Bab 208
Hanya saja, pengawal berbaju hitam
itu terlalu tinggi, sehingga Nindi hanya bisa mengintip dari celah untuk
melihat seorang pria bertubuh tinggi besar keluar lift.
Pria itu mengenakan setelan jas
berwarna gelap, dengan lengan baju agak tergulung. Jemarinya terlihat ramping
dan bersih.
Pria itu melangkah penuh keyakinan.
Di bawah sorotan lampu, wajahnya tampak samar-samar, hampir tidak bisa
dikenali.
Nindi tiba-tiba melompat dan
melambaikan tangan dengan semangat. "Pak Julian, saya dari perusahaan
Patera Akasia, saya..."
Namun, belum sempat Nindi menyelesaikan
kalimatnya, seorang pengawal bergegas menutup mulutnya, lalu mendorongnya ke
tangga darurat.
"Nona, jika Anda terus membuat
keributan, jangan salahkan kami kalau bertindak kasar."
Setelah mengatakannya, pengawal itu
langsung pergi, meninggalkan Nindi sendiri di sana.
Nindi duduk di tangga darurat sambil
menghela napas panjang. Sepertinya, bertemu putra pewaris itu tidak akan
semudah yang dia bayangkan.
Nindi pun memutuskan untuk menelepon
Zovan setelah berpikir sejenak. "Ada yang harus aku sampaikan. Sepertinya,
investasi Perusahaan Patera Akasia akan gagal."
"Investasinya gagal? Kenapa kamu
berpikir begitu?"
Hati Zovan agak geli. Bagaimana
mungkin orang itu batal berinvestasi di Perusahaan Patera Akasia? Dia saja
hampir menyerahkan seluruh hasil kerjanya langsung ke tangan Nindi.
Nindi lalu menceritakan kejadian
barusan saat dia bertemu pria itu. "Barusan, aku sempat melihat putra
pewaris keluarga Julian."
"Apa? Kamu benar-benar
melihatnya?"
"Ya, tapi pasti nggak mudah buat
bertemu dia. Aku cuma sempat lihat punggungnya sebelum penjaganya mencegatku di
tangga restoran."
Nindi menghela napas panjang.
"Zovan, kamu punya cara buat bertemu Putra Mahkota itu? Kita perlu bicara
tentang investasi ini."
Bagaimanapun juga, keluarga Zovan
cukup kaya. Pasti punya cara untuk mewujudkannya.
Dia tidak ingin kalah dari Darren
ataupun Nando.
"Itu gampang, aku akan coba
menghubungi dia."
"Oke."
Setelah menutup telepon, Nindi
berdiri sembari menepuk-nepuk roknya yang agak berantakan. Dia memutuskan untuk
pulang dulu sebelum melanjutkan rencananya.
"Hei, Nindi! Kenapa kamu
bersembunyi di tangga darurat? Jangan-jangan, kamu dihalangi penjaga Putra
Mahkota keluarga Julian, ya?"
Sania baru saja keluar dari kamar
mandi dekat situ. Dia sempat mengira salah dengar ketika mendengar suara Nindi.
Nindi menoleh dan langsung menatap
gadis licik itu dengan jengah. Dia pun memutar bola matanya malas sambil
bertanya, "Apa urusannya sama kamu? 11
"Nindi, kenapa kamu terus
menyaingiku? Bahkan, sampai nekat kabur dari rumah segala. Kamu pikir dirimu
hebat karena punya banyak penggemar di siaran langsung dan nilai ujianmu agak
lebih baik?"
"Tapi, tahu nggak, sih? Semua
itu nggak berarti di Yunaria!"
"Tanpa keluarga Lesmana, kamu
bukan siapa-siapa. 11
Nindi tiba-tiba terkekeh kecil.
Namun, senyumnya tampak dingin dan penuh sindiran. "Oh, ya? Kalau begitu,
bagaimana kalau aku langsung telepon Kakak sekarang dan bilang aku mau
pulang?"
Raut wajah Sania langsung menegang.
Dia jelas tidak menginginkan Nindi untuk kembali.
Sania harap, Nindi tidak pernah
kembali seumur hidup. Kalau itu terjadi, dia bisa menjadi satu-satunya putri
dari keluarga Lesmana yang dimanja keenam kakaknya.
Namun, dengan nada agak kikuk, Sania
berkata Tapi, kamu sudah diusir sama Kakak. Kamu nggak bisa kembali."
11
"Hah, tapi aku tetap saudara
kandung mereka yang sebenarnya. Nggak sepertimu, cuma anak angkat tanpa
hubungan darah sedikit pun."
"Nanti, saat beritamu menyontek
di ujian akhir dan dapat nilai nol besar sampai ketahuan, ditambah lagi kamu
payah dalam permainan ..."
"Apa yang bisa kamu bandingkan
denganku, sih? Orang-orang di Yunaria jelas nggak akan suka sama sampah
sepertimu, 'kan?"
Wajah Sania sampai merah padam karena
marah, bahkan nyaris meledak. Dirinya maju selangkah, berniat menampar Nindi.
"Dasar cewek hina!"
Nindi, yang berdiri di tangga, hanya
menggeser tubuhnya sedikit ke samping, menghindari serangan itu.
Tamparan Sania melayang di udara.
Tubuhnya langsung hilang keseimbangan. Dia terjatuh dari tangga, diiringi
jeritan melengking yang begitu memilukan.
Nindi menatap Sania dari atas,
tatapannya terlihat sedingin es. "Selamat tinggal... ah, salah. Lebih
tepatnya, jangan sampai bertemu lagi!"
"Nindi! Berani-beraninya kamu
melukai orang!"
Darren tiba di pintu tangga penuh
amarah.
Nindi tetap sinis saat berkata,
"Aku nggak sentuh dia sama sekali."
Darren menatap sosok sekretaris di
sampingnya." Kenapa kamu masih melamun? Ayo, tangkap dan laporkan
dia!"
"Lihat saja kalau berani
melakukannya!"
No comments: