Bab 285
Nindi menatap dingin, "Coba kamu
pikir baik-baik, siapa yang sebenarnya bekerja sama dengan Seno buat mencelakai
aku? Kamu! Pelakunya itu kamu, bukan aku! Orang yang nggak akan punya akhir
baik itu ya kamu!"
Jihan membalas dengan emosi,
"Nindi, ini semua salah kamu! Kalau saja dari awal kamu mau bantu aku,
nggak akan jadi begini!"
"Kenapa aku harus bantu kamu?
Lagi pula, sekarang Seno sudah ditangkap, semua video dan foto itu sudah
dihapus, bahkan nggak sempat tersebar. Kalau kamu memang bodoh, salahin diri
kamu sendiri, jangan orang lain!"
Jihan langsung panik, baru sadar
kalau dia tadi salah bicara. Dia tidak seharusnya coba mengarahkan kesalahan ke
Nindi.
Kalau saja dia diam, mungkin Nindi
tidak akan bongkar semuanya.
Dosen yang ada di sana menatap Jihan
dengan serius, "Jihan, apa penjelasan kamu soal ini?"
Jihan gemetar ketakutan, "Bukan
aku, bukan aku! Ini nggak ada hubungannya sama aku!"
"Tapi semalam ada banyak
teman-teman yang dengar kamu bicara dengan Seno. Kalian berdua yang
merencanakan semua ini!"
"Jihan, kamu ikut kami dulu buat
menyelidiki masalah ini. Kalau nggak, kamu harus berurusan dengan polisi
nanti!"
Jihan langsung menangis kencang,
menolak keluar dari tempat tidur. Dia meringkuk di pojok, tidak ingin bergerak
sama sekali.
Dosen saling bertukar pandang, jelas
kesal dengan sikap Jihan, tetapi juga tidak bisa memaksanya keluar dengan
paksa.
Nindi tersenyum sinis, "Nggak
apa-apa. Polisi pasti akan datang buat ambil pernyataan. Jihan dan Seno itu
jelas-jelas komplotan. Aku nggak akan berhenti sampai mereka berdua dihukum
sesuai hukum yang berlaku!"
Jihan yang mendengar itu makin
histeris, "Aku juga korban! Kenapa aku harus dihukum?"
Dosen mencoba menenangkan,
"Jihan, kalau kamu memang korban, jelaskan semuanya ke kami. Nanti, kalau
kamu memang nggak salah, kami bisa bantu kamu di depan polisi. Tapi kalau kamu
terus menolak, kami cuma bisa panggil orang tua kamu buat jaminan."
"Jangan kasih tahu orang tua
aku! Kalau mereka tahu, aku bakal mati dihajar!"
Begitu dengar orang tuanya akan
dilibatkan, Jihan langsung panik.
Akhirnya, meskipun terpaksa, dia ikut
pergi dengan para dosen.
Setelah itu, suasana asrama jadi
tenang, tinggal Nindi dan Galuh berdua.
Nindi menoleh ke arah Galuh,
"Ada beberapa orang yang memang nggak bisa diselamatkan Jihan itu dari
awal sudah coba fitnah aku duluan."
"Aku tahu," Galuh
mengangguk, "Semua ini sudah karma buat Jihan. Dia sendiri yang cari
masalah."
Sekarang Galuh benar-benar malas ikut
campur. Kejadian hari ini jelas salah Jihan sendiri.
Lagi pula, semalam banyak penghuni
asrama yang dengar Jihan bicara dengan Seno. Kalau tadi Jihan tidak berkata
apa-apa, mungkin dia masih bisa lolos.
Selama Nindi tidak menuntut Jihan,
maka pihak sekolah pasti ingin meredakan masalah besar menjadi masalah kecil.
Namun, karena kebodohannya, juga
sikap egoisnya, dia malah membocorkan semua masalah sendiri.
Sekarang, tidak ada yang bisa
membantu Jihan lagi.
Karena pagi itu tidak ada kelas,
Nindi duduk di depan laptop, memeriksa bukti yang dia ambil dari Seno.
Bukti-bukti itu mencakup rincian
tentang Seno yang mengambil komisi gelap, menyalahgunakan dana klub, bahkan ada
data tentang suap dalam kompetisi dan evaluasi.
Namun, bukti pencucian uang untuk
keluarga Morris tidak ada.
Sepertinya Seno tahu tentang laporan
dari senior, jadi dia sudah bersihkan semua bukti itu.
Nindi hanya menemukan laporan
keuangan yang menunjukkan investasi tim E-Sport dari keluarga Morris, tetapi
itu tidak cukup kuat sebagai bukti hukum.
'Tapi nggak masalah,' pikir Nindi
sambil tersenyum kecil, 'Aku sudah bilang ke keluarga Morris kalau aku punya
bukti. Itu saja cukup bikin mereka cemas.'
Untuk memastikan tidak ada lagi
masalah, keluarga Morris pasti akan membereskan Seno.
Nindi pun mengirimkan semua bukti itu
untuk melaporkan kelalaian Seno sebagai kapten tim.
Siang harinya, Nindi dan Galuh pergi
ke kelas.
Sepanjang jalan, banyak yang
membicarakan kejadian semalam di asrama wanita.
Begitu Nindi masuk kelas, dia bisa
merasakan tatapan dari banyak orang.
Namun, sekarang, dia sudah terbiasa.
Selesai kelas, Nindi menerima pesan
dari dosen bimbingan konseling, "Setelah kelas, tolong ke kantor saya
sebentar."
Nindi tahu ini pasti soal laporan dia
tentang Seno.
Dia sengaja melapor secara
terang-terangan tanpa menyembunyikan identitas.
Galuh menatapnya dengan serius,
"Perlu aku ikut buat jadi saksi?"
No comments: