Bab 167
Sania buru-buru menyimpan ponselnya.
"Eh, maksudnya ini cuman video pendek yang muncul di FYP-ku, bukan dikirim
sama orang lain kok."
Keluarga Lesmana tidak boleh tahu
tentang hal ini.
Awalnya, Sania diterima di keluarga
Lesmana karėna statusnya sebagai anak yatim piatu.
Lagipula, pasti ada alasan
tersembunyi kenapa ayahnya masih hidup.
Sania seketika berfirasat buruk.
Dia buru-buru mengalihkan topik.
"Kak Leo cepat banget sudah pulang? Kak Nando sudah lebih baik, ya?"
"Ya, dia sudah mendingan."
Leo pun menarik tangannya kembali.
"Barusan, kamu sebutin di siaran langsung kalau Kak Darren lagi sakit?
Terus, gimana tanggapan Nindi?"
Sania menghela napasnya.
"Kayaknya, Nindi malah makin marah. Dia nyalahin aku, bilang seharusnya
aku nggak omongin itu ke publik."
Padahal, mengumumkannya ke publik
memang sudah menjadi tujuan Sania dari awal.
Dia sengaja ingin mengompori Nindi
soal utang budi keluarga Lesmana, supaya Nindi makin enggan kembali ke keluarga
itu.
"Jangan terlalu menyalahkan
dirimu sendiri. Nindi yang sekarang memang sudah berubah."
Leo melirik ke arah kamar. Setelah
ragu sejenak, dia melanjutkan, "Sania, kayaknya kamarmu yang dulu terlalu
kecil. Aku ada rencana renovasi kamar tamu jadi kamarmu. Tapi kamar ini harus
dikembalikan ke Nindi, gimana menurutmu?"
Wajah Sania sontak membeku.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau
Leo akan mengungkit hal ini.
Sejak awal, dia memang tidur di kamar
Nindi. Dia sudah menganggap kamar itu sebagai kamarnya sendiri.
Tidak pernah terlintas di pikirannya
untuk pindah kamar!
Apalagi, Nindi sendiri yang bilang
ingin memutus hubungan dengan keluarga Lesmana. Otomatis, sebagai satu-satunya
putri keluarga Lesmana, Sania merasa berhak menempati kamar terbesar
Namun, sekarang Leo malah mengusulkan
supaya dia pindah kamar?
Leo merasa canggung. "Sania,
jangan pikir yang aneh-aneh, ya. Aku nggak bermaksud lain. Masalahnya, Nindi
selalu bikin hal. Jadi, menurutku, lebih baik kembalikan apa yang memang sudah
jadi miliknya."
Awal mula kejadian ketika Nindi
menjatuhkan ultimatum untuk memutus hubungan dengan keluarga Lesmana membuat
Leo merasa seperti tamparan keras di wajahnya.
Isi pikirannya terputar kembali pada
perbedaan sikap terhadap Nindi dan Sania di masa lalu. Kini dia sadar, dia
harus lebih adil. Bagaimanapun, Nindi pasti akan sangat memperhatikan hal-hal
seperti ini.
Dia harus belajar untuk berubah.
"Kak Leo, omong apaan sih?
Ngapain juga aku mikir yang aneh-aneh? Dari awal, kamar ini memang punya Nindi.
Menurutku, memang lebih baik kembalikan ke pemilik aslinya."
Dari luar, Sania terlihat tersenyum
tulus dan bijak.
Namun, dalam hatinya, sebenarnya dia
begitu membenci Nindi.
Leo menghela napas lega.
"Syukurlah. Kamu memang anak yang dewasa, Sania. Nindi itu keras kepala,
sekarang kita yang harus mengalah. Tenang saja, di kemudian hari aku juga pasti
akan memperlakukanmu dengan baik."
"ya, Kak. Aku ngerti kok."
"Oh ya, ingat pesta terakhir
kali itu? Yang Nindi minta maaf padamu? Semua perhiasan yang sempat dititipin
di tempatmu itu, nanti kalau Nindi sudah pulang, dikembalikan semua, ya."
Kalimat itu nyaris melunturkan
senyuman manis di wajah Sania.
Sania mungkin bisa menoleransi masalah
pindah kamar. Namun, sampai harus mengembalikan perhiasan yang sudah dianggap
miliknya? Rasanya seperti ratusan pisau mengiris-iris tubuhnya, sakitnya bukan
main.
Sorot mata Sania tampak berkaca
-kaca. "Kak Leo, aku tahu perhiasan perhiasan itu memang cuma dititipin
padaku. Tapi sebelumnya aku sempat pakai perhiasan itu di acara salon
selebritas. Kalau nanti aku nggak pakai perhiasan apa pun di acara berikutnya,
media bisa nulis hal yang nggak bener, gimana dong?"
"Oh, kamu nggak usah khawatir
soal itu. Nanti, aku bakal ganti belikan kamu perhiasan lain."
"Baiklah, makasih Kak Leo."
Meskipun Sania sangat enggan di dalam
hatinya, ⚫tetapi dia
tetap harus memasang wajah "putri patuh "yang sudah seharusnya.
Melihat Sania begitu patuh dan
berlapang dada, Leo menghela napas. "Andai Nindi persis kayak sifatmu,
pasti semuanya akan lebih mudah."
Pola pikir Leo selalu berpijak pada
keyakinan bahwa selama Nindi tidak keras kepala, segalanya akan berjalan dengan
mulus.
Tatapan Sania makin tajam, penuh sindiran.
Penampilannya yang terlihat patuh, dewasa, dan bijaksana hanyalah sebuah
topeng. Semua itu hanya rekayasa untuk menyenangkan kakak-kakaknya.
Seberapa banyak pengorbanan yang
telah Sania tahan, itu hanya menjadi rahasia antara dia dan Langit.
Setelah Leo pergi, wajah Sania sontak
berubah suram.
Dia mengira derajatnya sudah hampir
setara dengan Nindi.
Tak disangka, kenyataan menghujamkan
tamparan keras padanya.
Ponselnya kembali berbunyi, itu
adalah notifikasi pesan lanjutan dari ayahnya. "Nia, seberapa keras kamu
berpura-pura, kamu nggak pernah jadi Nona Besar dari keluarga Lesmana. Jelas
akulah keluarga kandungmu!"
Pesan itu seakan memunculkan
kebencian yang membakar di mata Sania.
No comments: