Bab 632
Setelah kembali ke ruang istirahat,
Yanisha langsung mengganti pakaian dan mengubah gaya rambutnya.
Selama itu berlangsung, tidak ada
seorang pun yang masuk untuk mengganggunya.
Begitu keluar setelah berganti
pakaian, Yanisha langsung melihat kerumunan orang yang mulai menyibak jalan.
Darren datang mendorong sebuah kue besar, sementara di sekelilingnya,
orang-orang mulai bersorak dan menyanyikan lagu ulang tahun.
Nindi berdiri di sisi ruangan.
Sebersit rasa dingin melintas di hatinya begitu melihat pemandangan ini.
Tak heran Darren tadi tidak kunjung
masuk, rupanya dia sibuk menyiapkan semua ini.
Keluarga Lesmana memang selalu
seperti ini, selalu merasa keputusan mereka adalah yang terbaik, tanpa pernah
bertanya apakah orang lain menginginkannya atau tidak.
Darren akhirnya tiba di depan Yanisha
dengan kue besar itu. Di sampingnya, Martha tersenyum seraya berkata,
"Entah ada kesalahpahaman apa di antara kalian, yang pasti harus
diselesaikan dengan baik.
Lihat betapa tulusnya Darren, dia
bahkan sudah menyiapkan kejutan sebesar ini buat kamu."
Yanisha menatap kue di hadapannya.
Namun, yang dia rasakan hanyalah perasaan terjebak dalam tekanan moral.
Martha menyerahkan pisau pemotong kue
ke tangan Yanisha, lalu merendahkan suaranya, "Kamu boleh bersikap
semaumu, tapi apa kamu nggak peduli pada ibu tiri dan adikmu yang jauh di luar
negeri? Adikmu masih butuh banyak biaya buat pengobatannya."
Wajah Yanisha seketika memucat. Tidak
diragukan lagi, Bibi Kedua sedang mengancamnya.
Namun, keluarga besar Ciptadi bukan
tidak punya uang. Hanya saja, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli. Semua
urusan perusahaan pun sepenuhnya dikuasai oleh keluarga Bibi Kedua.
Nindi berdiri di sisi Yanisha. Dia
mendengar dengan jelas ucapan Martha barusan. Hal itu pun membuatnya begitu
geram.
jelas-jelas memojokkan Yanisha!
Yanisha menggigit bibirnya, lalu
menerima pisau pemotong kue itu. Dengan satu tebasan, dia memotong kue dan
menemukan sebuah kotak merah di dalamnya.
Darren segera membuka kotak itu, mengeluarkan
sebuah cincin, lalu berlutut dengan satu kaki, " Yanisha, aku tahu masih
banyak hal yang belum bisa kulakukan dengan baik. Tapi aku harap kamu bisa
kasih aku satu kesempatan. Aku janji, nantinya, aku akan memberimu rumah yang
penuh kebahagiaan."
Martha pun ikut menyemangati dari
samping, "
Tentu saja, lihatlah betapa tulusnya
dia melamarmu. Demi hari ini, dia sudah mempersiapkan semuanya sejak lama.
Cepat terima lamarannya."
"Terimal Terima! Terima!"
Kerumunan mulai bersorak, menambah
tekanan di udara. Darren mengangkat cincin itu dan menatap Yanisha dengan
ekspresi penuh kasih, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.
Nindi menyaksikan semua ini dengan
perasaan muak.
Di kehidupan sebelumnya, seingatnya
sang kakak memang sempat bertunangan dengan Yanisha.
Bahkan, dengan dukungan keluarga
Ciptadi, Darren berhasil mendapatkan posisi di Yunaria. Namun, yang membuatnya
ngeri adalah bayangan tentang apa yang terjadi pada Yanisha setelah dia tidak
lagi dibutuhkan.
Kakaknya sangat mementingkan harga
diri. Mana mungkin dia bersedia memiliki istri yang kakinya cacat?
Pikiran itu melintas di benaknya,
membuat Nindi melirik ke arah tertentu.
Dan tak lama kemudian, layar besar di
ruangan itu tiba-tiba menampilkan sebuah video mengejutkan. Di dalam rekaman
itu, terlihat sepasang pria dan wanita muda sedang berpelukan dan saling
menggigit bibir dengan penuh gairah. Pakaian mereka masih menempel, tetapi
sudah setengah terbuka, nyaris tak menutupi apa pun.
Tatapan Nindi langsung jatuh pada
sosok Sania di layar. Roknya tersingkap tinggi hingga ke paha. Dia tengah duduk
di pangkuan Yanuar dengan tubuh yang terus bergerak.
Rekaman yang begitu vulgar dan
mengguncang itu pun langsung menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan.
Darren yang melihat adegan tersebut
langsung memucat, kemarahan membuat wajahnya menegang. Tanpa pikir panjang, dia
segera menelepon Sania.
Akan tetapi, tak ada jawaban sama
sekali.
Di dalam rekaman itu, wajah Sania
merah padam saat memeluk leher Yanuar. Suaranya semakin keras, memenuhi seluruh
ruangan.
Darren benar-benar ingin membunuh
Sania saat ini juga! Benar-benar wanita murahan!
Hari ini seharusnya menjadi momen
yang sempurna, tetapi semuanya hancur berantakan karena ulahnya.
Wajah Martha seketika berubah
drastis. Dia kemudian berteriak panik, "Kenapa kalian masih diam saja?
Matikan layar itu sekarang juga!"
Layar besar pun langsung padam,
tetapi orang-orang di ruangan itu tetap sibuk berbisik-bisik, membahas rekaman
yang baru saja mereka lihat dengan penuh antusias.
Martha menatap Darren tajam,
"Keluarga Lesmana benar-benar luar biasa dalam mendidik anak, ya!"
Darren mengepalkan tangan, dengan
amarah yang memuncak. Dia menoleh ke arah Witan dan bertanya dengan suara
lantang, "Di mana Sania? Bukankah tadi dia bersamamu?"
"Tadi dia bilang mau ke kamar
mandi. Kenapa bisa jadi begini?"
Lelaki itu mengertakkan gigi dengan
mata memerah, "Kak, kita harus cari mereka! Akan kubunuh si brengsek
itu!"
Berani-beraninya menyentuh wanitanya!
Itu artinya cari mati!
Tepat pada saat itu, Sania muncul
dengan wajah berseri-seri. Bahkan, rona merah masih melekat di pipinya. Dengan
suara manja, dia pun bertanya, " Kakak, kenapa meneleponku?"
Darren bergegas maju dan menamparnya.
No comments: