Bab 207
Seusai Nindi bicara, Sania menutup
mulutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Nindi, kamu jangan naif begitu,
dong. Kak Darren punya hubungan baik dengan Grup Julian sejak lama. Semua sudah
diatur. Pertemuan kali ini cuma formalitas saja."
Sejak tiba di Yunaria, Sania
menyadari betapa megahnya sebuah kota besar. Sekarang, dia baru tahu betapa
tertinggalnya kampung halamannya
Dia tidak akan kembali ke sana untuk
mengulang sekolah. Sania bertekad tinggal di kota besar, lalu mencari pria kaya
raya untuk dinikahi.
Pintu lift pun terbuka.
Sania merangkul tangan Darren dengan
bangga sambil menatap Nindi di luar lift. "Kalian tunggu saja lift
berikutnya. Bagaimanapun juga, perusahaan kita jelas beda kelas!"
Darren hanya memasang ekspresi
dingin, tanpa sedikit pun melirik Nindi.
Beberapa waktu lalu, Nindi sengaja
mengutak-atik sistem tembok pelindung grup hingga Darren rugi besar, bahkan
nyaris menjadi bahan tertawaan di industri.
Sekarang, dia berhasil kembali
stabil.
Darren bersumpah membuat Nindi
menyesal. Dia ingin lihat Nindi memohon dengan menyedihkan sampai kembali ke
keluarga Lesmana untuk berlutut meminta maaf.
Pada saat itu, dia pasti akan
memberikan Nindi pelajaran yang tidak terlupakan sebagai kakak sulung.
Di luar lift, Nindi menoleh pada
Kepala Tim. "Jangan khawatir. Investasi itu kompetisi yang adil. Grup
Julian juga akan memutuskan semua hal berdasarkan relasi. Selama produk riset
kita cukup unggul, Grup Julian pasti akan memilih kita."
"Kalaupun bukan Grup
Julian," tambahnya dengan tenang, lalu Nindi melanjutkan, "Masih
banyak perusahaan lain di Yunaria. Pasti kita bisa menemukan mitra buat kerja
sama."
Kepala tim itu mengangguk.
"Betul, ayo, segera ke ruang VIP. Jangan sampai membuat mereka menunggu
terlalu lama."
Nindi mengikuti koleganya ke ruang
VIP yang sudah dipesan. Tidak lama kemudian, semua orang dari Departemen
Investasi Grup Julian sudah datang
Sosok itu adalah seorang pria paruh
baya dengan setelan jas rapi. Dia tampak seperti seorang eksekutif sukses di
dunia bisnis.
Setelah duduk, pria itu berkata,
"Maaf semuanya, saya nggak bisa tinggal lama. Sebentar lagi, putra pewaris
Grup Julian datang ke lantai atas. Saya hanya datang untuk menyapa."
Bagaimanapun juga, dengan status dan
pengaruh seorang putra pewaris, orang biasa hampir tidak akan pernah mendapat
kesempatan untuk bertemu dengannya.
Hari ini, momen langka itu pun tiba.
Tentu, tidak ada yang ingin melewatkan kesempatan ini.
Kepala Tim segera menarik Nindi lebih
dekat. "Pak Rayan, dia salah satu peneliti utama di perusahaan kami. Masih
muda, tapi sudah sangat berbakat."
Pria itu menatap Nindi dari ujung
kepala hingga kaki. "Masih muda sekali. Kudengar kamu lulusan terbaik
ujian masuk universitas, ya? Baru masuk kuliah, 'kan? Nak, mari bersulang
segelas!"
Nindi memegang gelas anggur, tetapi
bayangan Cakra dan wajah seriusnya saat sedang memberi nasihat tiba-tiba
terlintas di pikirannya.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata,
"Maaf, saya nggak bisa minum. Orang tua saya begitu ketat soal ini."
"Ya sudah, lain kali saja kalau
ada kesempatan."
Pria paruh baya itu langsung
meletakkan gelas miliknya, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Suasana di ruangan mendadak canggung.
Nindi pun tidak menyangka akan
seperti itu. Dia menoleh ke Kepala Tim dan coba menjelaskan, "Aku
benar-benar nggak bisa minum."
"Aku tahu, kamu memang masih
muda. Tapi, kalau mau terjun ke dunia bisnis, jangan pakai alasan kekanakan
begitu. Belajar minum sedikit demi sedikit. Jadi, kalau menghadapi situasi
seperti tadi, kamu nggak sekaku ini, 'kan?"
Wajah Nindi terlihat agak murung.
Dia sungguh tidak ingin minum.
Karena merasa canggung di ruang VIP,
Nindi mencari alasan untuk pergi ke toilet. Dia pun keluar dari ruangan.
Di luar, matanya spontan tertuju ke
lantai atas.
Dia mendengar kabar bahwa putra
pewaris Grup Julian sedang berada di sana.
Jika saja dia bisa mendapat
kesempatan untuk bicara sebentar dengannya, mungkinkah ada peluang untuk meraih
investasi?
Nindi melihat seorang pelayan sedang
berdiri menjaga di luar lift. Dia pun diam-diam naik lewat tangga.
Namun, belum sempat dia melangkah
lebih jauh, dua pria berbadan kekar berpakaian hitam sudah mengadangnya.
"Maaf, Nona. Lantai atas sudah
disterilkan, yang nggak berkepentingan dilarang masuk."
"Lepaskan aku! Aku ... tamu dari
ruang VIP di lantai bawah. Aku juga mau bertemu Putra Mahkota!" 2
Sayangnya, Nindi tetap tidak
diizinkan lewat. Dia hanya bisa berdiri di sudut, menunggu dengan pasrah.
Begitu mendongak, dia melihat pintu
lift terbuka, menampilkan sekelompok pengawal dengan baju hitam yang keluar dan
berbaris rapi membentuk dua barisan.
Suasana seketika terasa megah dan
mencekam.
Tidak perlu heran, hal ini memang
demi sosok pewaris keluarga Julian, keluarga nomor satu di negeri ini!
Nindi berjinjit, berusaha meregangkan
lehernya untuk mengintip. Rasa penasarannya memuncak bertanya-tanya, seperti
apa wajah Putra Mahkota keluarga Julian?
No comments: