BAB 5
"Ayo kita ke rumah sakit
sekarang!" ajak Jackie pada ibu dan adiknya.
"Ba-baik, ayo kita ke
sana," sambut Anita.
Selama beberapa saat, Jackie menanti
ibu dan adiknya bersiap-siap. Dia sudah tidak sabar ingin melihat kondisi
ayahnya.
"Sakit apa ayahku sebenarnya?
Aku harus mampu menyembuhkan dia!" tekad Jackie dalam hati.
Menggunakan taksi online, Jackie,
Anita, dan Sherina berangkat menuju rumah sakit tempat Hendra dirawat.
Dalam perjalanan, Jackie sempat
termenung. Dia mengingat pesan Dewa Agung bagaimana dia mesti pergi ke Pulau
Angin Petir.
"Aku meninggalkan sesuatu yang
berharga di sana untukmu, muridku," begitu pesan Dewa Agung pada Jackie.
"Guru, aku akan segera ke sana.
Tetapi sekarang, aku mesti menyelamatkan ayahku terlebih dahulu," Jackie
memastikan.
Tidak lama kemudian, Jackie, Anita,
dan Sherina tiba di Rumah Sakit Bunga Asih, Sebetulnya, Jackie juga agak
terkejut. Demi ayahnya, ibu dan adiknya membawa Hendra untuk dirawat di rumah
sakit terbaik di kota mereka.
"Kalian membawa ayah
kemari?" tanya Jackie pada Sherina setelah mereka turun dari taksi yang
mereka tumpangi.
"Tidak ada jalan lain, Kak.
Awalnya, kami membawa ayah ke puskemas. Mereka bilang ayah hanya perlu
istirahat. Setelah itu, kondisi ayah malah memburuk. Kami membawa beliau ke
Dokter Daniel. Dia menyarankan agar ayah diperiksa di Rumah Sakit Nasional."
Anita menuturkan, di Rumah Sakit
Nasional, Hendra mesti menjalani pemeriksaan berakli-kali sebelum akhirnya
mereka merujuk Hendra agar dirawat di Bunga Asih.
Namun memang Bunga Asih merupakan
rumah sakit bertaraf internasional. Mereka menyediakan fasilitas medis dan
dokter terbaik. Akan tetapi tentu saja, biaya rawat inap di sana juga cukup
tinggi.
"Biaya perawatan ayah di sini
dua puluh juta, Kak," ujar Sherina pada Jackie sementara, keduanya bersama
ibu mereka menyusuri lorong menuju ruang rawat Hendra.
"Tetapi mereka masih belum dapat
membuat ayah menjadi lebih baik?" balas Jackie. Dia menahan perasaan gemas
karena biaya sebesar itu belum dapat membuat ayah mereka pulih sama sekali.
"Tiga hari yang lalu, mereka
mendatangkan Dokter Dendy Sutiono untuk menangani ayahmu. Konon dia adalah
dokter yang jenius. Bahkan Dokter Dendy mendapat julukan "Tangan Suci
Makara," terang Anita.
Menurut sang ibu, dokter tersebut
berjanji dapat mengobati suaminya. Lagi-lagi. Sudah barang tentu biaya untuk
menggunakan jasa Dendy Sutiono tidaklah kecil. Demi Hendra, Anita dan Sherina
berusaha mengumpulkan dana seratus juta.
"Tapi kemungkinan kondisi ayahmu
memang sudah sangat menurun, Jackie. Karena setelah menjalah menjalani
perawatan intensif Dokter Dendy, kondisi dia malah memburuk. Bahkan kemarin
rumah sakit memberi tahu bahwa ia dalam kondisi kirits," lanjut Anita
menjelaskan.
Sambil terus melangkah bersama adik
dan ibunya, Jackie termenung. Ingin rasanya dia melihat Hendra di depan mata.
Menurut dia, bisa saja dokter-dokter di Bunga Asih mengerjai mereka.
"Tapi apa mungkin mereka berbuat
seperti itu?" ragu dia bertanya dalam hati.
Baru saja hal tersebut terlintas
dalam hati Jackie, Sherina sudah mengomentari penjelasan bundanya. "Bisa
saja Dokter Dandy itu bukanlah seorang dokter yang hebat. Kita sudah kena tipu
oleh dia dan rumah sakit ini!" oceh Sherina menggerutu.
"Hush! Sherina, jangan kamu
ngomong sembarangan seperti itu! Bunga Asih adalah rumah sakit ternama. Kalau
sampai mereka mendengar kita berbicara macam barusan, bisa-bisa mereka akan
membuat kita lebih repot lagi!" sergah Anita.
Begitu bunda mereka berkata demikian,
Anita dan Jackie saling berpandangan. Jackie menghela napas. Siapa yang tahu
kalau mereka memang sudah dikerjai oleh rumah sakit internasional tersebut..
Tapi pelatihan dari Dewa Agung
membuat hati Jackie bergeming. Jika saja Bunga Asih memang tidak bisa
dipercaya, ia akan menantang mereka.
"Selama ayahku masih bernapas,
aku percaya aku bisa menyembuhkan ayahku!" batin Jackie tegas.
Tak lama kemudian, ketiganya tiba di
ruang perawatan khusus tempat Hendra dirawat. Begitu suster yang mengantar
mereka membuka pintu, Jackielah yang pertama kali masuk ke dalam ruangan
tersebut.
Menyedihkan. Sebelum masuk ke
penjara, Jackie dapat melihat ayahnya bekerja dengan sangat giat. Tapi kini,
Hendra terbaring tak berdaya. Ada perangkat-perangkat terhubung pada tubuhnya.
"Jackie...!" Hendra
menyebut anaknya. Karena sedang sakit, perasaan riang karena dapat kembali
melihat anak sulungnya tak terpancar pada wajahnya yang lemah.
Jackie mendekat pada Hendra dan
langsung mengecup kedua pipi dan kening sang ayah. "Ayah..., apa yang ayah
rasakan. Apakah ada bagian tubuh ayah yang sakit?" tanya Jackie. Dia
membelai kepala dan wajah Hendra.
"Jackie, sudah tidak ada waktu
lagi. Umurku tinggal menunggu waktu. Mungkin dalam hitungan hari, bisa juga
jam, sahut Hendra. Dia tersenyum.
Melihat perjumpaan kembali Hendra
dengan Jackie, sontak Anita dan Sherina luluh seluluh-luluhnya. Mereka
menitikkan air mata.
"Ayah, Ayah bisa sembuh. Aku
akan menyembuhkan Ayah!" Jackie yang telihat tegar bahkan sengit berucap.
Tingkah Jackie tersebut membuat ibu
dan adiknya terheran-heran. Mereka tidak mengerti, mengapa Jackie terlihat
yakin dapat menyembuhkan Hendra.
"Anakku, maafkan aku jika selama
ini aku bertingkah terlalu tegas bahkan keras terhadap dirimu. Karena, kau
bukanlah anak biasa," Hendra berkata-kata seolah tidak mempedulikan ujaran
putranya.
"Sudahlah, Ayah. Ayah tidak
perlu berkata-kata seperti itu. Pegang tanganku, Ayah. Aku akan membuat Ayah
menjadi lebih baik."
Seraya berkata-kata, Jackie meraih
telapak tangan Hendra dan menggenggamnya. Dia mengambil napas dan mengalirkan
tenaga murni pada sang ayah.
Hendra bisa merasa ia memiliki
kekuatan lebih. Dia menyeringai lebar. "Jackie, sebelum aku pergi, aku
ingin kamu tahu...”
Belum sempat Hendra berkata lebih
lanjut, pintu ruang perawatan itu terbuka. Seorang berpakaian layaknya dokter
masuk ke dalam ditemani dua orang suster. Dia tersenyum dan menyapa semua yang
ada di sana.
"Selamat siang, Pak Hendra dan
keluarga. Perkenalkan, saya William Rilley. Sekarang saya adalah dokter yang
akan menangani Pak Hendra. Dan saya membawa kabar baik untuk Anda
sekalian."
Kata-kata yang diucapkan sang dokter
belakangan lagi diiringi senyum membuat Anita dan Sherina menyeka air mata.
Segera itu, Anita bertanya.
"Kabar baik apa, Dok?"
"Saya telah mendiskusikan
penyakit Pak Hendra dengan para profesor ahli, Ternyata, kami telah menemukan
obat apa yang dapat menyembuhkan Pak Hendra dari penyakitnya," ujar
William optimis.
"Obat apa, Dokter?" Sherina
bertanya lugu.
"Saya belum bisa
memberitahukannya. Yang jelas, untuk saat ini, kami ingin meminta izin dari
keluarga. Apakah Anda memperbolehkan saya menangani Pak Hendra secara intensif?
Karena, saya mesti mengaplikasikan terapi khusus untuk beliau," papar
William lagi.
"Jika memang nyawa suami saya
bisa diselamatkan, tentu saja kami bersedia!" sambut Anita penuh semangat.
"Akan tetapi... saya juga ingin
mengingatkan. Anda membutuhkan biaya sebesar tiga ratus juta untuk metode
pengobatan mujarab ini."
No comments: