BAB 60
"Atau... Dantian Pak Sukarman
akan pecah. Lalu, dia kehilangan seluruh kemampuannya. Jika terus dibiarkan,
kondisi dia akan semakin kronis. Karena, pecahnya Dantian bisa menyebabkan
pendarahan dari tujuh lubang tubuh dan Pak Sukarman bisa kehilangan nyawanya."
Buml Keterkejutan yang kedua setelah
Jackie menantang para anggota kemiliteran Makara tersebut. Sekarang, dengan
lancar ia dapat mendiagnosa apa yang dialami oleh Sukarman.
Itulah luka dalam yang dimaksud oleh
Jackie pada saat dia menghadiri Bunga Gala dan berhadapan dengan Sukarman. la
sudah memperingatkan wakil komandan Tentara Nasional Makara terebut. Tapi ia
malah diserang habis-habisan oleh Sukarman sendiri dan Dokter Farhan.
Begitu mendengar analisa Jackie, Hugo
benar-benar terperangah. Matanya membesar, mulutnya ternganga. Karena yang ia
tahu, sebelumnya cedera dalam tubuh Sukarman hanya diketahui komandan dan istri
Sukarman saja
"Ba-bagaimana kamu bisa
mengetahuinya? Kau bahkan belum bertemu dengan atasanku dan melihat
kondisinya... jangan main-main denganku!" tegur Hugo.
Walau keheranan setengah mati, Hugo
pun semakin yakin. Pemuda yang berada di hadapan dia benar-benar orang yang
tepat untuk menyembuhkan sang atasan. la berkata lagi.
"Karena kamu telah mengetahui
segalanya, maka sekarang. kau harus segera ikut bersama kami, Nak!"
"Maaf, mengapa begitu? Dengakan
saya, Pak. Saya pernah mengingatkan atasan Anda itu. Tetapi Pak Sukarman dan
dokternya yang dungu itu... siapa namanya? Oh, ya, Dokter Farhan... tidak
percaya dan malah merendahkan saya. Bilang pada beliau, silahkan cari dokter
lain!"
Nyawa atasannya sedang terancam. Dia
dikirim untuk segera membawa dokter yang bisa menyelamatkan atasannya. Akan
tetapi, dirinya ditolak sedemikian rupa oleh sang penyelamat. Terang saja, Hugo
panik dan merasa emosi.
"Jadi kamu menolak permintaan
kami? Baiklah. Rupanya kau tidak dapat dipaksa dengan cara biasa. Mungkin aku
harus membawamu dengan cara lain!"
Si kapten langsung mengeluarkan
pistol dari sarung yang berada pada pinggangnya dan menodongkannya pada Jackie.
Meski begitu, Hugo tidak bermaksud untuk membunuh Jackie, Karena, hanya Jackie
yang bisa menyelamatkan junjungannya.
la hanya berpikir, dengan hanya
melukai Jackie akan memudahkan dirinya untuk membawa si dokter pergi mengobati
Sukarman. Sehingga, dia mengarahkan pistol tersebut ke arah paha Jackie.
Dor!
Tanpa ragu, Hugo menarik pelatuk. Dia
dikenal sebagai seorang penembak jitu di korpsnya. Namun, alangkah terkejutnya
dia tatkala melihat Jackie masih berdiri, Sang dokter hanya bergeser tipis saja
dari tempat dia berpijak sebelumnya.
"Sekali lagi kau berusaha
melukaiku, kamu bisa mati!" ancam Jackie dengan sorot matanya yang seolah
memancarkan insting pembunuh.
Semakinlah Hugo kesal dibuatnya.
Tersenyum geram sejurus, lagi-lagi dia melepaskan tembakan dengan penuh percaya
diri.
Dor!
Tetapi yang terjadi selanjutnya tak
dapat diolah oleh nalar Hugo. Entah bagaimana, Jackie bisa melesat mendekat
padanya dengan begitu cepat.
Set!
Tap!
Semuanya berlangsung dengan singkat.
Yang hanya Hugo sadari adalah pistolnya hilang dari genggaman dia.
Sekarang, Jackie sudah berdiri tepat
di depannya, berjarak satu juluran tangan lawan. Ya, Jackie balik menodongkan
pistol Hugo tepat di tengah dahi pemiliknya.
"Apa aku bilang tadi, Pak?
Sekali lagi Anda mencoba untuk menembakku, Andalah yang akan mati," santai
Jackie mengingatkan. Dia bergeming, sementara moncong pistol berwarna hitam
pada tangannya terus ia arahkan pada Hugo.
Seketika itu bawahan-bawahan Hugo
cemas jadinya. Kontan, mereka semua menurunkan senjata agar tidak terjadi
sesuatu dengan komandan mereka. Karena, Hugo bak telah disandera oleh sang
dokter.
"Kak, kami ingatkan: Anda jangan
bertindak gegabah!" wakil Hugo berkata penuh rasa risau, la sudah takut,
Jackie akan menarik pelatuk dan atasan dia gugur hanya karena memaksa seorang
dokter untuk menyembuhkan salah satu atasan tertinggi mereka.
Seluruh anggota Tentara Nasional
Makara tersebut tidak ada yang berani bertindak. Sekarang mereka dilanda
ketegangan. Pasukan itu telah kehilangan tajinya. Bukan apa-apa. Sekali saja
mereka bergerak, nyawa Hugo dijamin akan melayang.
Lantas, mereka pun menahan napas
tatkala Jackie seperti sudah bersiap untuk menarik pelatuk pistol dalam
genggamannya. Hugo terdiam dengan keringat dingin mentes pada sekujur tubuh.
"Hnnnggg...khhh..." udara
dalam organ pernapasan Hugo mulai tercekat.
Selanjutnya, terjadi hal
mencengangkan. Tiba-tiba, rangakian komponen pistol yang berada dalam genggaman
Jackie terlepas satu demi satu.
Trak trak trak...
Kini, tentara-tentara itu hanya bisa
tertegun termasuk Hugo yang tadi sudah pasrah apabila senjata dalam genggaman
Jackie meletup.
Tapi sekarang, mereka semua bisa
melihat bagaimana Jackie melepas seluruh bagian pistolnya hingga tak berbentuk
lagi dan jatuh ke tanah.
"Membosankan.!" keluh
Jackie, la pun melemparkan gagang dari pistol tersebut yang merupakan
satu-satunya bagian tersisa dari senjata itu.
Kemampuan Jackie membongkar sebuah
pistol tanpa melepas-lepaskannya bahkan dengan sebelah tangan semakin membuat
Hugo khawatir.
Orang yang akan dia bawa menghadap
pimpinannya tidak sesumbar. Dia sekarang tersadar. Memang benar apa yang
dikatakan Jackie sebelumnya. Kemungkinan besar, si dokter betulan bisa membunuh
mereka sekaligus, dengan tangan kosong sekalipun.
Anak buah Hugo tak bisa apa-apa.
Mereka harus menerima kenyataan. Senjata api sepertinya sama sekali tidak ada
artinya bagi Jackie.
"Kalau kalian ingin aku
menyembuhkan atasan kalian si Sukarman itu, memohonlah dengan baik-baik. Bukan
dengan kasar atau menodongkan senjata. Kalian itu tentara, seharusnya kalian
mengayomi, bukan menakut-nakuti," tutur Jackie, la meneruskan.
"Aku ini sudah berbaik hati.
Kalau tidak, sedari tadi aku sudah skan menyuruh kawan-kawanku itu membawa
jasad tak bernyawa kalian ke markas tentara nasional."
Hening sejenak. Hugo mesti menerima
kekalahannya. Terpaksa. Dia harus memohon pada Jackie dengan cara yang lebih
manusiawi.
"Dokter, apa yang dapat kami
lakukan agar Anda menyembuhkan Pak Sukarman. Aku mohon, beri tahu kami,"
ucap Hugo. Tidak ada nada tinggi atau memaksa dari cara dia berbicara.
Kemampuan Jackie membongkar sebuah
pistol tanpa melepas-lepaskannya bahkan dengan sebelah tangan semakin membuat
Hugo khawatir.
Orang yang akan dia bawa menghadap
pimpinannya tidak sesumbar. Dia sekarang tersadar. Memang benar apa yang
dikatakan Jackie sebelumnya. Kemungkinan besar, si dokter betulan bisa membunuh
mereka sekaligus, dengan tangan kosong sekalipun.
Anak buah Hugo tak bisa apa-apa.
Mereka harus menerima kenyataan. Senjata api sepertinya sama sekali tidak ada
artinya bagi Jackie.
"Kalau kalian ingin aku
menyembuhkan atasan kalian si Sukarman itu, memohonlah dengan baik-baik. Bukan
dengan kasar atau menodongkan senjata. Kalian itu tentara, seharusnya kalian
mengayomi, bukan menakut-nakuti," tutur Jackie, la meneruskan.
"Aku ini sudah berbaik hati.
Kalau tidak, sedari tadi aku sudah skan menyuruh kawan-kawanku itu membawa
jasad tak bernyawa kalian ke markas tentara nasional."
Hening sejenak. Hugo mesti menerima
kekalahannya. Terpaksa. Dia harus memohon pada Jackie dengan cara yang lebih
manusiawi.
"Dokter, apa yang dapat kami
lakukan agar Anda menyembuhkan Pak Sukarman. Aku mohon, beri tahu kami,"
ucap Hugo. Tidak ada nada tinggi atau memaksa dari cara dia berbicara.
"Cari bahan-bahan ini: ekstrak
radix notoginseng, akar yam, akar galangal semuanya yang telah berumur minimal
seratus tahun. Jika kalian kesulitan menemukannya, hubungi Dokter Baron,
Direktur Rumah Sakit Bunga Asih. Bilang Dokter Ilahi yang menyuruh
kalian," ucap Jackie enteng.
"Ba-baik, Dokter. Ada
lagi?" tanya Hugo. Perasaan gugup sekaligus senang karena akhirnya ia bisa
menyelamatkan atasannya campur aduk menjadi satu.
"Itu saja cukup. Segera cari
bahan itu, secepatnya. Karena menurut diagnosaku, waktu yang dimiliki atasan
kalian tidak banyak. Katakan pada día: dia harus menurut padaku. Kalau tidak,
Makara harus mencari wakil pemimpin tentara nasional yang lain," tandas
Jackie.
"Terima kasih, Dokter
Ilahi!" ucap Hugo dan anak-anak buahnya bergantian. Setelahnya Hugo
langsung memerintahkan anak-anak buahnya itu pergi dari sana. Sebelum
benar-benar beranjak, Hugo kembali berkata.
"Dokter, terima kasih banyak...
aku berutang jasa kepadamu!"
Apa yang diucapkan Hugo dengan
terburu sembari melangkah pergi tidak mendapat sambutan dari Jackie. Sang
dokter hanya diam saja. la memandangi orang-orang yang hengkang dari situ
dengan tatapan semí dongkol.
"D-de-dewa, apakah kau baik-baik
saja?" tanya Yanto berhati-hati. Kawan-kawan dia tampak memperhatikan
Jackie dengan bersungguh-sungguh, untuk memastikan apakah Jackie terkena tembakan
atau tidak.
"Tenang, Yanto, kawan-kawan. Aku
baik-baik saja."
Sempat berbincang sebentar dengan
para pengawal keluarganya, Jackie kembali masuk ke dalam rumah.
No comments: