Bab 684
Witan dan Sania yang berada di
sampingnya langsung tercengang dan ketakutan.
Dengan suara bergetar, Sania berkata,
"Ini nggak mungkin... nggak mungkin!"
Sampai sekarang, dia masih belum bisa
menerima kenyataan ini.
Dokter sekolah yang miskin itu
ternyata pewaris keluarga Julian, keluarga terkaya di Kota Yunaria!
Jadi Nindi akan naik derajat dan
menjadi wanita terpandang?
Apa hak Nindi untuk mendapatkannya?'
pikir Sania.
Witan langsung bertanya dengan panik,
"Kak Darren, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Siapa sangka pacar miskin Nindi
ternyata punya latar belakang sehebat ini!
Bagaimana mungkin Keluarga Lesmana
berani menyinggung Keluarga Julian sekarang?
"Mana aku tahu! Selama
bertahun-tahun aku sudah berjuang untuk Keluarga Lesmana, tapi apa
hasilnya?"
Darren langsung merasa putus asa.
Sekarang tidak ada satu pun anggota
keluarga yang bisa membantunya, semuanya hanya menjadi beban.
Nyonya Martha melangkah maju dan
menatap Cakra, lalu berkata, "Orang-orangku sudah beresin semuanya. Nggak
ada yang akan tahu tentang kejadian hari ini. Aku pergi dulu."
Setelah kejadian hari ini, Nyonya
Martha tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali. Dia harus menjaga jarak dari
Keluarga Lesmana.
Setelah Nyonya Martha pergi,
sekelompok orang bergegas masuk ke tempat itu.
Mia langsung menghampiri Nindi dan
Cakra, lalu berkata, "Kami sudah mengambil alih tempat ini. Ada perintah,
Pak Cakra?"
Cakra menoleh, lalu meletakkan kedua
tangannya di bahu Nindi seraya berkata "Semua sudah beres."
Nindi mengusap darah di pipi Cakra.
Dia tak menyangka bahwa Cakra bisa sekejam itu saat bertarung.
Cakra memegang tangan Nindi, lalu
bertanya, "Apa itu membuatmu takut?"
"Nggak, tapi waktu pertama kali
kamu mengajariku tinju, kamu bilang kamu cuma amatir. Memangnya ada amatir
sehebat ini?"
Setelah berkata demikian, Nindi
berbalik dan menatap Keluarga Lesmana.
Dia berjalan mendekati Darren dan
berkata, "Kak Darren yang manis dan polos, apa yang kamu pikirkan
sekarang? Barusan kamu menunjuk dada pewaris keluarga Julian dan menyebutnya
miskin."
Darren melangkah mundur sambil
menahan nyeri akibat lengannya yang patah.
Dia menggertakkan giginya dan
berkata, "Sekarang giliranmu menertawakanku, dasar gadis sialan!"
"Makanya aku bilang, siapa yang
bisa memastikan pemenangnya sebelum semuanya berakhir?"
Nindi melirik kaki palsu Witan dan
berkata, " Sekarang kamu yang diusir, bukan aku! Tanpa investasi Nyonya
Martha, berapa lama kamu bisa bertahan?"
Dengan produk seburuk ini dan tanpa
uang, proyek Lesmana Grup hanya akan mengalami kerugian besar.
Darren mundur dua langkah dengan
wajah penuh amarah sekaligus malu.
Witan maju dengan marah dan berkata,
"Nindi, kamu nggak mungkin tega menghancurkan keluargamu sendiri,
'kan?"
"Keluarga sendiri? Kalian pantas
disebut begitu?"
Dengan tatapan sinis, Nindi berkata,
"Barusan kalian bekerja sama untuk menyingkirkanku, 'kan?"
Witan langsung terdiam.
Pada saat ini, Sania berjalan
mendekat dan berkata dengan nada manja, "Kak Nindi, kamu sudah hidup
nyaman sekarang dengan dukungan Tuan Cakra. Keluarga ini hanya bisa iri dan
meminta belas kasihanmu, kenapa kamu kejam sekali?"
Sambil tersenyum sinis, Nindi
berkata, "Oh, jadi kalian ingin minta belas kasihan dariku?"
Sania cepat-cepat mengangguk, lalu
dengan ekspresi penuh harap, dia berjalan ke arah Cakra dan berkata dengan
suara lembut, "Tuan Cakra, kita sudah saling kenal cukup lama. Kak Nindi
tetaplah putri keluarga Lesmana, kalau Lesmana Grup bangkrut, itu juga nggak
akan menguntungkan buat dia."
Nindi memperhatikan bagaimana Sania
tampak tunduk di depan Cakra, matanya yang penuh ambisi menatap pria itu
seperti sedang mengait mangsanya.
Nindi langsung naik pitam.
Dia berjalan mendekat dan berkata,
"Tapi kalau keluarga Lesmana nggak bangkrut, apa untungnya buatku?"
"Tetap ada keuntungannya.
Keluarga Tuan Cakra sangat terpandang. Kalau latar belakang keluargamu terlalu
biasa, bukankah itu akan memalukan?"
Sania mengibaskan rambutnya, membuat
Nindi merasa jijik.
Detik berikutnya, Sania yang licik
itu mendongak dengan memasang ekspresi manis, lalu berkata dengan suara manja,
"Tuan Julian, menurutmu aku benar, 'kan?"
No comments: