Untuk membaca bab 2801 - bab 2900, silahkan kunjungi http://lynk.id/novelterjemahan/3n0repznepm9/checkout
Bab 2907
"Perintah pembantaian? Mereka sudah
gila, ya, sampai tega keluarkan perintah begini?" pekik Davina penuh
kengerian.
Harus diketahui, bahkan di zaman kuno
sekali pun, perintah seperti ini amat langka. Kaisar zaman dahulu masih
mementingkan reputasi sebagai pemimpin yang mencintai rakyatnya seperti anak
sendiri.
Hanya dinasti barbar di masa lalu
saja yang tidak peduli nama baik. Jika ada yang berani memberontak, maka
kampung halaman pemberontak itu akan dibantai habis, tak peduli lelaki atau
perempuan, tua atau muda. Semuanya dibantai sampai tanahnya rata dan sepi tak
berpenghuni!
Bahkan saat perang besar puluhan
tahun lalu, Negara Elang tidak pernah sekali pun membunuh tawanan dari Prastya.
Namun sekarang, di zaman yang sudah maju begini, masih ada kaisar di alam
rahasia yang berani sekejam itu?
Adriel juga memasang wajah muram dan
berkata, " Karena di sini nggak ada yang bisa mengatur mereka..."
Di dunia luar, masih ada Guru Negara
dan bangsa -bangsa lain sebagai pembatas. Namun di sini, mereka adalah kaisar
sejati yang bebas bertindak semaunya!
Tiba-tiba Adriel melirik ke arah
Sofia dan yang lainnya.
Begitu kata "perintah
pembantaian "muncul, sisa pasukan Reagan langsung memasang wajah gembira
luar biasa.
Sebaliknya, Sofia justru diliputi
kengerian.
Seluruh orang bebas di radius 500 km
dari penghalang pertama akan dimusnahkan tanpa sisa, tentu saja termasuk
keluarga Janita!
Pasukan Reagan yang tersisa ini tak
berarti apa-apa bagi Adriel. Mereka mungkin masih bisa dimanfaatkan nanti.
Adriel menoleh ke Sofia dan berkata
tegas, " Sampaikan pesan pada seluruh wilayah penghalang pertama. Siapa
pun yang mau berlindung, datang ke sini. Aku yang akan melindungi mereka."
Sofia menatap Adriel dengan wajah
ragu-ragu, seperti ingin bicara, tetapi tertahan sesuatu.
"Ada apa?" tanya Adriel
heran.
Tatapan Sofia semakin rumit, dia
membuka mulut perlahan, tetapi akhirnya hanya menghela napas berat. "Kamu
datang dari dunia luar, jadi nggak tahu aturan alam rahasia ini. Perintah
pembantaian ini bukan sekadar perintah membunuh biasa... "
Sebelum Sofia selesai bicara,
tiba-tiba suara penuh ejekan menggema keras, "Hahaha, dasar bodoh! Kamu
kira semua orang di penghalang pertama ini berpihak padamu?"
"Tiga jam sebelum perintah
pembantaian dilaksanakan, semua orang yang tinggal dalam area pembantaian akan
beramai-ramai memburu si pemberontak. Begitu kamu mati, perintah pembantaian
akan dibatalkan."
"Saka! Kamu pikir aturan di sini
sama dengan dunia luar? Alam rahasia ini jauh berbeda!"
"Yang mau kamu bunuh cuma Yang
Mulia Reagan, kan? Sekarang kamu bunuh diri saja, biar ribuan nyawa penduduk
penghalang pertama selamat!"
"Hehe, siasat keluarga
kekaisaran benar-benar hebat, 'kan? Menutup semua jalan keluar pemberontak
macam kamu, supaya kamu benar -benar putus asa!"
Sisa anak buah Reagan mengambil jarak
jauh dari Adriel, menatapnya penuh ejekan dan kesombongan, seolah menatap orang
yang sebentar lagi akan mati.
Sofia tak membantah sepatah kata pun.
Dia hanya memejamkan mata dengan wajah penuh derita.
Tak lama lagi, Adriel akan menjadi
musuh bersama seluruh penghalang pertama.
Mendengar itu, Adriel mengepalkan
tinjunya erat -erat.
Davina pun murka bukan main!
Jika penduduk penghalang pertama tak
ingin mati, mereka harus bersatu membunuh si pemberontak!
"Kak Adriel, jangan pikirkan
yang lain dulu. Pergilah segera," saran Sofia yang membuka matanya
tiba-tiba, memandang Adriel penuh pilu.
"Nanti semua orang bebas di
penghalang pertama, termasuk keluargaku, akan nekat membunuhmu!"
lanjutnya.
Adriel balas sambil menatapnya
serius, "Kalau aku pergi, bagaimana nasib penduduk penghalang pertama,
termasuk keluargamu sendiri?"
Bagi Sofia, di satu sisi ada Adriel
yang baru dikenal, di sisi lain keluarganya sendiri. Logikanya, tentu dia harus
mengutamakan keluarganya.
"Aku nggak tahu, aku sungguh tak
tahu... "
Sofia mengguncangkan kepalanya penuh
derita, air mata membasahi pipinya. Dia mengerang sedih, " Aku berutang
budi padamu. Aku nggak ingin kamu mati, juga nggak ingin keluargaku mati. Aku
juga nggak ingin melihat kalian saling membantai. Tapi aku benar-benar nggak
tahu harus berbuat apa ... "
Baginya, jalan mana pun yang dipilih
tetap berujung maut. Dia tersiksa oleh dilema yang berat.
Tiba-tiba, Adriel menggenggam
tangannya erat. Kehangatan yang kokoh dan suara tenangnya terdengar menenangkan
hati, "Tenang saja, aku punya cara. Kita semua akan selamat."
No comments: