An Understated Dominance ~ Bab 2617

Bab 2617

Cahaya keemasan di ujung jari Dustin berkedip-kedip tepat saat zombi terakhir di pintu masuk gudang hancur menjadi debu. Cairan cokelat tua memercik di atas batu-batu bulat yang lapuk, mengeluarkan bau busuk yang memuakkan.

 

 

Nathaniel bersandar pada tombaknya yang patah, dadanya naik turun setiap kali ia bernapas. Serpihan tulang zombi masih menempel di pelat penyok baju zirahnya.

 

Dia menatap mayat-mayat yang berserakan di tanah, lalu ke sosok putih di depannya. Matanya memancarkan rasa terima kasih seseorang

 

 

yang telah lolos dari kematian.

 

"Terima kasih telah menyelamatkan kami, Pak. Kebaikan Anda tak akan pernah terlupakan," kata Nathaniel sambil mengangguk hormat.

 

Tak ada setitik pun noda yang tersisa di jubah putih bersih Dustin. Matanya menyapu sisa-sisa zombi yang berserakan di bawah dengan tatapan tajam bak elang, dan ia sedikit mengernyit.

 

"Mereka cuma pengintai. Di mana pasukan zombi yang sebenarnya?" tanyanya.

 

Raut wajah Nathaniel langsung berubah muram. Ia menoleh ke arah selatan kota, tempat kabut kelabu tebal menyelimuti langit. Raungan teredam terdengar menggema dari arah itu.

 

 

"Pak, lebih dari 10.000 warga sipil masih terjebak di permukiman sementara di selatan. Mereka tidak bisa dievakuasi tepat waktu. Tolong selamatkan mereka," kata Nathaniel.

 

Ekspresi Dustin mengeras. Tanpa sepatah kata pun, tubuhnya diselimuti cahaya keemasan yang cemerlang. Ia berubah menjadi seberkas cahaya menyilaukan, melesat ke arah distrik selatan bagai meteor.

 

Ia lenyap dalam sekejap, hanya meninggalkan jejak cahaya redup. Bahkan deru angin pun tak mampu mengimbanginya.

 

Nathaniel dan yang lainnya terpaku. Mereka tertegun tak bisa berkata-kata saat menyaksikan garis cahaya itu menghilang di kejauhan.

 

Distrik selatan telah menjadi zona perang. Lebih dari 10.000 zombi berkeliaran di luar permukiman sementara, menggeram dan mencakar-cakar penghalang.

 

 

Kulit abu-abu mereka yang berbintik-bintik menggantung di atas tulang-tulang yang menonjol, sementara daging busuk terkelupas berkeping-keping. Cakar-cakar panjang yang menguning berkilau menyeramkan dalam cahaya redup.

 

Di dalam tempat penampungan darurat, warga sipil yang ketakutan berkerumun—keluarga dengan anak-anak, pasangan lansia, dan dewasa muda—semuanya menunjukkan ekspresi ketakutan yang sama. Beberapa menangis dalam diam sementara orang tua memeluk erat anak-anak mereka, dengan keputusasaan terukir di wajah mereka.

 

Seorang anak laki-laki, tak lebih dari enam tahun, membenamkan dirinya lebih dalam ke pelukan ibunya. Jari-jari mungilnya mencengkeram pakaian ibunya yang robek.

 

"Ayah, aku takut," rintihnya sambil menangis.

 

Ayah anak laki-laki itu bertubuh kekar, tetapi bahkan wajahnya pun pucat pasi. Ia menggenggam erat kapak berkarat dan berkata dengan suara gemetar, "Jangan khawatir. Aku akan melindungimu."

 

Meski dia yakin, tangannya yang memegang kapak tidak berhenti gemetar.

 

 

Di luar, gerombolan zombi menghantam pagar kayu tipis itu tanpa henti. Setiap hantaman membuat seluruh pagar bergetar hebat dengan derit dan erangan yang mengerikan. Struktur itu hampir runtuh.

 

Beberapa zombie di garis depan telah menjulurkan cakar kerangka mereka melalui celah penghalang, menjangkau warga sipil di dalamnya.

 

Seorang lelaki tua yang paling dekat dengan penghalang tak mampu menghindar tepat waktu. Cakar tajam menggores lengan bawahnya, merobek dagingnya hingga dalam. Darah mengucur deras saat ia menjerit kesakitan.

 

Tepat saat semuanya tampak hilang, seberkas sinar keemasan yang cemerlang melesat turun dari langit bagaikan rudal dan menghantam gerombolan zombie dengan suara gemuruh.

 

Cahaya itu meledak keluar, membentuk lingkaran cahaya keemasan yang sangat besar. Setiap zombi yang menghalangi jalannya langsung terbakar dan hancur menjadi abu. Jeritan mereka menggema di seluruh permukiman.

 

Warga sipil itu membeku karena terkejut, lalu mendongak melihat sosok putih melayang di atas mereka.

 

Dustin datang untuk menyelamatkan mereka.

 

Ia menatap gerombolan zombi di bawahnya dengan amarah yang dingin. Sebuah bola cahaya keemasan raksasa mengembun di telapak tangannya, berderak dengan kilatan petir keemasan kecil yang tak terhitung jumlahnya.

 

"Terbakarlah di neraka, kalian monster!" raung Dustin sambil melemparkan bola api itu ke arah gerombolan itu.

 

Ia melesat di udara bagai matahari mini, memancarkan kekuatan yang begitu dahsyat hingga terasa mampu memusnahkan dunia. Saat menghantam tanah, ia meletus menjadi semburan cahaya yang menyilaukan.

 

 

Gelombang kejut meledak ke segala arah, mengoyak barisan mayat hidup. Para zombi berjatuhan bergelombang, ditelan cahaya. Mereka langsung lenyap. Mereka yang paling dekat dengan ledakan bahkan tak sempat berteriak karena lenyap seketika.

 

Saat cahaya mulai memudar, lebih dari separuh gerombolan itu telah musnah. Hanya beberapa yang tersisa di tepian, menggeram dan terhuyung-huyung ke depan.

 

Dustin bergerak samar, menerobos gerombolan zombi. Cahaya keemasan memancar dari ujung jarinya, dan setiap kali kilatan, puluhan mayat hidup berjatuhan di tempat mereka berdiri.

 

Saat ia bergerak dengan kecepatan yang tidak manusiawi, jubah putihnya membentuk lengkungan anggun di antara kumpulan zombi seperti bidadari yang menari di neraka.

 

Para penyintas di permukiman sementara itu terpaku. Rasa takut dan air mata menjadi kenangan yang samar saat mereka menatap sosok berjubah putih di atas kepala dalam keheningan yang tertegun. Para zombi yang telah membawa mereka ke ambang keputusasaan sebelumnya berjatuhan seperti lalat di hadapan Dustin.

 

Setengah jam kemudian, zombi terakhir tumbang di bawah sinar keemasan Dustin. Langit di atas distrik selatan mulai cerah seiring kabut kelabu terangkat, menampakkan langit biru cerah.

 

Dustin mendarat di alun-alun terbuka permukiman itu. Meskipun para penyintas di sekitarnya bersorak dan merayakan, raut wajahnya tetap tak terbaca. Ia menatap cakrawala, di mana lebih banyak krisis mungkin menanti.

 

Orang-orang bergegas maju, berharap bisa berterima kasih padanya. Namun, sebelum mereka sempat mencapainya, sosoknya lenyap dalam kilatan cahaya keemasan dan lenyap di angkasa. Yang tersisa hanyalah abu zombi yang tak terhitung jumlahnya dan ribuan penyintas di permukiman itu.

 

 

Mereka menatap ke arah Dustin menghilang, lalu menundukkan kepala dalam diam, penuh rasa syukur. Kebaikannya akan terukir di hati mereka selamanya.

 

Bab Lengkap

An Understated Dominance ~ Bab 2617 An Understated Dominance ~ Bab 2617 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on August 22, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.