Bab 666
Saat itu, dokter dan perawat bergegas
masuk ke dalam ruangan, sementara Nindi harus keluar dari ruang ICU.
Dia berdiri di luar dan melihat
bagaimana para tenaga medis mengerumuni lelaki tua itu. Hatinya terasa
dicengkeram ketakutan.
Kepala pelayan kemudian berjalan
mendekat dengan wajah penuh amarah, "Nona Nindi, apa kamu nggak tahu kalau
Nyonya sudah berkali-kali mengalami kritis? Bagaimana bisa kamu bilang begitu
dan membuatnya marah?"
Nindi menggigit bibirnya, "Aku
nggak maksud begitu. Aku cuma mau ..."
"Nggak peduli apa yang ada di
pikiranmu. Aku peringatkan dengan jelas, sekarang kamu dalam masalah besar.
Kalau sesuatu terjadi pada nyonya, kamulah yang harus menanggung
akibatnya!"
Nada suaranya begitu serius. Setelah
mengatakannya dia segera pergi ke samping dan mulai menelepon seseorang untuk
melaporkan situasi yang terjadi.
Nindi duduk di bangku panjang di
lorong rumah sakit. Dia ragu sejenak sebelum akhirnya mencoba menghubungi
Cakra. Namun, panggilan tak dapat tersambung.
Di luar, malam semakin larut, tetapi
hati Nindi diselimuti kegelisahan.
Dia mengeluarkan ponselnya, berniat
mengirim pesan pada Cakra. Namun, setelah lama berpikir, dia tetap tidak tahu
harus berkata apa. Akhirnya, dia hanya mengetik beberapa kalimat, "Maaf,
sepertinya aku sudah buat masalah. Nenekmu jadi kritis sekarang setelah bertemu
aku. Cepat datang ke rumah sakit."
Setelah mengirim pesan itu, Nindi
terjebak dalam penantian yang panjang.
Dia tetap berjaga di luar ruangan,
hingga akhirnya tertidur sambil bersandar di kursi.
Ketika Cakra tiba di rumah sakit, dia
melihat Nindi tertidur sendirian di bangku. Dia berjalan mendekat dan melepas
jaketnya, lalu dengan lembut menyelimutinya di atas tubuh gadis itu.
Cakra berjongkok di hadapannya sambil
merapikan helaian rambut Nindi.
Saat itulah, kepala pelayan datang
dengan langkah tergesa-gesa.
Cakra menoleh sekilas ke arahnya,
lalu memberi isyarat agar tetap tenang. Dia berdiri dan bergeser ke samping,
lalu bertanya lirih, "Bagaimana keadaanya?"
Dalam perjalanan, dia sudah mendapat
kabar bahwa kondisi neneknya mulai stabil. Itu sebabnya dia tidak membiarkan
berita ini sampai ke rumah, agar keluarganya tidak perlu panik dan bergegas ke
rumah sakit di tengah malam.
Kepala pelayan melirik sekilas ke
arah Nindi yang masih tertidur, lalu ikut berbisik, "Kondisinya sudah
stabil. Tapi sebenarnya, keadaan Nyonya cukup baik hari ini. Namun, sejak
bertemu Nona Nindi, emosinya jadi sangat tidak terkendali dan nyawanya hampir
berada dalam bahaya."
Cakra melirik ke dalam ruang ICU,
menatap neneknya yang terbaring di ranjang dengan berbagai alat medis terpasang
di tubuhnya.
Keningnya berkerut, "Bukankah
kita sudah sepakat untuk bertemu besok?"
"Nyonya tadi malam bangun.
Kondisinya juga baik. Lalu, dia bilang ingin bertemu secara pribadi."
"Terus Nenek ngapain? Apa yang
dia katakan?"
Sorot matanya membuat kepala pelayan
merasakan tekanan besar.
Akhirnya, kepala pelayan itu tak
berani menyembunyikan apa pun dan menceritakan semuanya dengan jujur. Termasuk
menyerahkan sebuah dokumen pada Cakra.
Cakra membuka dokumen itu dan melihat
daftar aset di dalamnya. Sebagian besar kekayaan pribadi neneknya ternyata
tercantum di sana.
Dia menghela napas panjang. Jadi,
sang nenek akan menebus kesalahannya dengan uang?
Kepala pelayan kembali bersuara,
"Tuan Muda, bagaimanapun juga, menurut saya gadis itu nggak cocok untuk
Anda."
"Ini bukan urusanmu."
"Ini bukan urusanmu."
Cakra melempar kembali dokumen itu ke
arah kepala pelayan, lalu berkata datar, "Jaga ucapanmu."
Kepala pelayan langsung menunduk,
tanpa berani berkata lagi. Dia tetap merasa bahwa Nindi tidak sebanding dengan
Sofia, yang jauh lebih dewasa dan pandai merawat orang lain.
Cakra tak lagi memperdulikan tatapan
kepala pelayan. Dia berbalik menuju bangku panjang, lalu menggendong Nindi
dengan hati-hati. Dan membawanya ke ruang rawat di lantai bawah.
Gerakan Cakra begitu lembut,
memastikan tak menyentuk luka di kakinya. Dia kemudian menyesuaikan suhu AC,
agar Nindi tak kedinginan karena kakinya tak terkena selimut.
Setelah semuanya beres, Cakra berdiri
di tepi ranjang, menatapnya dalam diam.
Cakra berbalik dan merebahkan diri di
sofa kecil sudut ruangan, mencoba tidur sejena. Lagi pula, fajar akan
menyingsing selang beberapa jam lagi.
Begitu hari mulai terang, Nindi pun
terbangun.
Dia hanya ingat bahwa dirinya tengah
duduk di bangku. Sejak kapan dia pindah ke kamar rawat?
Nindi menopang tubuhnya dan berusaha
duduk.
Saat itu juga, matanya tertuju pada
sosok yang tidur di sofa kecil. Kakinya yang panjang terpaksa ditekuk agar
muat. Dia meringkuk dan tampak sedikit menyedihkan.
Nindi menatapnya sejenak. Tak
menyangka jika dia benar-benar datang.
Nindi berjalan mendekat. Kemudian,
dia mengambil selimut dan meletakkannya di atas tubuh Cakra.
Namun, di detik berikutnya, pria itu
langsung terjaga. Dia refleks meraih pergelangan tangan Nindi. Sorot matanya
tampak dalam di tengah keheningan.
Nindi pun mengerjap, "Cakra,
kamu..."
Sebelum Nindi menyelesaikan
kalimatnya, pria itu tiba-tiba berdiri dan menghapus jarak mereka, lalu mencium
bibir Nindi dengan menggebu-gebu.
No comments: