BAB 2
Bukan hanya celana penjang yang
menempel pada baglan bawah tubuhnya. Vanessa juga memelorotkan dalamannya
sehingga Jackle agak terperangah.
"Sebenarnya dia tidak perlu
menungging seperti itu... tapi apa boleh buat," keluh Jackle dalam hati.
Dia mengenakan masker, kemudian mendekat pada Vanessa yang terpaksa
mempertontonkan salah satu baglan penting tubuhnya.
Sekarang Jackle dapat melihat, ada
dua titik merah pada pipi bokong baglan kiri Vanessa. Warna kulit
disekelilingnya merah kebiruan.
"Maaf, Kak Vanessa. Aku akan
menyentuh... biritmu. Aku tidak akan melakukan apa-apa, tolong jangan
berontak," Jackie berpesan.
"Jika aku merasakan kamu
melakukan gerakan meremas, tamat riwayatmu, tabib!" Vanessa mengancam.
"Kakak bahkan tidak akan merasa
sakit sedikit pun," Jackie berkata lagi seolah tidak mempedulikan
peringatan Vanessa.
Selanjutnya, Jackie mengoleskan obat
yang tergolong dalam ramuan tradisional pada burit Vanessa. Sesuai janjinya,
Vanessa tidak merasakan ada yang aneh dari apa yang dilakukan sang dokter.
Sebagai lelaki tulen, Jackie tak
dapat memungkiri bahwa bagian tubuh Vanessa yang menonjol lagi padat berisi
tersebut begitu indah. Tapi, dia mengingat pesan gurunya.
"Seorang dewa penyembuh tidak
melihat siapa orang yang dia rawat, Tugasnya hanya satu: menyelamatkan
orang."
Memastikan obat yang la gosokkan pada
Vanessa merata, Jackle mengeluarkan beberapa jarum dan dari kain tempat
peralatan medis yang la bawa sejak tadi.
Lalu perlahan-lahan, dia menancapkan
jarum-jarum tersebut menyebar pada titik-titik tertentu di permukaan kulit
bokong sang pasien.
Beberapa detik kemudian, cairan hitam
kental mengucur dari ujung-ujung jarum yang menempel pada bagian tubuh Vanessa.
"Ap-apa yang terjadi...?"
tanya Vanessa terkejut karena merasakan ada benda cair mentes pada salah satu
bagian tubuhnya.
"Racun dalam tubuhmu sedang
dikeluarkan, Kak," jawab Jackie, sambil membersihkan cairan tersebut.
Ingin rasanya Vanessa berkata-kata
lebih lanjut. Tetapi dia mulai merasakan perubahan dalam tubuhnya. Ia digigit
oleh seekor Ular Weling yang pagutannya dapat mengakibatkan kelumpuhan pada
korban dan tentu saja kehilangan nyawa.
Jika tadi Vanessa merasa tubuhnya
lemas dan agak kaku, sekarang ada aliran hangat pada sekujur tubuhnya.
Sendi-sendinya menjadi ringan.
Setelah beberapa menit, Jackie
melihat tetesan darah Vanessa kembali menjadi merah. Ia langsung mencabut
Jarum-jarum akupunkturnya dan mengoleskan obat lain.
"Awh..., mmmph..." Vanessa
bersuara halus tertahan.
Kondisi Vanessa telah membaik.
Sebelumnya, luka pagutan itu membuat sebagian bokongnya seperti mati rasa.
Sekarang, dia bisa merasakan
'belalan' mengandung obat dari Jackie sehingga la bereaksi. Apalagi, obat yang
dioleskan Jackle Itu menimbulkan sensasi dingin pada kulit.
"Mengapa, Kak? Apakah Kakak
merasakan ada yang sakit?" tanya Jackle segera.
"Oh..., euh... tidak, tidak...
hanya-, mungkin karena aku merasa lebih baik jadi agak sensitif," tutur
Vanessa.
"Baiklah. Karena jika masih
sakit, aku harus melakukan perawatan lebih lanjut," Jackie menanggapi
tenang.
Usai berkata pada Vanessa, Jackie
mencabut sisa jarum-jarum yang tertancap pada bagian tubuh membulat nan indah
dari wanita yang ia rawat. Lantas, mengambil obat oles lain guna menyembuhkan
dua luka kecil pada birit Vanessa.
Saat itulah naluri lelaki Jackie
kagum terhadap bentuk tubuh Vanessa yang terpampang jelas di matanya.
"Kulitnya pun begitu putih dan mulus," puji dia.
Tidak lama kemudian, Vanessa sudah
kembali berpakaian lengkap. Jackie hanya menyarankan untuk sementara ini
pasiennya mesti banyak meminum susu juga air kelapa sekedar untuk memastikan
badannya telah bersih dari racun.
"Terima kasih telah
menyelamatkan nyawaku, Dokter," ujar Vanessa sembari memandangi sosok
tegap yang ada di hadapannya. "Apakah ada yang kau inginkan sebagal
Imbalan? Maksudku, aku akan membayarmu. Tetapi mungkin ada hal lain yang kau
inginkan?"
Jackle yang membereskan peralatannya
memandang sejenak pada Vanessa, barulah menjawab. "Kakak tidak perlu
membayarku dan tak ada apa-apa yang aku inginkan selain kemball berjumpa dengan
keluargaku."
"Tunggu..., tidak mungkin aku
pergi begitu saja dari sini tanpa memberimu upah..." Vanessa menyergah,
tetapi dengan gaya kalemnya, Jackie beranjak dari klinik Bawah Sembilan sambil
menimpali.
"Sungguh, aku tidak mengharapkan
apa-apa bahkan sepeser uang pun darimu, Kak. Hari ini adalah hari kebebasanku
dan itu sudah cukup membuatku bahagia," celoteh Jackie sembari keluar dari
klinik, membiarkan Vanessa terdiam mematung memandangi dia.
Kini, Vanessa telah berada di dalam
mobil BMW miliknya. Ia duduk di jok penumpang belakang bersama Yeni.
Sesuai anjuran Jackie, dia tengah
meminum susu seraya menggerak-gerakkan tubuhnya yang sempat terasa kaku karena
terpapar racun Ular Weling.
"Lega rasanya melihat kamu sudah
sembuh, Kak. Ada-ada saja. Kau berusaha mencari siapa pembunuh keluarga dari
jodohmu itu dan tahu-tahu saja, ada ular di dalam mobil ini," Yeni berucap
dengan penuh perhatian.
"Sudah jelas bahwa ada orang
yang tidak mau aku mengungkap mengapa Keluarga Chandra dihabisi, bukan?"
Vanessa menanggapi. Dia bak termenung.
Singkat cerita. Keluarga Halim yang
menjalankan bisnis konglomerasi Halim Group bersahabat dekat dengan Keluarga
Chandra. Bahkan Robert Halim ayah Vanessa menyebut keluarga Chandra adalah
saudaranya.
Namun, hal tak terduga terjadi. Dua
puluh tahun yang lalu, seseorang menghabisi keluarga Chandra. Hanya tersisa
putra Stevie Chandra yang konon dibawa lari dan disembunyikan oleh salah satu
anak buah Stevie.
"Aku harus menemukan anak Om
Stevie itu," ucap Vanessa bak setengah bergumam.
"Supaya kamu bisa memenuhi
harapan Pak Robert untuk menikah dengan dia?" Yeni berkomentar.
Mendengar ucapan asistennya, Vanessa
terdiam dan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai tanda, ia tidak dapat
memastikan apakah ayahnya akan berbuat demikian atau tidak.
Lucu. Spontan, Vanessa membayangkan
sosok laki-laki yang seharusnya dijodohkan dengannya itu seperti Jackie.
"Lelaki tampan dan gagah dengan
ilmu medis sehebat itu terpaksa mendekam di penjara, sayang sekali!" batin
dia.
Sementara itu di Penjara Bawah
Sembilan. Suasana di sana sangat riuh. Bunyi benda-benda yang dibenturkan ke jeruji
besi atau dihantam ke tempat lain merebak.
Klontang..., klontang..., klontang!
Dang! Dang! Dang!
Jackie berjalan di gang tempat selnya
berada. Di sisi kanan dan kiri maupun di lantai atas, para napi yang membuat
kegaduhan berseru-seru.
"Selamat Jalan, Dewa Bawah
Sembilan!"
"Selamat menghirup udara
kebebasan, Ketual"
"Kami akan merindukanmu,
Ketual"
"Sampai bertemu di luar sana
kelak, Dewa!"
Begitu tiba di tengah-tengah gang
sel, Jackie membalikkan tubuh dan berucap, "Jangan berhenti berjuang, teman-teman.
Demi hidup yang lebih baik!"
"HIDUP DEWA BAWAH SEMBILAN,
HIDUP DEWA BAWAH SEMBILAN...!" kompak para tahanan menyambut ucapan Jackie
gegap gempita.
Pada saat Jackie hendak melangkah
keluar dari gerbang lapas, suasana menjadi agak mengharu biru. Juan dan para
sipir melepas Jackie. Mereka bersalaman dan berpelukan.
Juan pun berkata, "Terima kasih
untuk jasa-jasamu selama berada di sini Jackie," katanya sementara
mendekap Jackie erat. "Sebentar, ada yang menitipkan sesuatu
untukmu."
No comments: