Bab 194
Namun, Nindi tidak bisa mengingat apa
yang terjadi pada hari kecelakaan itu.
Dia hanya merasa seperti hatinya
teriris pisau, tidak bisa bernapas.
Darren marah dan melepas jaketnya.
"Nindi, kamu selalu merasa kami pilih kasih kepada Sania, tapi kami sejak
awal mengadopsi dia demi kamu. Demi membalas budi untukmu. Kamu nggak cuma
membunuh Ayah dan Ibu, tapi juga membunuh ayah Sania. Kamu ingin pergi? Aku
kabulkan keinginanmu!"
Darren langsung berbalik dan masuk ke
lift.
"Kak Darren, jangan pergi!"
Nando merasa cemas sekaligus marah,
lalu menoleh kepada adiknya. "Kak Darren bilang begitu karena sedang
marah. Jangan dianggap serius."
Nindi hampir tidak kuasa berdiri.
Cakra maju dan memegangi bahu Nindi,
dengan tatapan penuh rasa khawatir. "Kamu nggak apa-apa?"
Nindi menggeleng, bertanya dengan
suara serak kepada Nando, "Aku nggak ingat apa-apa tentang kecelakaan itu
sampai sekarang. Apa benar aku yang membunuh Ibu dan Ayah?"
"Nggak, kamu nggak bersalah sama
sekali. Kecelakaan itu murni kecelakaan. Pelakunya menerobos lampu merah dan
menabrak mobil Ibu dan Ayah. Dialah pembunuhnya!"
Begitu mendengar kata
"pembunuh", Cakra merasa seolah matanya ditikam sesuatu dan rasa
sakit mulai menyebar.
Nindi tidak begitu percaya.
"Tapi bukan begitu kata Kak Darren."
"Kak Darren sedang marah. Kamu
tahu sendiri sifatnya!"
Cakra melihat Nindi yang tampak melamun
dan akhirnya berkata, "Penjelasannya sudah sangat jelas. Kamu nggak
bersalah sama sekali."
Nindi menghapus air matanya dan
menatap Nando. "Silakan pergi. Aku nggak punya hubungan apa-apa lagi
dengan keluarga Lesmana."
"Nindi, dengarkan penjelasanku..."
Cakra menghentikan Nando.
"Semuanya sudah begini. Kamu masih merasa kalau kalian berhak mendapat
maaf darinya? Bisakah permintaan maaf kecilmu itu menghapus luka yang kalian
berikan padanya?"
Mata Nando berkaca -kaca.
"Aku... menyesalinya. Maafkati aku."
Dia juga pernah menghentikan Darren
dan Leo.
"Kalau kamu memang menginginkan
yang terbaik untuk Nindi, berhenti mengganggu hidupnya."
Cakra mendorong Nando dan menutup
pintu dengan keras.
Nando terjebak di luar pintu. Rasa
sakit di perutnya menyerang bertubi-tubi, tetapi masih tidak sebanding dengan
rasa sakit dalam hatinya saat ini.
Leo tiba-tiba berlari keluar dari
lift. "Kak, aku ketemu Kak Darren di bawah. Dia marah-marah, katanya mau
cepat-cepat kembali ke Kota Yunaria, sepertinya ada masalah di perusahaan. Mana
Nindi? Dia nggak apa-apa, 'kan?"
Nando menyeka darah di sudut mulutnya
dan mengibaskan tangannya. "Dia nggak apa-apa, ayo pergi."
"Kak, bukannya kamu pernah
bilang mau membawa pulang Nindi dan menebus kesalahanmu dengan segala cara?"
"Mungkin, menjauh dari Nindi
adalah pilihan terbaik. Kita sudah terlalu menyakitinya, jangan ganggu
kehidupan barunya lagi."
Nando membenturkan kepalanya penuh
rasa frustrasi. "Andai aku bisa memutar balik waktu, aku nggak akan
membiarkan semua ini terjadi."
Andai saja ada obat untuk penyesalan.
Di dalam apartemen.
Nindi duduk di sofa, melirik berita
tentang diretasnya sistem internal Grup Lesmana yang menjadi topik hangat.
Darren pasti sudah membeli tiket
pesawat untuk kembali ke Kota Yunaria.
Dia menghela napas lega. "Aku
sudah memutusnya dengan jelas sekarang. Kak Darren nggak akan pernah
menghubungiku lagi."
Setidaknya, dia tidak berani
bertindak gegabah sebelum Darren mengganti kode sumbernya.
Dia awalnya sudah lupa tentang kode
sumber itu dan tidak terpikir untuk memanfaatkannya.
Namun, mereka memaksanya mengambil
langkah ini.
Cakra menatapnya dalam-dalam.
"Jangan pikirkan kata Darren soal orang tuamu."
Nindi tersenyum pahit. "Jujur
saja, aku kadang berharap aku saja yang mati duluan. Biar Ayah dan Ibu saja
yang diselamatkan ayah Sania. Şemuanya akan baik-baik saja."
Dengan begini, dia tidak perlu hidup
dibebani rasa bersalah ini.
Mata Cakra sedikit bergetar
menatapnya. "Tapi orang tuamu memilih untuk menyelamatkanmu lebih
dulu."
No comments: