Bab 633
Nindi melihat Darren melayangkan
tamparan keras, membuat Sania terpental jauh.
Sania bahkan berputar dua kali di
sela-sela mencoba meraih seseorang untuk menopang tubuhnya. Namun, semua orang
refleks mundur beberapa langkah, takut ikut terseret dalam insiden itu.
Akhirnya, Sania jatuh tersungkur di
atas rumput, separuh wajahnya langsung bengkak.
Nindi menghela napas. Untung saja
pesta malam ini berada di halaman luar. Kalau kejadian di dalam ruangan, kepala
Sania pasti sudah membentur sesuatu dan terluka parah.
Saat ini, semua orang tercengang
seketika.
Witan buru-buru melangkah maju dan
menarik Darren, "Kak, apa yang kamu lakukan, hah? Kamu mau bunuh
dia?"
"Kalau bisa, aku benar-benar mau
habisi wanita nggak tahu malu ini."
Darren begitu marah hingga ingin
membunuh seseorang. Pada momen sepenting ini, Sania justru membuat masalah
besar dan mempermalukan keluarga Lesmana di hadapan semua orang.
Melihat situasi sernakin tegang,
Nindi langsung menyela, "Kak, ini sih namanya kamu yang keterlaluan.
Bagaimanapun juga, kita ini keluarga. Apa kamu nggak bisa tenang sedikit?"
Setelah mengatakannya, Nindi
menangkap tatapan Darren yang penuh hasrat membunuh. Hal ini justru membuatnya
senang.
Bumerang ini pasti cukup menyakitkan.
Tak lama setelahnya, Sania menopang
tubuhnya dan duduk. Separuh wajahnya masih terasa mati rasa. Dia lalu menatap
Darren dengan polos, "Kak, aku salah apa? Kenapa menamparku?"
Sania benar-benar merasa diperlakukan
tidak adil. Apalagi, di hadapan begitu banyak tamu dari kalangan elit. Jika dia
dipermalukan seperti ini, bagaimana nasibnya ke depan? Bagaimana dia bisa
menjalani hidupnya setelah ini?
Darren menudingnya dengan amarah yang
meluap, " Kamu barusan pergi ke mana?"
"Aku... aku cuma ke kamar mandi
sebentar."
Sania merasa gelisah. Tentu saja, dia
tak mungkin mengakui bahwa dia tadi menemui Yanuar di ruang istirahat pribadi,
lalu melakukan sesuatu dengannya.
Lagi pula, semua orang ada di luar
menikmati pesta. Seharusnya tak ada yang memperhatikan ke mana dia pergi, 'kan?
Baru saja Sania menyelesaikan
kalimatnya, langsung terdengar tawa sinis dari kerumunan, " Kalau dari
yang aku lihat tadi, itu sih bukan ke kamar mandi. Lebih mirip masuk ke ruang
istirahat pribadi, deh."
"Ck, ck, nggak disangka,
ternyata Yanuar bisa seliar itu, ya."
"Yang lebih mengejutkan, putri
dari keluarga Lesmana ternyata sangat bebas. Bisa-bisanya langsung main di
ruang istirahat? Semurahan itukah?"
Begitu mendengar kata-kata itu,
jantung Sania seketika mencelos. Apa yang sebenarnya terjadi?
Bagaimana orang-orang ini bisa tahu?
Mustahil!
Saat itu juga, Witan berjalan
mendekatinya. Nada suaranya begitu dingin, "Sania, bilang padaku, kamu
dipaksa, 'kan? Aku pasti bakal cari dan ngurus bajingan itu demi kamu!"
Dalam benaknya, Sania selalu menjadi
gadis yang polos dan tak ternoda.
Tidak mungkin kejadian barusan
terjadi atas keinginannya sendiri.
Sania tergagap, "Kak Witan ...
ada apa, sih? Aku nggak ngerti!"
Namun, di dalam hatinya, ada firasat
buruk yang membuat tubuhnya semakin gemetar.
Nindi tiba-tiba berkata,
"Barusan ada yang merekam, 'kan? Tunjukkan ke dia biar tahu apa yang
sebenarnya terjadi!"
Seseorang benar-benar mengeluarkan
ponsel dan memutar video yang baru saja direkam.
Begitu Sania melihat isi video itu,
seluruh tubuhnya menegang. Rasa dingin menjalar di punggungnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa bisa ada yang merekam apa
yang dia lakukan dengan Yanuar barusan? Tamat sudah semuanya!
Sania melihat tatapan Darren yang
seperti hendak membunuh. Dia langsung memeluk kaki Witan dengan panik,
"Kak Witan, aku, aku dipaksa. Aku nggak berani bilang."
"Sudah kuduga kamu pasti
dipaksa. Siapa pria berengsek itu? Aku akan membunuhnya!"
Melihat Sania bersama pria lain
barusan sudah cukup membuat darahnya mendidih.
Sania buru-buru menarik Witan,
"Kak Witan, aku, aku mau pulang. Tolong bawa aku pergi dari sini."
Dia harus segera meninggalkan tempat
ini. Jka tidak, apa pun yang dia katakan tak akan bisa menyelamatkan dirinya
lagi.
"Yanuar, kok kamu masih bisa
ngerokok santai di sana? Orang-orang di sini bilang kalau kamu itu liar dan
bahkan ada yang mau bunuh kamu."
Awalnya, Yanuar menikmati rokoknya
dengan santai. Namun, begitu mendengar ucapan itu, dia langsung bergegas menuju
kerumunan dengan rokok terselip di bibirnya. Begitu melihat wajah Sania bengkak
akibat tamparan, ekspresinya langsung berubah.
Yanuar buru-buru mendekat,
"Sania, wajahmu kenapa? Siapa bajingan yang berani mukul kamu? Biar aku
yang balas."
Bagaimanapun juga, dia memang
menyukai Sania. Gadis yang manis, polos, dan pandai membuat orang nyaman.
Akan tetapi, begitu Sania melihat
Yanuar muncul, tubuhnya langsung gemetar, 'Sial! Kenapa dia datang sekarang?'
keluh Sania dalam hati.
Habislah! Tamat sudah!
Witan langsung mencengkeram kerah
baju Yanuar, matanya berapi-api penuh amarah. "berengsek! Jadi, kamu yang
menodai Sanía, ya? Kamu pikir keluarga kami bakal diam saja?"
Yanuar merasa bingung, "Aku
nggak melecehkan dia."
"Kamu masih berani ngelak?
Barusan videonya diputar di layar besar, semua orang lihat! Ada banyak
saksi!"
Semakin Witan berbicara, semakin
mendidih pula amarahnya. Hingga akhirnya, dia langsung melayangkan tinjunya
tepat ke wajah Yanuar!
No comments: