Bab 198
Nindi menatap tempat yang telah dia
tinggali bertahun-tahun, perasaannya begitu rumit. Sejak dia pindah, dia belum
pernah kembali ke sini.
Mobil berhenti di depan rumah besar
keluarga Lesmana.
Cakra menatapnya dan bertanya,
"Butuh kutemani? 11
"Nggak perlu, aku bisa sendiri.
Kalau ada masalah, aku akan telepon."
Melihat Cakra menunggu di luar, hati
Nindi lebih tenang.
Dia turun dari mobil dan langsung
berjalan ke pintu. Dia coba untuk memasukkan kode, tetapi salah.
Nindi tersenyum sinis, lalu menekan bel.
Tidak lama, Pengurus Rumah datang untuk membukakan pintu.
Nadanya mengejek saat Nindi bicara,
"Kapan ubah kodenya?"
Pengurus Rumah berdiri di depan
pintu, raut wajahnya dingin. "Nona Nindi, ini perintah dari Tuan Darren.
Tanpa seizin Tuan, Anda nggak boleh masuk ke rumah ini! Kodenya sudah diubah
menjadi tanggal lahir Nona Sania!"
Nindi teringat lagi soal alat tulis
yang bermasalah untuk ujian. Kemungkinan besar, itu adalah ulah Pengurus Rumah
ini.
Di kehidupan sebelumnya, Pengurus
Rumah ini selalu memihak Sania dan sering memfitnah Nindi di depan
kakak-kakaknya.
Nindi maju, lalu menendang pintu.
"Rumah tua ini dibeli orang tuaku. Hanya aku yang bisa memutuskan buat
nggak kembali. Kamu cuma seorang pelayan, ingatlah posisimu!"
Nindi bicara dengan nada dingin, lalu
segera berjalan masuk.
Pengurus Rumah terkejut kala melihat
perubahan sikap Nindi. Dia buru-buru mengejar sembari berseru, "Nona
Nindi, ini perintah Tuan Darren. Saya cuma jalankan perintah."
Nindi masuk ke ruang tamu, Kebetulan,
Nando pun sedang turun dari lantai atas. Dia tersenyum bahagia saat melihat
Nindi, lalu berkata, "Nindi, kamu pulang. Aku sudah pesan makanan untukmu,
nanti kita makan malam bersama, ya. Sudah lama kita nggak makan bersama."
"Nggak perlu. Mana Surat
Penerimaan Universitasku?"
Ekspresi Nindi terlihat dingin, tanpa
sedikit pun keramahan.
Nando tersenyum getir. "Ada di
ruang kerja, ikut aku ke atas."
Nindi mengikuti Nando untuk naik ke
lantai atas, tetapi Nando malah menuju kamar lamanya. "Nindi, kamarmu
dikembalikan ke semula. Sania juga sudah pindah ke kamarnya sendiri. Lihatlah.
Kalau ada yang kurang, aku akan siapkan."
Nindi melirik kamar yang pernah dia
tinggali.
Wajahnya tetap tenang. "Nggak
perlu, aku nggak akan tinggal di sini lagi," jawab Nindi singkat.
Nando menghela napás. "Ini rumah
yang dibeli orang tua kita. Kamar ini adalah kamar putri mereka, selamanya
buatmu, nggak ada yang bisa menggantikanmu."
Nindi berbalik ke ruang kerja seraya
bicara, "Ayo, kita bahas hal yang penting."
Dia tidak akan terharu dengan hal-hal
kecil seperti ini.
Nando mengeluarkan Surat Penerimaan
Universitas berwarna merah. "Kamu hebat, diterima di Universitas
Yasawirya. Kalau orang tua tahu, pasti mereka sangat bangga," pujinya.
"Jangan bawa-bawa nama orang
tua, aku hanya muak."
Nindi melihat surat tersebut, tetapi
dia seketika tersadar, surat itu sudah dibuka.
Raut wajahnya berubah. "Kenapa
kamu buka suratku?"
"Nindi, aku nggak membuka
suratnya. Aku tahu ini Surat Penerimaan Universitas punyamu, harus kamu yang buka."
Nindi menyerahkan surat itu pada
Nando. "Ini jelas-jelas sudah dibuka. Kamu buta, hah?"
"Pengurus, kemari!"
Nando juga melihat bekas bukaan itu,
ikut keheranan. Dia tidak membukanya sama sekali.
Pengurus Rumah hadir, lalu Nando
segera memasang ekspresi dingin saat bertanya, "Selain aku, siapa yang
masuk ke ruang kerja dan menyentuh surat ini?"
Pengurus Rumah melirik surat itu.
"Tuan Nando, ini cuma Surat Penerimaan Universitas. Asalkan isinya nggak
hilang, nggak masalah, 'kan?" tanyanya balik.
1
Nindi menatap dingin pada Pengurus
Rumah. " Kamu yang buka, ya?"
"Saya cuma mau tahu ada apa di
Surat Penerimaan Universitas itu. Jadi, saya tanpa sengaja membukanya dan
melihat-lihat."
Saat Nindi mendengar penjelasan
Pengurus Rumah, dia tidak percaya dengan alasannya.
Ini pasti ada hubungannya dengan
Sania!
Dia menoleh ke Nando dari berkata,
"Cek rekaman CCTV."
Hari ini, kalau tidak selesai,
namanya akan tersemat di nisan!
No comments: