa kamu masih saja begini?"
"Nindi, aku melakukan semua ini
demi kebaikanmu 11
"Cukup!" potong Nindi
dengan suara penuh emosi, " Apa maksudmu demi kebaikanku? Memangnya kamu
pernah bertanya apa yang kuinginkan ? Aku saina sekali nggak merasa kalau ini
hal baik!"
Nindi benar-benar muak dengan sikap
mereka yang selalu merasa paling benar.
Tanpa menunggu jawaban, Nindi
melangkah masuk ke dalam lift dengan raut kesal.
Cakra, yang sejak tadi berdiri di
samping Nindi, menatapnya dengan sedikit rasa iba, "Masalah ini sebenarnya
nggak serumit itu. Jangan terlalu diambil pusing."
Nando mendengus sinis, "Kamu
omong seolah-olah semua ini mudah. Semua tekanannya ada di pundak Nindi, tahu!
Sedangkan kamu? Dengan statusmu sebagai seorang dokter sekolah, apa kamu pikir
bisa melawan keluarga tersohor seperti keluarga Gunawan di Kota Yunaira?"
Nando begitu meremehkan sosok dokter
sekolah itu. Padahal hanya memiliki beberapa keahlian, tetapi ucapannya
sangatlah angkuh.
Dia sama sekali tak ada harganya di
hadapan keluarga Gunawan.
Tatapan Cakra terlihat begitu tenang,
"Nggak perlu ⚫berkelahi,
kita cuma perlu ngobrol sedikit saja."
"Kamu pintar omong juga, ya. Aku
mau lihat bagaimana caramu menyelesaikan masalah ini, cuma dengan ngobrol
sedikit."
Bagi Nando, ini adalah kesempatan
bagus untuk menunjukkan kepada Nindi, bahwa dokter sekolah ini tidak lebih dari
pembual yang pandai berkata manis, padahal aslinya tak mampu berbuat apa-apa.
Nindi menarik napas dalam-dalam,
mencoba mengendalikan emosinya, lalu melangkah keluar dari lift. Dia menoleh ke
arah Cakra dan berkata dengan tegas, "Kamu tunggu di luar saja."
Melihat ekspresi serius di wajah
Nindi, Cakra akhirnya berkata, "Aku mau ikut masuk ke dalam
denganmu."
Yanuar sejatinya mengenal Cakra.
Meskipun identitasnya terancam
terungkap, dia tidak rela melihat Nindi tampak tertekan dan gelisah.
"Nggak perlu."
"Kamu tunggu di sini saja,"
ujar Nindi serius.
Nando, yang berdiri di belakang
mereka menyela tidak setuju, "Nindi, bisa nggak berhenti bertingkah
seperti orang yang cuma mengandalkan perasaan?"
Nindi sama sekali tidak
menggubrisnya. Dengan raut wajah penuh emosi, dia bergegas menuju ruang rawat,
meninggalkan Nando di belakang.
Begitu membuka pintu, suara terkejut
Sania terdengar dari dalam ruang rawat, "Apa? Kak Yanuar, kamu yakin nggak
mau lanjutin masalah ini?
"Benar, sebenarnya aku yang
mulai lebih dulu saat di bar waktu itu. Jadi, aku yang salah. Lagi pula, mereka
juga sudah membayar sejumlah uang sebagai kompensasi. Sudahlah, lupakan
saja," jawab Yanuar santai, meski ekspresi di wajahnya tampak sedikit
mencurigakan.
Raut wajah Yanuar agak berubah ketika
melanjutkan, "Lagi pula, Nindi itu kan bagian dari keluarga kalian,
keluarga Lesmana. Kalau masalah ini terüs diperpanjang, bukankah itu juga nggak
baik untuk kalian?"
Sania masih tampak kurang puas,
"Tapi..."
Bukankah sebelumnya kamu nggak bilang
begini? Kenapa sikapmu langsung berubah setelah bertemu dengan orang itu?' ujar
Sania dalam hati.
Yanuar mendongak menatap Sania,
"Sania, aku memutuskan buat nggak mempermasalahkan ini karena menghormatimu."
No comments: