Bab 169
Sepulangnya ke apartemen, Nindi
merasa gelisah.
Dalam hatinya, dia sudah yakin kalau
semua ini adalah ulah Sania
Mau balas dendam, yang elegan sedikit
dong. Cara murahan bikin aku mual saja, pikir Nindi dalam hati, merasa muak
dengan trik murahan Sania.
Setelah berpikir panjang, akhirnya
Nindi memutuskan untuk menelepon dan mengajukan komplain. "Halo? Saya
ingin melaporkan seseorang yang berbuat curang dalam ujian," katanya.
Ya, Nindi ingin membalas dendam
dengan cara yang sama.
Meski tidak benar-benar yakin apakah
Sania benar-benar curang, Nindi merasa sedikit percaya diri.
Mengingat kebiasaan Sania yang
seringkali berbuat curang saat ujian, dia merasa yakin kalau kali ini pun Sania
melakukan hal yang sama dalam Ujian Bersama Masuk Perguruan Tinggi.
Di sisi lain, Nindi juga ingin
membuat Sania merasa kesal.
Ketika hendak keluar untuk
berbelanja, Nindi melihat mobil yang tampak tidak asing tengah terparkir di
pinggir jalan.
Langkahnya makin cepat, berpura-pura
tidak melihat mobil itu.
"Nindi."
Leo segera mengejarnya. "Aku
kemari untuk melaporkanmu informasi terbaru Kakak."
Nindi tersenyum sinis. "Hah,
lucu banget dengar kalimatmu. Informasi terbaru apaan? Aku nggak perlu tahu
itu."
"Penyakit Kak Nando kali ini
cukup parah. Sampai urusan perusahaan juga jadi terganggu. Berita ini udah
sampai ke telinga Kak Darren. Kak Darren juga tahu kalau kamu meraih peringkat
pertama di seluruh kota."
"Lalu?"
"Malam ini, Kak Darren bakal
pulang. Kamu tahu ' kan sifatnya Kak Darren? Kalau menurutku, lebih baik kamu
pulang sekarang. Setelah Kak Darren kembali, baru kamu bisa pindah lagi. Aku
dan Kak Nando bakal jaga rahasiamu."
Leo kini mulai sadar kalau alasan
Nindi meninggalkan keluarga Lesmana adalah karena sakit hati.
Dia merasa perlu memperbaiki hubungan
itu secara perlahan.
Nindi terkejut mendengar ucapan Leo.
Dia tidak menyangka Kak Darren akan pulang begitu cepat.
Namun, sesuai dengan alur kehidupan
sebelumnya, Nindi tahu bahwa cepat atau lambat, kakak pertamanya pasti akan
kembali.
Cepat atau lambat, dia memang harus
menghadapi kenyataan itu.
Nindi sontak memasang wajah dingin.
"Nggak usah.
"Nindi, jangan coba-coba melawan
Kak Darren. Ujung-ujungnya kamu yang bakal terluka. Kak Darren bahkan bisa
mengungkit masalahmu dengan dokter sekolah itu. Kamu tahu kan sifat Kak Darren,
dia bisa halalkan segalanya kalau dia mau."
Nindi merasa kesal, ingin segera
mengakhiri percakapan. "Aku bisa urus urusanku sendiri. Nggak perlu campur
tangan dari kamu."
Nindi tahu betul betapa merepotkannya
kalau Kak Darren ikut campur.
Namun, dia juga tidak ingin menerima
tawaran Kak Leo. Setelah meninggalkan Keluarga Lesmana, Nindi tidak berniat
kembali.
Leo menghela napas panjang, seolah
menyerah. Dia hanya bisa berpikir mencari cara lain.
Setibanya kembali di apartemen, Nindi
meremas rambutnya, merasa agak kesal.
Sebetulnya dia tidak masalah dengan
semua ini.
Nindi hanya khawatir akan membebani
Cakra.
Setelah siaran langsungnya malam itu,
dia juga tidak melihat Cakra kembali.
Nindi duduk di sofa, menunggu, dan
akhirnya tertidur. Entah berapa lama waktu berlalu, pintu apartemen terbuka.
Nindi terbangun dan melihat dua sosok
masuk, salah satunya adalah Cakra yang sedang membantu Zovan yang mabuk.
Nindi berdiri dan bertanya,
"Kalian baru pulang dari acara pesta?"
"Jam segini masih belum
tidur?"
Cakra melemparkan Zovan ke tempat
tidur dengan cepat, lalu berbalik menatap Nindi. "Ada yang mau
dibicarakan?"
"Hm."
Cakra melepaskan jasnya, menarik
dasinya dengan santai, dan membuka beberapa kancing bajunya.
Nindi langsung berlari ke dapur,
menuangkan segelas air lemon, lalu meletakkannya di samping tempat tidur Zovan.
Setelah itu, dia berlari kecil ke hadapan Cakra.
Nindi juga memberikan segelas air
lemon kepada pria itu.
Cakra menatap tangan ramping Nindi,
melihat tenggorokannya bergerak sedikit. "Ada apa?"
Cakra seolah-olah bisa menebak apa
yang ingin dibicarakan, mungkin ada kaitannya dengan perempuan licik yang
melaporkan nilai Nindi.
Nindi menatapnya. "Aku mau cari
tempat tinggal baru, nggak mau tinggal di sini lagi."
Mata Cakra Julian langsung terkunci
pada wajah Nindi, dahinya terangkat, dan ekspresinya mencerminkan kekhawatiran
serta keraguan. " Alasannya?"
"Karena aku merasa nggak pantas
terus-menerus memanfaatkan rumah kalian. Sekarang aku sudah punya uang,
sebenarnya aku bisa beli rumah sendiri.
Nindi melanjutkan, "Selain itu,
kalau suatu saat pacarmu datang dan mencarimu, Zovan tinggal di rumahmu juga
akan merasa nggak nyaman."
"Maksudmu, kamu khawatir pacarku
nggak punya tempat buat tidur?"
No comments: