Bab 53
Tubuh ramping milik Nindi tampak
terdiam di tempat. Wajahnya sangat tenang.
"Ya!"
"Oke, oke!"
Leo lekas mencabut jarum infus Sania
dan menggendongnya. "Ayo, kita pergi. Nggak perlu dirawat di sini."
Sania diam-diam memeluk leher Leo
dengan seberkas puas di hatinya.
Setibanya Leo di pintu dan
menyaksikan hujan deras di luar, dia tersadar bahwa payung yang dia bawa sangat
kecil.
Leo melirik payung besar di tangan
Nindi, tampak begitu percaya diri saat menawarkan, "Beri payung kamu
padaku. Kamu sendirian, cukup kalau pakai payung kecil."
Nindi merasa situasi ini terbilang
lucu. "Kenapa?" tanyanya ingin tahu.
"Sania sakit karena kamu. Sudah
seharusnya kamu serahkan payung itu."
Cakra, yang berdiri dekat mereka,
menendang payung kecil yang dilempar Leo dan menginjaknya hingga hancur.
Cakra hanya menatap sinis dan
berkata, "Dia menganggap kalian sebagai saudara kalau dia mau saja.
Sekarang, dia nggak sudi lagi. Menurutmu, kalian itu apa?"
Leo nyaris meledak karena emosi.
"Nindi, perlukah membuat semua
orang merasa nggak nyaman seperti ini? Pergaulanmu nggak jelas dengan pria di
luar sana, lalu ingin memutus tali keluarga juga?"
Nindi terdiam sambil memegang payung
besar, lau berjalan menuju Leo.
Dengan tatapan sinis, Nindi langsung
membuka payung di genggamannya untuk melindungi diri dari hujan yang masuk.
Leo pun menatap balik dengan ekspresi
cemberut." Masih ada waktu untuk menyadari kesalahanmu sekarang! Dokter
sekolah itu nggak bermoral, cuma ingin ambil keuntungan darimu!"
Detik berikutnya, Nindi menampar
wajah Leo.
Leo dibuat terkesiap oleh tamparan
itu.
Kalau tidak begitu jelas rasa
nyerinya, Leo pikir, dirinya sedang bermimpi.
Saat itu, Leo menggendong Sania,
tidak punya celah untuk menghindar. Dia juga tidak menyangka bahwa Nindi begitu
berani memukulnya!
Sania langsung berseru, "Kak
Nindi, kenapa kamu pukul Kak Leo? Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau tukar
payung, tapi nggak perlu asal pukul ... ah!
Belum selesai bicara, Nindi malah
menampar Sania balik.
Kini, suasana benar-benar hening.
Nindi perlahan meredakan amarahnya,
terdengar begitu datar saat bicara, "Kalau sudah menampar, sudah saja.
Kenapa? Kalian boleh bicara apa saja tentangku, tapi bukan tentang dia!"
Nindi berjalan penuh emosi ke arah
Cakra. "Ayo, pergi!" ajak Nindi.
Cakra tidak menyangka bahwa Nindi
akan membela dirinya.
Cakra sukarela meraih payung dari
tangan Nindi, lalu keduanya berjalan di bawah hujan deras.
Butuh waktu cukup lama bagi Leo untuk
kembali tersadar. Selanjutnya, dia lekas mengejar mereka meskipun hujan deras
mengguyur tubuhnya tanpa henti.
Sudah tidak enak badan karena flu,
guyuran hujan membuat Sania makin tidak nyaman.
Sania pun agak kesal hingga membatin,
'Apa-apaan Leo si bodoh ini, sih?'
'Sania cuma nggak mau kehujanan!'
Namun, Sania tidak berani marah dan
hanya pura-pura batuk. "Kak Leo, aku pusing dan nggak enak badan."
Leo baru sadar soal itu, mengingat
dia masih menggendong seseorang.
Meskipun sedikit tidak rela, Leo
tetap menawarkan, "Sania, kuantar kamu pulang dulu."
Saat itu, Nindi dan Cakra sudah
menjauh.
Usai kembali ke mobil, Nindi
tiba-tiba menyadari bahu Cakra yang basah karena hujan.
Mungkin Cakra agak memiringkan payung
saat memegangnya agar Nindi terlindungi, justru berakhir dengan dirinya yang
terkena hujan.
Cakra menyalakan mesin mobil sambil
berujar, " Tadi, kamu cukup berani."
Nindi terlihat agak canggung sebelum
membalas, " Aku nggak mau mereka bilang begitu soal kamu."
"Marah banget, ya?"
Nindi terdiam sejenak sebelum
menjawab, "Toh, kamu teman pertamaku. Jadi, aku nggak mau orang lain
bilang yang nggak benar tentang kamu."
Nindi tidak peduli sudut pandang Kak
Leo soal dirinya.
Toh, Nindi sama sekali tidak peduli
dan tidak menganggapnya penting.
Namun, dia tidak terima saat Kak Leo
bicara buruk tentang Cakra.
Cakra melihat jalan di depannya,
tampak tersenyum tipis.
Hingga perjalanan mereka sudah tiba
di apartemen.
No comments: