BAB 35
Gelak tawa yang terdengar jelas itu
membuat para tamu yang mengerumuni Xander tidak terkecuali si Tuan Muda Rilley
dan kakeknya menoleh ke arah suara itu berasal.
Gerakan kompak mereka bagai membentuk
sebuah gang dengan tubuh mereka sendiri sebagai temboknya. Di ujung sana,
segenap mereka dapat melihat. Wanarto sedang menyeringai lebar. Dialah yang
terbahak-bahak barusan.
"Kalian itu lucu sekali.
Lucu..., karena kamu semua bodoh, sungguh sangat bodoh!" ujar Wanarto.
Kaget dengan pernyataan Wanarto
apalagi di saat semua orang penting di sana mendukung Xander, Gerald yang
sedang berusaha mencari muka di hadapan keluarga Rilley menanggapi.
"Pak Wanarto..., ke-kenapa Bapak
tertawa?" tanya Gerald takut-takut.
"Nah, ini. Satu dari sekian
orang dungu. Bukankah barusan aku sudah mengungkapkan alasan mengapa aku
tertawa, Harianto bebal?!" Wanarto menyambut diakhiri cengir tak
menyenangkan.
"Bapak dan Jackie adalah para
mantan pesakitan Bawah Sembilan..., jangan bilang sebagai mantan napi..., Bapak
ingin membela dia?!" ucap Gerald masih dengan berhati-hati.
"Oh, tentu saja! Aku pasti
mendukung ketuaku!"
Begitu mendengar Wanarto menyebut
Jackie sebagai 'ketuanya', orang-orang di situ tertegun. Samuel Wanarto,
seorang pebisnis kaya raya yang terkenal akan permainan kotornya menyebut
Jackie 'ketua'?
"Dan Gerald, aku ingatkan kamu.
Silahkan kamu bersenang-senang. Takutnya, kamu tidak akan bisa lagi menikmati
sisa hidupmu!"
Perkataan Wanarto membuat Gerald
ciut. Dia merasa geram terhadap orang yang berdiri tidak jauh dari tempat
dirinya berada. Akan tetapi, tidak mampu berbuat apa-apa.
Di Penjara Bawah Sembilan, boleh jadi
Wanarto hanya seorang pesuruh Jackie. Tapi di luar tahanan, sosok Wanarto
dikenal sangat angker.
"Bandit Bawah Sembilan kurang
ajar, tutup mulutmu!"
Sudah sedang dikuasai amarah, lalu
Wanarto seolah menertawakan dirinya juga ntenyebut bahwa sang wirausahawan
memihak Jackie, tanpa tedeng aling-aling Xander langsung menyerang Wanarto.
"Heaaaah...!" pekik Xander.
Dengan melebarkan mata begitu sengit
juga tersenyum miring, Wanarto tidak diam saja. la langsung menyambut Xander
yang melayangkan pukulan padanya.
Terjadi pertarungan antara Xander dan
Wanarto. Pukulan maupun tendangan dilepaskan. Keduanya saling tangkis, juga
mendaratkan pukulan.
Semua orang tertegun. Yang ketakutan
segera menyingkir. Yang mengagumkan adalah: Wanarto bertarung dengan rokok menempel
pada bibir dan tidak terlepas sama sekali.
Hingga akhirnya, keduanya menyadari
bahwa kemampuan mereka seimbang. Berhenti melancarkan agresi, Xander dan
Wanarto saling menjauh. Barulah Wanarto membuang rokoknya.
"Aku sama sekali tidak
menyangka. Hanya sebegini saja kemampuanmu yang berlatih selama
bertahun-tahun.... Tuan Muda Rilley?" Wanarto berujar seraya nienginjak
puntung rokok.
Selama di Bawah Sembilan, Wanarto
menjadi lawan berlatih Jackie. Dia menjadi bulan-bulanan orang yang ia sebut
sebagai ketua tersebut. Padahal, ia dikenal sebagai seseorang yang memiliki
ilmu bela diri tinggi.
Tapi karena setia menemani Jackie,
pada akhirnya Wanarto juga belajar banyak dari sang ketua. Sehingga, ia menjadi
semakin tangguh lagi.
"Guru yang misterius, mencapai
gelar Master. Jangan-jangan, citramu itu hanya dibesar-besarkan saja? Nyatanya,
kamu tidak seberapa!" Wanarto kembali merendahkan Xander. Sorot matanya
seperti orang yang bermalas-malasan.
Untuk saat ini, Xander harus
mengakui. Dia berhadapan dengan orang yang lebih berpengalaman darinya. Itulah
yang membuat Wanarto mampu mengimbangi dia.
Lantas, Xander juga berpikir
seandaikan dia tidak tiba-tiba mengamuk karena Jackie, bisa jadi Wanarto akan
mengakui kemampuannya. Sekarang, dia kadung berada di sisi yang berseberangan
dengan seorang Samuel Wanarto.
"Bapak jangan sombong dulu.
Bapak butuh pengalaman belasan tahun untuk dapat mengerahkan jurus-jurus itu.
Tapi aku yang ditempa sekian tahun saja sudah bisa mengimbangi Bapak,"
Xander tidak mau kalah. Dia lanjut meninggikan diri.
"Kalau Bapak menyadarinya,
sebentar lagi, saya bakal melampaui kemampuan Bapak!" Xander mengakhiri
kalimatnya dengan senyum tanda menang.
"Hahahaha...!" Wanarto
kembali tertawa. "Buat apa kau sesumbar ingin mengalahkan diriku, Nak?
Tidak ada gunanya! Biar aku beritahu: kamu... tidak akan... pernah bisa...
mengungguli Jackie."
Deg! Baik Xander dan semua orang di
situ ternganga akibat perkataan Wanarto. Mereka semua bingung, bagaimana bisa
Wanarto yang terkenal garang bisa berkata demikian tentang Jackie?
"Aku juga ingin mengingatkan...
aku tahu siapa saja kamu-kamu yang sudah berkata buruk tentang ketuaku itu.
Kalian semua berada dalam masalah besar! Hahahaha....!"
Usai dia berbicara, Wanarto melangkah
pergi seraya kembali menyalakan sebatang rokok. Sempat terdiam, Xander
bermaksud menyusul Wanarto. Akan tetapi, kakeknya menyergah dia.
"Xander, sudah cukup!"
Sementara itu, orang-orang yang
sebelumnya mendukung Xander dalam rangka menjilat famili Rilley membubarkan
diri. Bahkan ada yang langsung hengkang dari Bunga Central.
Gara-garanya, mereka khawatir akan
ancaman Wanarto barusan. Mereka saja sudah merasa segan terhadap Samuel. Tapi
barusan, dia mengatakan bahwa berurusan dengan Jackie bakal membuat mereka
tertimpa masalah.
Acara Bunga Gala bubar begitu saja.
Walau masih ada orang-orang yang tidak terlibat bahkan tak peduli dengan apa
yang terjadi sebelumnya masih saja asyik berdisko, tatkala DJ naik ke atas
panggung.
Pada sebuah meja VIP, Xander duduk
dengan termenung. Kancing kerah dari busana perlente yang dirinya kenakan
terbuka. Berulang kali dia menenggak vodka.
"Vanessa..., mengapa... mengapa
kau lebih memilih seorang bandit busuk yang pernah mendekam di sebuah penjara
paling mengerikan dibanding aku!" ratap Xander. Dia menaruh gelas vodkanya
dengan cara dibanting.
"Cucuku, masih ada kesempatan
bagimu untuk membuktikan bahwa kau lebih baik dari pada si mantan napi
itu!" Darma yang duduk di seberang cucunya membujuk Xander.
"Pasti... pasti ada sesuatu yang
tidak wajar hingga Vanessa memutuskan untuk memilih pemuda laknat
tersebut!" kesal Xander.
"Xander, yang terpenting
sekarang adalah: kamu tidak boleh bertindak gegabah. Kamu tenang saja. Vanessa
adalah seorang putri Halim yang dididik sedemikian rupa. Bibit unggul! Tidak
mungkin dia mudah dipengaruhi orang!"
Darma kembali berusaha membut sang
cucu tenang. Xander terdiam seperti tengah melamun. Sang kakek berkata lagi.
"Ya, memang konon dia
memiliki... katakanlah, sedikit kelebihan."
"Kelebihan apa, Opa?"
"Katanya dia adalah seseorang
dengan ilmu medis yang hebat. Itu juga baru: 'katanya!"
Sekarang Xander menatap opanya. Lalu,
ia berucap, "Opa, aku bisa melumatkan napi berengsek itu menggunakan satu
tangan...!"
"Opa percaya pada kemampuanmu,
cucuku. Tetapi, kalau kamu bermain kasar, nanti Vanessa malah akan
membencimu!"
Begitu Darma mengatakan Vanessa akan
membenci dia, barulah Xander kelihatan melunak. Dia melepas gelas berisi
minuman keras yang sedari tadi terhimpit oleh jari jemari.
"Lalu Opa, apa yang mesti aku
lakukan?"
Terdiam sejurus, Darma pun berkata,
"Beritahu Jackie tentang keadaan Vanessa yang sebenarnya. Jika Jackie
tahu, dia pasti akan menjauh dari tuan putrimu."
Saran dari Darma itu membuat kepala
Xander mengangguk-angguk. Sebelumnya, ekspresinya bak dikuasai kegamangan.
Kini, rautnya menjadi cerah dan ia pun tersenyum tipis.
Sementara itu, Jackie dan Vanessa
telah berada di sebuah restoran siap saji. Rupanya, si putri Halim belum
berniat langsung pulang. la masih ingin menghabiskan waktu bersama sang dokter.
No comments: