Bab 199
Nando segera mengangguk dan berkata,
"Nindi, aku pasti akan selidiki ini sampai tuntas dan memberikanmu
kepastian yang jelas!"
Nindi melihat dengan tatapan dingin,
penjelasan seperti itu tidak perlu diberikan oleh orang lain.
Dia bisa memberikan penjelasan untuk
diri sendiri!
Melihat situasi makin buruk, Pengurus
Rumah buru-buru buka suara, "Nggak perlu periksa rekaman CCTV, memang aku
yang melakukannya. Salahkan aku saja."
"Pak Pengurus, rekaman CCTV saja
belum diperiksa, kenapa kamu buru-buru mengaku? Mau menanggung kesalahan siapa
lagi, nih?"
Melihat si Pengurus Rumah yang tua
ini, hati Nindi makin kesal.
Jika dia masih nekat mengadang
sebelum pergi, tentu jangan salahkan dia kalau tidak bersikap baik.
Nando juga menyadari perilaku aneh si
Pengurus Rumah. Dia menatapnya, lalu bertanya, "Coba bilang dengan jujur,
siapa yang pernah masuk ke ruang kerja?"
Pengurüs rumah itu terbata-bata,
sulit bicara sepatah kata pun dalam waktu cukup lama.
Nando sudah bisa menebak apa yang
telah terjadi, sehingga dia berteriak, "Sania! Suruh dia segera datang ke
sini!"
"Nona Sania sedang belajar di
kamar. Tunggu dia selesai dulu, ini bukan masalah besar!"
Mendengar kata-kata si Pengurus
Rumah, Nando terkejut.
Dia tidak menyangka, seorang pengurus
rumah sudah berani meremehkan Nindi seperti ini, membuktikan bahwa Nindi sering
diperlakukan tidak adil di rumah.
Nando melemparkan gelas ke arah si
Pengurus Rumah. "Aku bilang, suruh Sania segera datang ke sini. Kamu nggak
dengar?"
Pengurus rumah itu ketakutan, lalu
segera mengangguk seraya pergi meninggalkan ruang kerja.
Nando tidak berani menatap Nindi di
matanya. " Nindi, aku nggak mengira ini akan terjadi. Apakah Pengurus
selalu memperlakukanmu begini sebelumnya?"
Nindi bersandar di meja kerja,
wajahnya yang putih bersih telah dipenuhi ekspresi mengejek. "Sudah biasa,
nggak ada yang aneh."
Kalimat sederhana itu terasa bagai
pukulan berat bagi Nando, membuatnya hampir tidak bisa bernapas.
Nindi bilang, dia sudah biasa!
Nando melihat surat yang terbuka,
gemetar karena marah!
Tidak lama setelah itu, Sania pun
datang bersama si Pengurus Rumah. Dia sudah tahu apa yang terjadi.
Mata Sania tampak merah. Suara
lemahnya terdengar berkata, "Kak Nando, ini salahku. Aku penasaran, Surat
Penerimaan Universitas ternama seperti apa, lalu kubuka diam-diam. Aku
bersumpah, nggak menyentuh apa pun di dalamnya!
Mendengar pengakuan Sania, Nando
merasa lemas hingga terduduk di kursi. Dia tidak bisa berkata-kata.
Melihat Sania meminta maaf dengan
mata merah, tiba-tiba dia merasa jengkel.
Jika ini terjadi sebelumnya, apakah
dia akan tetap menganggap ini sebagai hal sepele dan berpikir bahwa Nindi tidak
perlu mempermasalahkannya setelah Sania minta maaf?
Makin dipikirkan, hati Nando terasa
makin dingin.
Jika bukan karena kelalaiannya,
bagaimana mungkin Sania dan si Pengurus Rumah berani melakukan ini?
Wajah Nando menjadi pucat dan tegas
berkata, " Sania, kamu harus segera minta maaf kepada Nindi!"
Sania menoleh ke Nindi, berpura-pura
meminta maaf. "Kak Nindi, maafkan aku. Kali ini, aku dihukum nggak bisa
lanjut sekolah. Aku sangat iri sama Surat Penerimaan Universitas punyamu dan
nggak sengaja kubuka. Jangan marah, ya?"
"Nggak!"
Seruan Nindi terdengar datar, melihat
dengan tatapan dingin.
Santa menggigit bibirnya, terus
menampilkan sikap pura-pura lemah. "Asal Kakak nggak marah, aku mau
melakukan apa pun!"
Padahal, cuma buka Surat Penerimaan
Universitas dan melihat sebentar?'
Ini memang sengaja dilakukan Sania.
Meskipun tidak diterima, dia hanya ingin mengganggu Nindi.
Lagi pula, dia hanya perlu meminta
maaf dan menangis sedikit, lalu semuanya akan beres.
"Kamu bisa bilang begitu,
ya."
Nindi sontak menampar Sania sepenuh
tenaga, tangannya pun berakhir mati rasa.
Sania terkejut. "Kak,
kenapa?" tanyanya.
No comments: