Bab 171
Nindi mengernyit bingung melihat
kehadiran Darren.
Dulu, Nindi paling takut dengan kakak
pertamanya itu.
Setiap kali Darren pulang, Nindi
selalu berusaha menghindar, takut kena marah.
Namun, sejak Darren mengusirnya dari
rumah di kehidupan sebelumnya, Nindi sudah berhenti peduli.
Nindi mendongak, menatapnya dengan
tatapan dingin. "Rapat sudah selesai, 'kan? Kalau nggak ada urusan lain,
buat apa aku di sini?"
"Mau ke mana kamu?"
Tatapan Darren begitu dingin dan
mencekam.
Melihat suasana memanas, Leo
buru-buru menengahi. "Yah, pastinya pulang ke rumah kita, dong. Ya, 'kan,
Nindi?"
Leo buru-buru memberi isyarat kepada
Nindi.
Berharap sang adik bisa menurut dan
meredakan ketegangan. Karena mengingat temperamen sang kakak pertama, takutnya
Nindi akan mengalami kesulitan.
Sania ikut bersuara, pura-pura menenangkan.
"Kak Nindi, karena Kak Darren sudah kembali, sebaiknya kamu jangan
marah-marah lagi."
Leo menatap Sania heran. Mengapa
harus berkata begitu?
Padahal dia sudah tahu Nindi itu
keras kepala,
Nindi menatap dingin, matanya tajam.
"Sekarang aku sudah tinggal sendiri, aku mandiri."
"Nindi, kamu sudah gila?"
Leo terkejut. Dia tidak menyangka
Nindi berani menjawab Darren seperti itu. Darren bahkan sudah memberinya
kesempatan.
Namun, Nindi justru menolaknya
mentah-mentah!
Nindi tetap berdiri tegak, tak
menunjukkan rasa gentar. "Aku sadar betul dengan omonganku."
Darren menatapnya dengan wajah pucat.
"Nindi, awalnya aku nggak percaya kamu akan berbuat begini. Tapi baru
beberapa bulan nggak ketemu, kamu sudah terpengaruh oleh dokter sekolah sampai jadi
begini!"
"Aku yang sudah muak dengan
segala tentang keluarga ini! Ini nggak ada hubungannya dengan Cakra!"
"Kamu pikir, aku bakal percaya
dengan omonganmu?"
Darren mencibir, "Oh, tapi
tenang saja. Mulai sekarang, kamu nggak bakal bisa melihat pria itu lagi."
Nindi seketika tersentak. "Kak
Darren, apa yang mau kamu lakukan padanya?"
"Apa yang kulakukan padanya
tergantung pada sikapmu tadi. Sayangnya, kamu gagal dalam ujian ini. Jadi, aku
akan menggunakan çaraku untuk membuatmu patuh."
Melihat para pengawal di koridor,
Nindi langsung mengerti.
Dia berbalik melirik Nando, matanya
berubah merah. "Jadi, lagi-lagi kamu menipuku?"
Nando buru-buru menjelaskan.
"Nindi, Kak Nando nggak tahu Kak Darren akan datang ke rumah sakit
sekarang juga."
"Cukup! Penjelasan kalian cuma
bikin aku makin muak."
Nindi merasa seluruh tubuhnya dingin.
Di mata mereka, dia bukanlah manusia
seutuhnya, melainkan hanya boneka yang bisa mereka kendalikan sesuka hati.
Darren berkata tegas, "Nindi,
jangan pikir cuma karena kamu juara satu di seluruh kota, kamu jadi sehebat
itu. Kalau bukan aku yang menutupi kasus kecuranganmu, kamu sudah hancur
sekarang."
Nindi tak bergeming. "Pertama,
aku nggak berbuat curang. Jadi, aku nggak butuh perlindunganmu."
"Masih keras kepala! Prestasimu
selama bertahun-tahun biasa saja, lalu tiba-tiba melesat? Kamu pikir orang
nggak akan curiga?"
Darren sama sekali tidak percaya
nilai Nindi bisa melesat tinggi.
Nando mencoba membela. "Kak
Darren, nilai Nindi meningkat karena kerja keras. Guru-guru juga mengakui
kemampuannya. Aku yakin dia nggak menyontek."
"Cukup! Kamu dan Leo membiarkan
dia bertingkah sesuka hati. Sania sudah memberitahuku semuanya. Jangan
coba-coba menutupi lagi."
Usai mengetahui perilaku Nindi dari
Sania, Darren langsung marah besar.
Mendengar itu, Nando dan Leo serentak
menatap Sania dengan tatapan penuh kecewa. Padahal mereka sudah sepakat untuk
tidak memberi tahu Kak Darren dulu.
Kenapa Sania malah membocorkannya?
Ini adalah pertama kalinya, keduanya
merasa kecewa dengan Sania. Mengingat sifat Sania begitu bijak dan dewasa,
sulit untuk membayangkan bahwa dia bisa melakukan hal seperti itu.
Menyadari tatapan kecewa kedua
kakaknya, Sania buru-buru meminta maaf. "Maaf, aku nggak sengaja bicara
terlalu banyak. Ini semua salahku."
No comments: