BAB 97
"Ada apa ini? Sebagai walikota,
semestinya Jordan tidak diperbolehkan untuk berkomentar demikian."
Itulah yang terlintas dalam pikiran
Arthur. Pemerintah harus netral dalam menyikapi konflik antar famili. Dia tak
boleh menunjukkan bagaimanapun menyebalkannya Keluarga Harianto, mereka layak
dimusnahkan.
"Hati-hati Pak Jordan, jika ada
orang lain yang mendengar pernyataan Anda, bisa-bisa citra Anda sebagai walikota
Kota Bunga bisa tercoreng. Anda tahu aturan mainnya, bukan?" Arthur
mengingatkan Jordan dengan santai. la bahkan tersenyum lucu.
"Ya, saya paham soal itu, Pak
Arthur. Tetapi sungguh, saya bukan bermaksud untuk... katakan saja, menyelidiki
apa yang menimpa Keluarga Harianto."
Setelah sejak tadi berbincang,
rupanya Jordan mulai mengungkapkan maksud kedatangan dirinya untuk menjumpai
seorang Arthur Wijaya.
"Lantas, apa tujuan Anda
sesungguhnya?" singkat Arthur bertanya.
"Sesungguhnya, jika memang Bapak
mengenal seorang ahli macam begitu, aku ingin berjumpa dengan beliau dan...
menjalin kerja sama begitu," ucap Jordan membuat pengakuan.
Menjaga ekspresinya agar tidak
terlihat merasa curiga, Arthur menatap Jordan sejurus, Seolah mengetahui ada
perasaan sangsi dari lawan bicaranya, Jordan buru-buru berkata lagi.
"Begini, Pak Arthur. Meski...
diriku ini adalah seorang walikota. Akan tetapi, aku belum memiliki kesempatan
banyak untuk membantu keluargaku. Kini, aku merasa momennya sudah tepat dan aku
ingin meminta pertolongan Bapak, Jordan memaparkan dengan serius.
Arthur dapat melihat, terbersit
kesungguhan dari sorot mata Jordan. Yang duduk di depanya itu adalah walikota
Kota Bunga. Mendengar Jordan membuat pengakuan seperti demikian, Arthur merasa
ia perlu menolong pemimpin kota mereka.
"Baiklah. Tapi begini. Anda
sendiri mungkin tahu. Seperti apa para Master... Ahli Tak Tertandingi tersebut
bukan?" ujar Arthur.
"Ya, saya sangat memahami.
Mereka independen, tidak mudah dipengaruhi, terkadang sangat keras dan selalu
mau membela pihak yang dekat dengan mereka dengan cara-cara yang 'tidak
terpikirkan sebelumnya'."
"Intinya, mereka tidak
sembarangan dalam bertindak. 'Ya' adalah: 'iya'. Jika 'tidak', mereka tak akan
menarik kembali keputusan mereka."
"Aku sangat menyadarinya,
Pak."
Kepala Arthur membuat anggukan-anggukan
kecil, lalu dia berucap, "Kalau begitu, biar aku tanya pada beliau
terlebih dahulu. Apakah sang ahli bersedia membantu Anda, atau tidak
"Terserah Pak Arthur. Bapak yang
sangat memahami beliau bukan?
Sempat berbincang-bincang sekian lama
lagi, akhirnya Jordan diiringi protokolernya hengkang dari kediaman Keluarga
Wijaya.
Sempat menanti hingga rombongan
Jordan yang tidak terlalu kentara layaknya pejabat-pejabat lain beranjak,
Arthur kembali ke dalam rumahnya dan langsung menghubungi Jackie.
"Ya, Opa?" terdengar suara
Jackie langsung menyapa dari seberang sana.
"Nak, aku baru saja kedatangan
Pak Walikota, balas Arthur.
"Oh, begitu. Apa yang Opa
bicarakan dengan beliau, apakah Pak Walikota menyinggung soal para Harianto dan
Wirawan?"
"Sedikit. Dia memang menaruh
curiga. Tetapi pada akhirnya, ia malah ingin berjumpa denganmu. Konon, Jordan
ingin bekerja sama denganmu, Jackie."
"Bagaimana bisa?"
Untuk sesaat, Arthur menyampaikan
pada Jackie apa saja yang dirinya bicarakan dengan Jordan. Setelahnya
memaparkan semuanya, Arthur pun bertanya.
"Bagaimana. Maukah kau untuk
bertemu muka dengan wali kota kita, Cucuku?"
"OK, Opa aku mau."
Selama beberapa hari itu, terkadang
suasana di rumah mewah Jackie terjadi kecanggungan. Sebab, Sherina masih saja
merasa tidak tega melihat ada bekas-bekas luka pada wajah kedua orang tuanya,
akibat siksaan yang mereka terima dari mendiang Shela Harianto.
"Ibu, apakah Ibu sudah merasa
wajah ibu lebih baik dari kemarin?" tanya Sherina perhatian pada Anita, la
dan keluarganya sedang duduk bersama di ruang tengah.
"Sudah, sayang. Jauh lebih baik.
Mungkin sebentar lagi akan sembuh, sabar Anita menjawab, sembari mengudap buah-buahan
bersama sang suami.
"Ayah juga tidak merasa ada
sakit apa-apa lagi pada badan Ayah 'kan?" Sherina pun bertanya pada
Hendra.
"Obat buatan kakakmu sangatlah
manjur, putriku. Tak ada yang perlu kamu kahwatirkan," jawab Hendra.
Sherina memandang ke arah Jackie yang
sedang memegang ponsel dan tersenyum pada adiknya tersebut. Gadis manis itu
membalas juga dengan senyuman yang singkat saja.
Pada hari insiden di rumah mereka
terjadi, Sherina pulang dan menemukan semuanya sudah baik-baik saja. Namun tentunya,
ia melihat kondisi kedua orang tuanya yang terluka.
Selain itu, terjadi pergantian
penjaga di kediaman keluarga Winata. Sehingga, dia agak curiga. Dirinya memang
diberitahu bagaimana Shela datang kemudian menghajar Hendra dan Anita.
Sang kakak hanya bilang, "Telah
terjadi kesalahpahaman. Semuanya sudah selesai. Keluarga Harianto memilki
masalah dengan PT Sejahtera dan aku hanya menjadi saksi."
Walau demikian, kabar tentang
bagaimana Keluarga Harianto dihabisi dan anggota Keluarga Wirawan menghilang
satu demi satu membuat Sherina khawatir. Hal tersebut terjadi karena perbuatan
kakaknya.
"Kak, apa yang Kakak katakan itu
benar, bukan..., Kakak sama sekali tidak ada hubungannya dengan dientaskannya
Keluarga Harianto dan Wirawan?" kata Sherina berusaha memastikan pada
abangnya.
Lagi, Jackie yang sedang asyik dengan
alat komunikasinya menatap pada Sherina. "Tingkah mereka sudah
keterlaluan, Dik. PT Sejahtera marah pada mereka. Entah pihak mana lagi yang
merasa tersinggung. Mereka punya banyak musuh," enteng dia berkata.
"Kadang aku masih merasa
bersalah. Aku juga hampir saja..., Kak Jackie juga tidak ada bersama ibu dan
ayah saat mereka berada dalam kesulitan. Apakah itu bisa dibenarkan?"
Sherina kembali bertanya dengan lirih.
"Aku akan menjamin, apa yang
terjadi kemarin tidak akan terjadi lagi, aku berjanji, Sherina. Jangan lagi
kamu pikirkan tentang itu. Foksumu sekarang adalah untuk mengasah olah vokalmu
agar semakin baik. OK?"
Perkataan kakaknya membuat Sherina
mengangguk-angguk. Paling tidak dengan ketegasan Jackie tersebut, Sherina bisa
merasa lega. Perasaan bersalahnya juga seolah sirna.
Keluarga Winata sempat
berbincang-bincang bersama, lalu Sherina memutuskan untuk naik ke kamarnya guna
berlatih vokal. Tersisa Hendra, Anita dan putra mereka. Kemudian, Anita memberi
tanda pada Hendra.
"Jackie, ada yang ingin
ditanyakan oleh ibumu," ujar Hendra.
Lucu. Anita seperti terkejut karena
Hendra berkata demikian. Karena, sang ibu berharap suaminya yang akan bertanya
pada anak laki-laki mereka. Tetapi, Hendra malah melempar balik pada dia.
Terpaksa, Anita membuka mulut.
"Anakku, aku tahu kamu tidak mau membicarakan mengenai perstiwa yang
menimpa Keluarga Harianto dan Wirawan di depan adikmu. Sekarang, ibu ingin
bertanya..."
Anita malah berkata menggantung. la
seperti tidak rela untuk mengucapkan apa yang akan dirinya suarakan. Sehingga,
Hendra pun menimpali.
"Nak, kami ingin kamu menjawab
jujur. Mengenai punahnya dua keluarga itu. Apakah kamu mengambil peranan di
baliknya?" Hendra sedemikian mungkin berucap agar putra mereka yang
sebetulnya adalah anak angkat itu tidak tersinggung.
Sejurus, Jackie terdiam. Dia kembali
melihat telepon genggamnya. Setelah itu, ia menjawab, "Keluarga Harianto
sudah mulai sangat membahayakan, Ayah, Ibu. Shela memiliki rencana untuk
menungganglanggangkan seluruh famili besar di Makara. Termasuk, Keluarga
Halim."
Saat itulah Hendra dan Anita
terperangah. Mereka tidak pernah menyangka, almarhum Dave Harianto dan
keluarganya memiliki rencana sekejam itu.
"Jadi, apa yang kamu
lakukan...?" Anita berujar dengan penasaran.
"Seperti yang semua orang tahu.
Melenyapkan mereka semua. Sebelum segala sesuatunya menjadi lebih buruk.”
No comments: