Bab 2626
Ketika Grace dan Dustin
memimpin tim penyelamat ke daerah kumuh Harbortown, pemandangan yang menyambut
mereka membuat mereka tercengang.
Tanah berlumpur di balik
dinding kayu itu basah kuyup oleh kotoran dan bau busuk. Puluhan orang berdesakan
di dalamnya seperti hewan yang dikurung. Mata mereka sayu dan kosong, hanya
dipenuhi rasa mati rasa dan putus asa.
Beberapa hanya mengenakan
pakaian compang-camping, sementara yang lain telanjang dada. Tubuh mereka yang
kurus kering tampak mengerikan di bawah cahaya redup.
Di salah satu sudut, seorang
lelaki tua berambut abu-abu terbaring meringkuk di tanah. Kakinya membusuk,
dengan belatung putih merayap di luka-lukanya, namun ia tampak mati rasa
terhadap rasa sakit. Dengan tangan yang gemetar dan setipis tulang, ia
terus-menerus menyendok lumpur dari tanah dan menjejalkannya ke dalam mulutnya.
Di dekatnya, seorang perempuan
muda memeluk erat tubuh anaknya yang tak bernyawa. Wajah gadis kecil itu
membiru keabu-abuan, dengan busa hitam kering di sudut-sudut mulutnya.
Wanita itu terus mengelus pipi
putrinya yang dingin, bergumam, "Jangan khawatir, Sayang. Aku akan mengantarmu
pulang. Kita pulang..."
Namun, suaranya kering dan
parau. Air matanya telah lama mengering, hanya menyisakan tatapan kosong dan
hampa di matanya.
Tak jauh dari sana, beberapa
pria kekar berebut setengah roti jagung berjamur. Wajah dan lengan mereka penuh
luka dan memar. Namun, mereka menggeram dan mencakar seolah-olah sisa makanan
itu adalah harapan terakhir yang tersisa di Bumi.
Seorang pria tiba-tiba
membanting pria lain ke tanah, lalu menggigit leher pria itu. Darah muncrat di
wajah para penonton, tetapi tak satu pun dari mereka bergeming. Mereka hanya
berdiri di sana, menonton dengan acuh tak acuh.
Saat itu masih hujan, dan air
dingin mengguyur warga sipil yang lemah, membuat mereka gemetar kedinginan.
Seorang pemuda mendekap bayi
di dadanya, membungkusnya dengan bajunya yang tipis dan compang-camping.
Tangisan bayi itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam suara hujan yang turun.
Keringat menetes dari dahi
pria itu saat ia mencoba menghangatkan tangan mungil bayi itu dengan napasnya.
Setiap embusan napasnya semakin putus asa, tetapi tangisannya perlahan mereda
hingga benar-benar berhenti.
Dia membeku.
Lalu, tiba-tiba, ia menjerit
memilukan, dipenuhi rasa sakit dan keputusasaan yang tak berujung. Di tengah
kesunyian permukiman kumuh, suara itu terasa sangat mengagetkan.
Grace mengepalkan tangannya
begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kuku-kukunya menancap di telapak
tangannya hingga darah merembes di sela-sela jarinya. Matanya berkaca-kaca,
tetapi ia tak membiarkannya jatuh.
"Bajingan itu,"
desisnya sambil menggertakkan gigi, suaranya bergetar karena marah dan sedih.
Pemandangan itu menghantam
Dustin lebih keras dari yang ia duga. Ia telah melihat banyak pertumpahan
darah, lebih banyak daripada kebanyakan pria, tetapi pemandangan neraka di
hadapannya masih mengguncangnya.
Dia menarik napas perlahan
untuk menenangkan diri dan berkata pelan, “Mari kita bantu mereka dulu.”
Grace tersadar dari
lamunannya. Ia menyeka sudut matanya dan memerintahkan, "Tim penyelamat,
dengarkan. Bergerak dan bantu orang-orang sekarang."
Atas perintahnya, tim siaga
langsung bertindak. Para petugas medis yang membawa perlengkapan medis
menerobos kerumunan, merawat luka dan memberikan obat kepada mereka yang
terinfeksi.
Namun, terlalu banyak yang membutuhkan.
Para petugas medis tak mampu lagi menangani. Begitu mereka selesai merawat satu
orang, beberapa orang lagi akan pingsan di dekatnya.
Para prajurit yang mengangkut
perbekalan terengah-engah. Peti-peti berisi obat-obatan, makanan, dan air
bersih didatangkan satu demi satu. Namun, itu tak pernah cukup, karena
permintaan jauh melampaui apa yang dapat mereka sediakan.
Mereka harus berjaga-jaga
terhadap warga sipil yang panik dan berebut pasokan, sambil berusaha
mendistribusikan semuanya secepat mungkin. Kelelahan terpancar di wajah setiap
orang.
Grace secara pribadi mengawasi
upaya penyelamatan. Sesaat ia mendesak petugas medis untuk menjaga keselamatan
mereka, di saat berikutnya ia memerintahkan tentara untuk memperkuat dinding
kayu jika terjadi keruntuhan. Suaranya serak karena memberi perintah.
Keringat mengucur deras di
dahinya, dan pakaiannya yang basah kuyup terkena hujan menempel di kulitnya,
tetapi ia tak pernah melambat. Matanya masih membara dengan tekad yang tak
tergoyahkan.
Dustin pun tak hanya berdiam
diri dan menonton. Ia pun bergabung dalam upaya penyelamatan dan mengerahkan
segala daya upaya untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa dengan keterampilan
medisnya.
Meskipun mereka sudah siap,
kenyataan pahit itu masih membuat mereka tertatih-tatih. Namun, tak ada pilihan
lain. Mereka harus menyelamatkan siapa pun yang mereka bisa, dengan cara apa
pun.
Ini adalah perlombaan melawan
maut. Setiap detik berharga karena setiap penundaan berarti nyawa melayang. Di
bawah kepemimpinan Grace, para petugas medis bekerja sepanjang waktu untuk
merawat yang terluka dan yang terinfeksi.
Permukiman kumuh itu tenggelam
dalam keputusasaan, tetapi secercah harapan masih menggantung. Harapan itu
hanya dipertahankan oleh mereka yang pantang menyerah.
No comments: