Bab 168
Memang fakta, Sania selalu
merencanakan segalanya dengan hati-hati, tahun demi tahun. Dia memperlakukan
anak-anak lelaki keluarga Lesmana seperti kakak kandungnya sendiri.
Namun, apa hasil akhirnya?
Dia tetap tidak akan pernah bisa
dibandingkan dengan Nindi, adik kandung mereka yang sebenarnya!
Dengan hati penuh kekesalan, Sania
meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja diterimanya. Sepertinya,
sudah saatnya dia menyiapkan rencana alternatif.
Begitu Nindi kembali ke rumah ini,
tidak akan ada lagi tempat untuknya!
Selama beberapa hari ini, Nindi
merasa leluasa. Kesehariannya hanya bertaut pada gim online.
Namun, ketenangan itu terusik ketika
ponselnya tiba-tiba dia menerima telepon dari Dinas Pendidikan. "Halo,
apakah benar ini dengan Nindi Lesmana? Kami dari Dinas Pendidikan. Ada laporan
yang menyebutkan bahwa kamu telah melakukan kecurangan dalam ujian. Kami perlu
menyelidiki hal ini lebih lanjut. Harap datang ke sekolah untuk bekerja
sama."
Berbuat curang dalam ujian?' pikir
Nindi, kebingungan.
Usai menutup panggilan, Nindi merasa
hal itu terlalu konyol.
Siapa yang melaporkannya? Nindi jelas
tahu pelakunya.
Satu-satunya orang yang cemburu mati
terhadapnya hanyalah perempuan licik itu.
Nindi tetap tenang. Lagipula, dia
yakin tidak melakukan kesalahan apa pun. Nilai-nilainya murni hasil kerja
kerasnya.
Sebelum meninggalkan apartemennya,
Nindi sempat menoleh ke arah apartemen sebelah yang tampak sepi. Selama
beberapa hari terakhir, terutama di siang hari, Cakra dan Zovan selalu sibuk di
kantor mereka.
Permainan mini program yang mereka kembangkan
akan segera diluncurkan.
Nindi terdiam sejenak,
mempertimbangkan apakah ia perlu memberi tahu Cakra tentang rencana yang ada di
benaknya. Namun, pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak melakukannya. Nindi
merasa yakin bisa mengatasi segalanya sendiri. Dengan keyakinan itu, dia
melangkah keluar dan menaiki taksi menuju sekolah.
Setibanya di sekolah, Nindi menemukan
bahwa kepala sekolah dan wali kelas sudah menunggunya di ruangan kantor.
Begitu memasuki ruangan, seorang pria
paruh baya yang duduk di sofa langsung menyapanya, "Kamu Nindi Lesmana,
'kan? Aku pengawas yang bertanggung jawab menyelidiki hasil nilai ujian.
Kedatanganku ke sini karena ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan
padamu."
"Oke," jawab Nindi tenang.
Tak sedikit pun rasa cemas atau takut
terpancar dari wajahnya. Nindi terlihat luar biasa tenang, seolah sudah
mempersiapkan diri.
Wali kelas yang duduk di sebelah
pengawas angkat bicara, "Memang benar, beberapa hasil ujian Nindi
belakangan ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun, nilai-nilai
sebelumnya juga sudah menunjukkan bahwa Nindi adalah siswa yang cerdas.
Kemampuannya sejak awal memang sangat menonjol. Selain itu, wajar jika
anak-anak menunjukkan ambisi lebih tinggi di masa-masa akhir studi mereka. Kami
yakin Nindi memiliki kemampuan tersebut. Meski begitu, kami tidak keberatan
jika Anda ingin memeriksa lembar jawaban ujiannya."
"Ujian masih dalam proses
pemeriksaan nilai, dan kami akan memastikan penyelidikan ini dilakukan dengan
adil dan jujur."
Setelah sesi penyelidikan berakhir,
Nindi masih merasa penasaran. "Jadi, sebenarnya siapa yang melaporkan
saya?"
"Hal ini dirahasiakan.
Sepertinya, cukup sampai di sini saja. Nanti, kami akan kembali untuk
menindaklanjuti permasalahan ini dengan baik."
Wali kelas Nindi tampak cemas.
"Pak, Nindi sama sekali nggak menyontek! Kalau nggak percaya, dia bisa
kerjakan ulang soal ujiannya. Nanti kalian bakal langsung tahu
kebenarannya."
Nindi merasa terharu melihat wali
kelas membelanya. Ternyata sang guru begitu percaya padanya.
Kepala sekolah menenangkan. "Nak
Nindi, jangan terlalu diambil pusing. Selama apa yang kita lakukan itu benar,
jangan takut pada mereka yang sengaja ingin menyalahkan kita."
Nindi mengangguk. "Baik, Pak.
Aku tahu itu, aku juga tidak takut."
"Baguslah kalau begitu. Urusan
di sini sudah selesai. Pulanglah, dan tunggu saja kabar kelanjutannya."
Setelah Nindi pergi, kepala sekolah
mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Pak Cakra, ada sesuatu
yang perlu saya sampaikan kepada Anda.
Mendengar laporan dari kepala
sekolah, Cakra langsung menghentikan rapat dan keluar dari ruangan.
Pandangannya mengarah lurus ke arah
kawasan pusat bisnis komersial yang terpantul dari arah jendela. Dengan nada
bicara tegas, dia bertanya, " Dia barusan pergi ke sekolah?"
"Benar, Pak. Dia kemari untuk
diselidiki. Sekarang dia sudah pulang. Orang yang melaporkan mengatakan kalau
saya memberikan alat tulis khusus kepada Nindi untuk membantunya berbuat
curang."
"Omong kosong," jawab Cakra
dengan nada tajam.
Dibandingkan orang lain, hanya Cakra
yang paham betul tentang rincian masalah ini. Tanpa perlu melakukan kecurangan,
dia tahu kemampuan Nindi sudah jauh di atas rata-rata.
Tangannya mengetuk kaca jendela,
tatapannya dalam dan misterius. "Oke, aku mengerti."
Setelah Cakra Julian menutup telepon,
bibir tipisnya melengkung membentuk senyuman tajam yang penuh makna.
Zovan baru saja keluar dari ruang
rapat ketika matanya menangkap ekspresi Cakra. "Hei, hei, hei! Senyummu
kok nyeremin gitu deh? Telepon dari siapa itu?"
"Ada yang laporin Nindi berbuat
curang dengan hasil ujiannya."
"Serius? Siapa tuh! Muka tembok,
berani banget sembarangan nuduh!"
Alis Cakra mengerut tajam, penuh
ancaman. "Ada saja orang yang menganggap diri mereka bakal selamanya aman.
Periksa siapa yang mengajukan laporan itu. Aku juga mau rekaman CCTV dari anak
angkat Keluarga Lesmana. Aku mau lihat semuanya. 11
Bayangan ucapan Nindi terlintas di
benaknya. Gadis itu pernah bercerita bahwa anak angkat keluarga Lesmana punya
kebiasaan menyontek dalam pelajaran.
Orang seperti itu, pikirnya, selalu
merasa cerdas dan licik, tetapi cepat atau lambat pasti akan terungkap.
Terutama saat Ujian Bersama Masuk Perguruan Tinggi.
Jika mereka berani menjulurkan cakar,
maka dia sendiri yang akan memastikan cakar itu dipatahkan.
No comments: