Bab 187
Wajah Sania jelas terlihat panik
setelah Nindi mengatakan ini.
Sania berkata dengan mata menunduk,
"Shery sudah mengakuinya. Dia datang ke sini pun nggak mengubah
kenyataan."
Jadi, Shery tidak ingin disalahkan.
Karena itulah dia beralih menyuap orang tua Shery.
Orang tua Shery mengangguk
mengikutinya. "
Benar, semua ini salah anak kami yang
terlalu bodoh. Kami mengaku salah dan bersedia menerima hukuman, tapi jangan
libatkan Nak Sania yang nggak bersalah."
Anak perempuan sialan ingin kuliah
untuk apa?
Uang yang diberikan oleh keluarga
Lesmana cukup untuk membiayai kuliah adik laki-lakinya.
Wali kelas merasa rumit. "Nggak
bisa. Shery harus datang sendiri ke sekolah."
Ekspresi di wajah Sania membeku.
Sial. Padahal, dia sudah mengatur semuanya dengan baik.
Nindi langsung memutar balik keadaan
dengan satu kalimat.
Darren mendengus kepada wali kelas.
"Boleh saya bicara langsung kepala sekolah?"
Wali kelas mengangguk. Darren menoleh
ke arah Sania. "Jangan khawatir, nggak akan terjadi apa-apa. Aku yakin
kamu nggak bersalah."
"Terima kasih, Kak Darren."
Sania memasang wajah sok polos dan
lemah, menyaksikan Darren pergi bersama wali kelas.
Nindi tertawa sinis. "Nggak
peduli Shery mengaku atau nggak, kamu memang mencontek. Itu fakta yang nggak
bisa diubah."
Sania pasti akan dihukum dan nilainya
akan dinyatakan tidak sah!
Gigi Sania bergemeletuk menahan
marah. "Nggak masalah selama Kak Darren percaya aku nggak bersalah. Dia
punya uang, aku pasti bisa kuliah!"
Nindi juga tidak ingin meladeninya
lebih lama lagi dan segera pergi.
Sania masih agak gelisah. Dia menatap
pasangan suami istri paruh baya di depannya. "Shery beneran mau
mengaku?"
"Anak sialan itu nggak mau, kami
sudah marahi dia. Tapi kami tetap bisa datang untuk mengakuinya. Jadi, Nona
Sania harus kirim uangnya, jangan ingkar janji."
"Tenang saja. Asal kalian bisa
bungkam mulut Shery, aku pasti kirim uangnya."
Sania masih sedikit gelisah.
Jika Shery angkat bicara, mau ditaruh
mana mukanya di rumah?
Sania menerima pesan di ponselnya.
"Shery sudah ketemu. Aku pastikan dia tutup mulut dan nggak akan
menghalangi jalan anak kesayanganku!"
Sanía seketika pucat.
Dia cepat-cepat menelepon nomor itu,
tapi operator mengatakan bahwa itu nomor kosong.
Sania berpikir sejenak. Pokoknya
Shery harus dibungkam!
Beberapa hari kemudian, Nindi
menyelesaikan proses pendaftaran dan akhirnya merasa lega.
Namun, dia dikirimi sebuah tautan
artikel berita dari ketua kelas. "Nindi, kamu tahu nggak? Shery
meninggal."
Meninggal?
Nindi membuka berita tersebut.
Seorang pejalan kaki menemukan mayat gadis perempuan gantung diri. Menurut
penyelidikan, mayat tersebut adalah siswa SMA, diduga bunuh diri karena tekanan
mental setelah ketahuan mencontek dalam Ujian Bersama Masuk Perguruan Tinggi.
Hari Nindi tiba-tiba terasa berat.
Benarkah Shery bunuh diri?
Shery yang dia kenal adalah gadis
yang sangat tebal muka. Meski dia harus dikeluarkan oleh sekolah, dia tidak
akan bunuh diri.
Luna melanjutkan dalam pesannya,
"Sania juga awalnya terlibat, tapi karena Shery bunuh diri, pihak sekolah
khawatir akan terjadi hal yang sama dengan Sania. Jadi, mereka mungkin akan
mengurangi hukuman kepada Sania!"
"Perempuan licik macam dia mana
mungkin bunuh diri"
Nindi sangat paham kepribadian Sania.
Namun, masalah ini terlalu rumit. Dia
tidak pernah menyangka bahwa Shery akan mati.
Kenapa bisa sampai seperti ini?
Mungkinkah Sania membayar pembunuh
untuk membungkamnya?
Apa ada seseorang dari keluarga
Lesmana yang mengaturnya?
Nindi juga tidak tahu kebenarannya.
Yang dia tahu pasti, masalah bunuh diri Shery tidak sesederhana kelihatannya.
Sayangnya, polisi tampaknya sudah
menyimpulkan bahwa ini adalah kasus bunuh diri.
Tepat pada saat itu, Nindi menerima
telepon dari Cakra. "Halo, ada apa?"
No comments: