Bab 202
Sementara itu, di mobil.
Nindi tampak riang saat berkata,
"Barusan, aku berhasil menghajar cewek licik itu. Tanganku sampai kebas!
Waktu itu, ekspresi wajahnya luar biasa!"
Dia pikir, seharusnya, Sania masuk
dunia hiburan saja!
Siapa tahu, dia bisa menemukan pekerjaan
yang cocok sebagai si licik sejati!
Cakra, yang duduk di sampingnya,
melihat Nindi yang begitu bahagia. Dia menyadari, sungguh tidak perlu untuk
khawatir. Sekarang, Nindi jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
"Kapan rencanamu pergi?"
tanyanya santai.
"Besok, setelah semua urusan
selesai, aku beli tiket pesawat ke Yunaria."
Nindi meliriknya sejenak. Dia sadar,
tidak akan sering melihat Cakra lagi kalau Nindi pergi nanti.
Bagaimanapun juga, dia adalah dokter
sekolah. Pekerjaannya ada di tempat ini.
Cakra mengangguk mendengar jawaban
Nindi. " Kalau gitu, ayo, kita makan bersama besok malam sebelum kamu
berangkat."
Dia tahu yang tersirat dari ekspresi
Nindi, tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya melunak.
Sekarang, waktu yang tepat melepas
segalanya.
Suasana dalam mobil begitu sunyi.
Esok harinya, Nindi mengurus prosedur
pindah alamat. Sekarang, dia bebas sepenuhnya. Keluarga Lesmana pun tidak akan
bisa memengaruhinya lagi.
Sekembalinya ke apartemen, Nindi
melihat meja makan sudah dipenuhi berbagai hidangan lezat yang tertata rapi.
Zovan berdiri di samping meja dengan
senyuman." Lemon, aku mau adakan pesta perpisahan buatmu malam ini."
"Terima kasih."
Nindi duduk di kursinya sebelum
berbicara pada Zovan. "Semoga promosi investasi besok lancar, ya."
"Kuharap juga begitu,"
jawab Zovan.
Nindi lekas menoleh pada Cakra.
"Besok kamu ikut, ' kan?"
Bagaimanapun juga, ini proyek baru
perusahaan.
Cakra mengatupkan bibir tipisnya,
dengan tenang menjawab, "Besok, aku nggak bisa ikut. Kalian saja yang
pergi, Zovan pemilik perusahaan, berarti sudah tugasnya."
Mendengar kabar Cakra tidak akan
ikut, hati Nindi agak kecewa.
Meskipun Nindi tahu kalau hari ini
pasti tiba, saat harinya benar-benar datang, tetap sulit baginya untuk
melepaskan.
Zovan coba mencairkan suasana.
"Nggak ada pertemuan yang abadi. Nanti, kalau ada waktu, kita pasti
bertemu lagi."
Nindi menggenggam minumannya, agak
hampa.
Selepas makan malam, Zovan keluar ke
balkon untuk terima telepon.
Nindi menatap pria di hadapan meja
makannya." Aku mau pergi besok. Kamu nggak mau bilang apa-apa
padaku?"
Cakra tampa tenang menghadap Nindi
sembari menjawab, "Setelah ini, hiduplah lebih bahagia. Lakukan semua yang
kamu mau, nggak usah khawatir."
"Cuma itu?"
Nindi agak kecewa saat menatapnya.
Cakra mengalihkan tatapannya,
menghindar dari sorot mata Nindi. "Setelah masuk kuliah, fokus belajar.
Jangan buru-buru terpikir pacaran."
Nindi seketika terkekeh.
"Pacaran itu hakku."
Cakra merasa tercekik sejenak, lalu
menjawab, " Kamu masih kecil."
"Aku sudah dewasa. Toh, kamu
lagi pacaran, 'kan? Rasanya, aku belum pernah bertemu pacarmu."
Nindi begitu penasaran, bagaimana
tipikal pacar Cakra yang sesungguhnya.
Dia benar-benar ingin tahu.
Untuk menutupi rasa canggung, Cakra
bergegas menuangkan segelas anggur merah untuk dirinya sendiri. "Buat apa
kamu bertemu pacarku?"
"Kita teman, 'kan? Nanti, kalau
aku punya pacar, aku juga mau mengenalkan ke kalian."
Raut wajah Nindi kelihatan begitu
tenang.
Namun, Cakra merasa tidak nyaman
mendengar pernyataannya. Dia buru-buru meneguk anggur miliknya, lalu melihat
Nindi hendak menuang anggur ke gelasnya sendiri.
Refleks, Cakra menahan tangan Nindi,
kemudian gelasnya ditekan ke meja. "Kamu nggak boleh minum. Toleransi
alkoholku saja buruk. Nggak perlu coba-coba lagi."
"Jadi, kamu mau mengaturku
seumur hidup?"
Mata aprikot Nindi tampak tenang,
menjelajahi wajah pria di hadapannya dalam diam.
No comments: