Bab 185
Nindi telah berkomunikasi dengan wali
kelasnya, kemudian memastikan bahwa kemungkinan orang yang mengangkat telepon
adalah anggota keluarga Nindi!
Mungkin Darren, mungkin juga Nando.
Namun, mereka tetap membuat keputusan
serupa sebelumnya, keputusan sepihak untuk memutuskan sekolah yang akan Nindi
pilih.
Sebelumnya, meskipun Nindi mendapat
nilai yang baik, Nindi dipaksa masuk universitas yang sama dengan Sania yang
nilainya memasuki rata-rata saja, dengan alasan agar mereka bisa saling
menjaga.
Mereka mengklaim, semua itu demi
saudara perempuan.
Jika Nindi tidak setuju, mereka akan
memutus semua dukungan keuangan dan sumber daya lainnya.
Nindi menatap sinis. "Pak, Anda
juga tahu hubungan saya sama keluarga. Saya juga nggak menyangka mereka akan
mengambil keputusan tanpa persetujuan saya. Tapi, saya pasti akan masuk ke
Universitas Yasawirya, saya harus mengubah akun dan kata sandi saya."
"Baik, Bapak paham. Bapak akan
segera menghubungi pihak Universitas Yasawirya. Kamu juga datang untuk
memastikan universitasmu, ya," kata wali kelasnya.
Sang wali kelas tahu, keluarga Nindi
memiliki kecenderungan untuk lebih memihak, tetapi tidak menyangka bahwa mereka
akan melakukan hal sebesar ini.
Seorang juara Ujian Bersama Masuk
Perguruan Tinggi malah menolak undangan Universitas Yasawirya. Ini jelas menghancurkan
masa depan Nindi!
Setelah Nindi menutup telepon, Nindi
mencuci wajahnya dan mengganti pakaian sebelum bersiap-siap untuk pergi.
Sebelum Nindi meninggalkan apartemen,
Nindi melihat ke pintu utama di kamar sebelah.
Nindi berpikir sejenak. Namun, dia
putuskan untuk tidak memberi tahu Cakra mengenai hal ini. Semua ini adalah
urusannya sendiri.
Nindi tidak ingin terlalu bergantung
pada Cakra.
Sore harinya, Nindi pergi ke sekolah
seorang diri menggunakan taksi.
Setibanya di sekolah, Nindi bertemu dengan
staf dari Kantor Penerimaan Universitas Yasawirya.
Wali kelas Nindi memperkenalkan,
"Ini Nindi. Mengenai keadaan keluarga Nindi, saya sudah jelaskan singkat
sebelumnya, tapi itu nggak mewakili pendapat Nindi."
Staf Kantor Penerimaan Mahasiswa
Universitas Yasawirya mengangguk sebelum menjelaskan, " Baik. Nindi,
berdasarkan nilaimu, kamu bisa akses jurusan unggulan di sekolah kami, seperti
Keuangan, Ilmu Komputer, dan Matematika. Silakan pilih sesuai minatmu, kita
bisa bicarakan lebih lanjut."
Sebenarnya, Nindi sudah memikirkan
hal ini sejak lama. Dia tertarik pada Ilmu Komputer dan Kedokteran.
Setelah berbincang dengan staf dari
Kantor Penerimaan Mahasiswa, Nindi baru sadar kalau waktu sudah berlalu
beberapa jam.
Setelah keluar dari ruang pertemuan,
Nindi melihat langit sudah menjelang senja. Udaranya pun sudah terasa hangat.
Suasana hati Nindi terasa lebih baik.
Paling tidak, pilihan universitas yang Nindi impikan tidak bisa diganggu gugat
oleh siapa pun kali ini.
Tiba-tiba, terdengar Darren
berceletuk, "Nindi, kenapa kamu di sini?"
Saat Darren mendapati kehadiran
Nindi, dia agak terkejut. "Kamu datang untuk merusak keadaan,' kan?"
Nindi dengan tegas berkata,
"Kenapa aku nggak boleh ada di sini? Apa sekolah ini milik keluargamu?
"Nindi, kamu bicara apa,
sih?" kata Darren.
Nindi menjawab, "Tergantung
sikap orang lain padaku, sih. Aku akan ikut bersikap seperti itu."
Sekarang, Nindi tidak bisa lagi
menyembunyikan kebenciannya.
Terutama mengetahui bahwa mereka
telah diam-diam mengubah pilihan universitas tanpa persetujuan Nindi.
Kebenciannya makin memuncak.
Sania merasa cemas. Jadi, dia
pura-pura berinteraksi. "Kak Nindi, apakah kamu datang untuk menjadi saksi
bahwa aku berbuat curang? Kenapa kamu menuduhku seperti itu?"
Biasanya, ada saksi yang diperlukan
dalam kasus kecurangan.
Sania merasa, Nindi pasti tidak akan
membela dirinya.
Darren langsung keheranan.
"Nindi, kamu datang ke sini untuk berbicara dengan pihak Universitas
tentang hal yang nggak benar? Kamu tahu nggak, sih, bicara sembarangan itu ada
konsekuensinya !"
Nindi memakai kaus putih sederhana.
Kulitnya sangat putih, sementara ekspresinya terlihat kesal sekaligus gelisah.
Dari belakang, ada suara yang
tiba-tiba menyelinap. "Pak Darren, Nindi datang ke sekolah ini karena urusan
lain, bukan karena Sania."
No comments: