Bab 634
Yanuar bukan tipikal orang yang bisa
dipukul tanpa membalas. Begitu dihantam pukulan tanpa alasan, dia langsung
menendang Witan hingga kursi rodanya terjungkal, "Berengsek! Jangan pikir
karena kamu kakaknya Sania, terus bisa main tangan seenaknya!"
Witan terjatuh ke lantai dengan
kondisi yang sangat mengenaskan, tetapi dia masih sempat berteriak dengan
geram, "Bajingan! Aku bakal laporkan kamu ke polisi!"
"Laporkan saja! Sania itu
pacarku! Apa yang terjadi di antara kita itu wajar!"
Namun, ada sesuatu yang terasa aneh
bagi Yanuar. Bagaimana bisa ada rekaman yang tiba-tiba diputar di layar besar?
Siapa yang sengaja menjebaknya?
Witan langsung membantah dengan
lantang, " Omong kosong! Sania itu pacarku! Kami mau menikah!"
"Apa?"
Yanuar menatap Witan dengan terkejut,
"Bukankah kamu kakaknya Sania?"
Sanja selama ini selalu bilang bahwa
dia harus tinggal di rumah untuk merawat kakaknya yang cacat. Namun, sekarang
tiba-tiba dia akan menikah?
Yanuar menoleh, menatap Sania tajam
seraya berkata dengan dingin, "Ayo jawab, ini semua maksudnya apa? Kamu
bahkan nggak ada sungkan-sungkannya sama kakakmu sendiri?"
Sania langsung panik, keringat dingin
mulai membasahi dahinya.
Kali ini, dia benar-benar tamat.
Siapa yang menjebaknya?
Dalam kepanikan, tatapan Sania
beralih ke Nindi. Dia langsung menerjang ke arahnya, "Ini pasti ulah kamu,
'kan? Pasti kamu!"
Mustahil jika orang lain. Hanya Nindi
yang bisa sekejam ini.
Nindi mendorong Sania dengan sinis,
"Kok malah aku? Memangnya aku yang suruh kamu selingkuh? Aku yang suruh
kamu kencan dengan Yanuar sambil merencanakan pernikahan dengan Kak Witan? Atau
aku yang bukain baju kamu saat pelukan dan ciuman di ruang istirahat?"
Kata-kata Nindi benar-benar tajam
Sania begitu marah hingga tubuhnya
bergetar, " Pasti kamu! Ini pasti rencana kamu!"
Nindi menyeringai dingin seraya
menatap Yanuar, " Sania nggak pernah kasih tahu kamu kalau dia dan Kak
Witan tunangan, 'kan?"
"Nggak pernah, tapi, bukankah
dia anak angkat di keluarga kalian?" tanya Yanuar kebingungan.
"Menang, tapi demi menikah sama
kakakku, Sania udah resmi memutuskan hubungan sebagai anak angkat dari keluarga
kami."
Begitu Nindi selesai bicara, Yanuar
langsung menatap Sania dengan mata penuh amarah, " Jelaskan! "Apa ini
benar?"
Melihat ekspresi Yanuar yang dingin,
Sania pun buru -buru menggeleng, "Nggak begitu, dengar penjelasanku
dulu."
Tepat saat itu juga, Witan sudah
mendekat dengan sekali langkah wajahnya penuh amarah, "Sania, kamu bilang
padaku kalau kamu dan Yanuar nggak ada hubungan apa-apa! Kamu bilang dia cuma
pria nggak tahu malu yang terus-terusan mengejarmu, kan?"
Di hadapan dua pria yang sama-sama
menuntut jawaban, wajah Sania seketika pucat pasi, tampak begitu malang.
Dia ingin pasang wajah memelas,
tetapi pipinya yang bengkak habis dipukul membuat usahanya sia-sia. Dengan
kondisi seperti ini, mau bersikap manja pun percuma.
Menyadari dirinya sudah terpojok,
Sania mendadak memutar bola mata, lalu pingsan begitu saja.
Nindi mendengus dingin, "Pas
sekali waktu pingsannya."
Sekalipun mendengarnya, Sania tak
bergerak sedikit pun. Dia telah menggunakan trik ini berkali-kali sejak kecil.
Jadi, dia yakin, kali ini pun akan berhasil.
Namun, sayangnya, kali ini dia salah
perhitungan. Tempat ini bukan rumah keluarga Lesmana.
Tepat saat itu, seorang wanita paruh
baya berwajah angkuh datang membawa seember air es. Dengan ekspresi murka, dia
berjalan mendekat dan langsung menyiramkan seluruh isi ember ke tubuh Sania.
"Ah!"
Wajah memar Sania pun terkena air es,
yang membuatnya tersentak bangun dan mengerang kesakitan.
Siapa yang berani memperlakukannya
seperti ini?
Nindi hanya menyeringai dingin.
Begitu melihat wanita itu, dia tahu Sania benar-benar tamat kali ini.
Yanuar dan Witan mungkin masih bisa
terperdaya oleh kepura-puraan Sania. Namun, mustahil bagi wanita ini.
Witan yang melihat Sania basah kuyup
langsung melompat dengan satu kaki dan berdiri di depannya, mencoba
melindunginya. Dia menatap wanita paruh baya itu dengan ekspresi tajam,
"Siapa kamu, Tante?
Minggir kamu, dasar cacat!"
Tanpa basa-basi, Audy langsung
mendorong Witan hingga terjatuh.
Dia langsung duduk di atas tubuh
Sania, lalu mengangkat tangan dan menampar wajahnya berkali-kali. Suara
tamparan bergema di ruangan. Sania terhuyung, kepalanya berputar, bahkan untuk
berteriak pun dia sudah tidak mampu.
Witan yang melihatnya langsung
berteriak panik kepada Darren, "Kakak! Kamu akan membiarkan Sania dipukuli
sampai mati?"
Darren menatap kosong, wajahnya
sepucat mayat. Dengan suara lemah, dia berkata, "Dia, ibu Yanuar."
Keluarga Gunawan bukanlah seseorang
yang bisa mereka hadapi dengan sembarangan.
"Tapi kenapa? Kamu harusnya
membantunya! Bukankah kita keluarga? Bukankah darah lebih kental daripada
air?"
Mendengar kata-kata Witan, napas
Darren seketika tersengal, matanya berkunang-kunang karena marah. Bahkan
berdiri pun dia nyaris tak mampu. Amarah hampir membuatnya gila.
No comments: