Bab 651
Nindi sedikit terkejut saat melihat
Witan dengan tiba -tiba melayangkan tamparan kepada Sania.
Di kehidupan sebelumnya,
kakak-kakaknya begitu memanjakan Sania. Mereka memperlakukannya dengan sangat
hati-hati, seolah-olah wanita itu sangat rapuh dan mudah hancur.
Kini, Witan bersedia turun tangan
langsung.
Tampaknya, kebaikan yang mereka sebut
selama ini juga bersyarat.
Nindi melihat Sania yang terlihat
kebingungan. Dengan nada mengejek, da berkata, "Kak Witan, tenang dulu,
jangan karena kamu mukul orang malah bikin masalah. Kalau sampai tersebar,
bisa-bisa nama baik keluarga Lesmana yang hancur."
"Heh, Sania itu 'kan cuma anak
angkat keluarga ini. Semua yang dia makan, minum, dan pakai juga dari kita.
Masa aku nggak boleh kasih dia pelajaran sih?" ujar Witan.
Witan menundukkan kepalanya dan
segera menatap Sania. "Sania, kamu juga mikir gitu, 'kan?"
Sania merasakan perih di kulit
kepalanya, dia benar-benar tidak berani melawan sedikit pun.
Sania melihat Nindi masih berdiri di
samping dan menyaksikan kejadian ini, hatinya dipenuhi kebencian kepada wanita
itu. Dia tidak pernah ingin terlihat lemah di hadapan Nindi.
Rasanya lebih menyakitkan daripada
kematian.
Sania lantas menjawab dengan suara
pelan. "Kak Witan, aku beneran nggak ngapa-ngapain sama Yanuar di ruang
tunggu. Video itu dibikin kayak sudah terjadi sesuatu, padahal nggak ada
apa-apa kok."
Lagi pula, dia sudah melihat video
itu. Dan, roknya menghalangi, sehingga tidak dapat dipastikan apakah terjadi
sesuatu atau tidak.
Usai mendengar penjelasan ini,
ekspresi wajah Witan terlihat membaik.
Dia mengangkat pandangannya dan menatap
Nindi. "Kamu dengar, 'kan? Sania tuh nggak seperti yang kamu bilang."
"Ya terserah kalau mau percaya.
Aku sih nggak masalah, toh yang diselingkuhi juga bukan aku," jawab Nindi
dengan nada santai.
Witan seketika menggertakkan giginya,
amarahnya memuncak. "Nindi, jangan lari! Awas saja, bakal kubikin babak
belur kamu!"
Dari arah belakang, terdengar suara
kemarahan besar dari Witan, tetapi Nindi tidak menoleh. Dapat disimpulkan bahwa
Witan sangat mempermasalahkan Sania yang pernah tidur dengan pria lain dan
keberatan menerima kenyataan wanita itu sudah tidak lagi perawan.
Oleh karena itu, tampaknya kehidupan
Sania juga tidak akan berjalan lancar.
Setelah kepergian Nindi, Sania
akhirnya menghela napas lega dan berkata, "Kak Witan, jangan percaya omongan
Nindi. Dia pasti sengaja mau bikin kita bertengkar!"
Sania melihat wajah muram Witan,
hatinya seketika diliputi rasa kesal. Pecundang seperti dia masih berani kurang
ajar, ya?
Setelah dia menerima dana investasi
untuk proyek Al, dia akan membuat keluarga Lesmana menanggung akibat dari
perbuatan mereka selama ini.
Witan menepuk pipi Sania dengan
lembut, nada suaranya terdengar sangat dingin. "Aku suka kamu yang polos
dan suci, tapi sekarang kamu sudah berubah. Kenapa kamu masih mau
denganku?"
Usai menghabiskan malam bersama
kemarin, Witan merasa tidak ada yang istimewa.
Lagi pula, bukan dengannya wanita itu
pertama kali melakukannya.
Sania seketika merasa begitu gelisah.
"Kak Witan, semalam kamu nggak ngomong gitu."
Orang nggak tahu malu ini masih mau
apa lagi, sih?' batinnya.
"Aku bisa saja maafin kamu, tapi
ada syaratnya, buat aku senang dulu. Kalau aku puas, baru aku maafin. Kalau
nggak, siap-siap saja angkat kaki dari keluarga Lesmana, dan lupakan soal
proyek Al yang Kak Darren janjikan itu," ucap Witan.
Mendengar itu, Sania merasa keberatan
dan berucap dengan enggan. "Kak Witan, kamu 'kan tahu, aku selalu anggap
kamu paling penting. Aku bakal lakuin apa pun supaya kamu nggak marah
lagi."
Sania menundukkan kepala dengan
ekpresi terluka dan suara yang bergetar seolah akan menangis, tetapi sorot
matanya sekilas tampak begitu muak.
Witan segera berdiri di hadapannya
dan menekan pundak Sania. "Kamu tahu harus berbuat apa, 'kan?"
Ekspresi terkejut terlihat jelas di
mata Sania. Siapa sangka, dia akan dipermalukan seperti ini!
Matanya Witan memerah, terlihat
amarah di dalamnya. "Kamu harusnya jadi tuan putri yang aku manja, tapi
kamu sendiri yang menyia-nyiakannya."
Perasaaan Witan berkecamuk. Wanita
yang selama ini dia cintai ternyata telah ternoda oleh pria lain.
Membayangkannya saja sudah membuatnya
geram.
Nindi meninggalkan vila keluarga
Lesmana. Ketika mengingat bagaimana Witan memukul Sania tadi, dia pun tersenyum
dengan sinis.
Akhirnya, dia dapat melihat dengan
jelas watak asli keluarga Lesmana yang egois dan munafik.
Rupanya, posisi Sania di hati mereka
tidak terlalu berharga.
Nindi pun segera kembali ke asrama
kampus.
Ketika dia memasuki kanıar, kedua
orang di dalamnya masih terlelap. Dia menaruh sarapan yang dibawanya di atas
meja dan berkata, "Ayo makan dulu."
Galuh menguap dan menyibak tirainya.
"Semalam aku terlalu semangat sampai nggak bisa tidur. Sayang banget aku
nggak bisa lihat langsung si perempuan licik itu dipukul habis-habisan."
"Tapi, itu 'kan juga demi keselamatanmu,"
ucap Nindi.
No comments: