Bab 1189
Suasana di tempat itu langsung
hening.
Mereka berlutut, tetapi tatapan penuh
harapan yang mereka tujukan kepada Adriel membuat suasana menjadi mencekam.
"Kalian ini ngomong apa,
sih!"
Pak Dennis sangat marah sampai
gemetaran. Dia menunjuk ke arah Hendi dan berkata, "Hendi, dulu waktu Tuan
Muda menyelamatkan keluarga Suryamu, kamu berlutut berterima kasih ke Tuan Muda
atas kebaikannya. Siapa dulu yang mau menjadikan Tuan Muda sebagai pemimpin,
hah?"
"Kalau bukan karena Tuan Muda,
anakmu pasti sudah mati sekarang. Beraninya kamu menyuruh Tuan Muda buat
mati!"
Hendi memucat saat menundukkan
kepalanya, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
"Dan kamu, Ergo!"
Dia menunjuk ke arah Ergo yang tampak
bersalah, kemudian berteriak dengan marah, "Waktu itu, Tuan Muda
memberikan obat kepada kakekmu. Katanya, kakekmu sudah berniat buat pensiun,
tapi sekarang karena obat itu, dia menjilat atasannya dan tetap menjabat!"
"Setelah kalian merasakan
manisnya, kalian seperti bergantung pada Tuan Muda. Kini, sikap kalian berubah
drastis, seolah lupa pada kebaikan yang telah diberikan."
Wajah Ergo merah padam. Dia merasa
sangat terhina ketika skandal itu dibicarakan!
"Kamu juga! Kamu! Setelah Tuan
Muda mulai berkuasa, kalian berlomba-lomba mendekatinya Tapi, sekarang kalian
malah mengkhianati Tuan Muda? Apa hak kalian!"
Dia menunjuk satu per satu ke Dasri,
Gavin, dan yang lainnya dengan marah!
Mereka yang ditunjuk olehnya,
beberapa dari mereka menunjukkan rasa malu, beberapa tanpa ekspresi, dan
beberapa agak khawatir.
Mereka memiliki status yang tinggi.
Ketika dituduh seperti ini, beberapa orang bahkan merasa malu dan wajah mereka
memerah.
Adriel menyaksikan semua ini dengan
tanpa ekspresi. Menginjak yang lemah dan menyanjung yang kuat, dia sudah
terbiasa dengan sikap ini sampai hatinya sudah kebal.
Namun, dia memandang Hendi dan yang
lainnya, lalu menggelengkan kepalanya sedikit. Adriel berkata,
"Sebenarnya, aku mau mempromosikan anakmu dan kasih dia kesempatan, tapi
sayang sekali."
Gilbert memiliki hati yang baik dan
mau berjuang untuk membela negaranya. Adriel berencana memberinya kesempatan
untuk mengikuti Paman Gary di perbatasan.
"Aku seorang pengecut! Maafkan
aku, Pak Adriel, tapi masalah ini nggak ada hubungannya dengan anakku!
Sekarang, anakku sudah pergi ke perbatasan. Dia nggak tahu apa-apa soal
ini."
Hendi menggertakkan gigi, lalu
menundukkan kepalanya dan berkata, "Setelah anakku bertarung buat Pak
Adriel, keluarga Maswa mengirim pesan kalau mereka ingin mengambil nyawa
anakku!"
Mengatakan ini, dia mengepalkan
tinjunya dan berkata dengan mata merah, "Aku nggak punya pilihan selain
melakukan ini buat menyelamatkan nyawa anakku!"
"Kalau Pak Adriel mau
menyalahkan seseorang, salahkan aku saja. Setelah Pak Adriel meninggal, aku
akan terus berjaga-jaga buat Pak Adriel sampai aku mati!"
Sementara itu, Ergo dan Dasri
sama-sama mengalihkan pandangan. Mereka menyadari bahwa tindakan kelompok
mereka sangat memalukan.
Mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur
tidak punya malu, teruskan saja.
"Pak Adriel, toh kamu sudah
membantu kami berkali -kali. Kenapa nggak bantu kami sekali lagi?"
"Pak Adriel, kamu adalah
pahlawan Kota Majaya! Kasihanilah kami. Meskipun kamu berjuang, hasilnya akan
sama saja. Setelah kamu tiada, kami akan menjaga nisanmu dan merawat teman-
temanmu dengan baik."
Semua orang tampak merendahkan diri
dan memohon dengan tulus, tetapi sebenarnya mereka berseru penuh emosi.
Adriel adalah pahlawan di Kota
Majaya, tetapi bukankah pahlawan memang ditakdirkan untuk berkorban?
Itulah sebabnya mereka berani memaksa
Adriel karena dia selalu hangat dan ramah kepada teman- temannya.
"Kenapa harus menunggu mati
dulu? Aku bisa menghabisi kalian sekarang!" teriak Pak Dennis dengan nada
marah, siap untuk menyerang.
Namun, Adriel hanya menggelengkan
kepala. Dia melirik ke Hendi dan yang lainnya, lalu berkata dengan tenang,
"Takut mati itu hal yang wajar. Aku juga nggak mau menyalahkan
kalian."
Kata-kata ini membuat semua orang
merasa lega.
Hendi menundukkan kepala dengan mata
yang memerah.
Gavin bertanya dengan penuh harap,
"Pak Adriel, apa kamu setuju?"
Namun, Adriel tersenyum, lalu
berujar, "Kalian salah paham. Aku nggak menyalahkan kalian, jadi jangan
salahkan aku."
Saat kata-kata itu diucapkan, Adriel
mengangkat tangan dan mengayunkannya dengan gerakan cepat. Energi sejati keluar
dari tangannya dan memisahkan kepala Gavin dari tubuhnya!
Kepala itu terbang tinggi sebelum
akhirnya jatuh ke tanah, berguling-guling di depan orang-orang. Sampai ajal
pun, wajah Gavin tetap menunjukkan ekspresi gembira.
Semua orang tertegun, tak bergerak!
No comments: