Bab 2006
Jayub mengerutkan alisnya, wajahnya
menjadi sedikit muram. "Bagaimanapun caranya, kita nggak boleh membiarkan
Saka menjadi pemenang! Akan lebih baik jika dia mati di Pegunungan Tunaga ini.
Kalau nggak, kita akan kehilangan muka ... " ujarnya.
"Baik!" jawab Tetua Garen
dengan penuh hormat.
Sementara itu, di perbatasan kelima.
Saka kini telah kembali ke tempat
awal di mana dia berdiri.
Malam gelap menyelimuti Kota Silas.
Hujan deras mengguyur tanpa ampun. Saka berdiri di tepi jalan, menatap tajam ke
arah truk besar yang kembali melaju kencang melewatinya.
Beberapa saat kemudian, truk itu
kembali menghantam mobil orang tuanya, membuat dadanya terasa seperti diremas
dengan keras, sakit yang begitu tajam menusuk hatinya.
Namun, kali ini, tatapan Saka tetap
tenang.
Meskipun dalam pikirannya, dia tahu
bahwa Wendy yang asli tidak menyadari apa yang terjadi dalam ilusi ini, dan
menerima bantuannya mungkin bukanlah masalah besar, entah kenapa dia tidak
ingin melewati perbatasan ini dengan bantuan Wendy.
"Selama aturannya adil, aku
pasti bisa melewati perbatasan ini sendiri!" pikir Saka, matanya penuh
tekad.
Dalam tantangan yang adil, kapan dia
pernah takut?
Truk besar itu kembali mendekat,
tetapi kali ini Saka tidak terburu-buru untuk bertindak.
Dia tetap tenang, mencoba memahami
arti sebenarnya dari perbatasan ini. Berdasarkan pola perbatasan perbatasan
sebelumnya, jawabannya selalu terletak pada inti masalah itu sendiri.
"Ketakutan."
Ini adalah perasaan di dalam hati,
sesuatu yang hanya bisa diatasi dari dalam diri.
Hujan terus turun deras, disertai
guntur yang menggelegar. Namun, Saka perlahan memasuki keadaan pikiran yang
jernih, seperti sebuah ketenangan dalam badai. Dia mulai memahami perasaan di
dalam hatinya.
Tanpa dia sadari, dia mencapai
semacam keadaan meditatif yang mendalam.
Dia seperti seorang pengamat, melihat
setiap pikiran, emosi, dan ketakutannya muncul dan lenyap, tanpa mencoba
mengendalikan apa pun.
Dia membiarkan semuanya terjadi.
Membiarkan semuanya pergi.
Entah sudah berapa kali.
Truk besar itu melaju dan kecelakaan
terus terjadi, berulang hingga lebih dari sepuluh kali.
Dia tidak bergerak sedikit pun. Namun
perlahan, hatinya mulai dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan, sesuatu
yang terasa begitu aneh dan berbeda.
Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul
dalam benak Saka.
"Kenapa aku harus mengatasi rasa
takut?"
"Manusia memiliki beragam emosi
dan keinginan, rasa takut adalah salah satunya. Jika nggak ada rasa takut, apa
bedanya manusia dengan benda mati? Jika tanpa rasa takut, apakah manusia masih
bisa disebut manusia?"
"Takut berarti takut. Kenapa
harus merasa malu? Kenapa harus mengatasinya?"
"Orang yang merancang perbatasan
ini mungkin ingin menemukan seorang pejuang yang berani, bukan mesin tanpa
perasaan."
Saat pemikiran itu melintas, Saka
tertegun sejenak.
Sebuah pemahaman mulai muncul dalam
pikirannya, meski dia belum sepenuhnya menangkapnya.
Namun, dia tidak menyadari bahwa saat
dia memikirkan hal itu, hujan deras yang turun mulai sedikit mereda.
Di dalam dirinya, segalanya menjadi
terang. Semua pengalaman masa lalunya mengalir seperti arus air yang tenang di
dalam hati.
https://novel-terjemahan.myr.id/
Penghinaan ketika diinjak oleh
Yasmin, pertemuannya dengan Yunna, kemarahan karena ditindas oleh Riko,
kesedihan yang mendalam saat Diana meninggal.
Berbagai emosi yang mengguncang itu
berputar, bergejolak dalam hatinya.
Perlahan, dia mengangkat kepalanya,
Tatapannya menjadi lebih cerah. Dia mengangkat tangannya, menangkap tetes-tetes
hujan, menatap hujan malam yang terus turun, dan pandangan pencerahan muncul di
matanya. "Ketakutan itu seperti hujan ini. Aku nggak membawa payung, hujan
ini nggak terhindarkan akan membasahi tubuhku," ujarnya.
"Tapi, dalam hujan ketakutan
ini, memilih untuk berjalan santai dengan tenang atau melarikan diri dengan
panik, adalah dua sikap, dua pilihan ... "
"Perbatasan ini bukanlah tentang
mengatasi rasa takut, melainkan tentang keberanian dan sikap saat menghadapi
rasa takut. Jadi, yang harus aku temukan adalah bagaimana aku menghadapi rasa
takutku."
Begitu pikiran itu muncul, krek!
Langit malam tiba-tiba dipenuhi suara
guntur yang memekakkan telinga. Suaranya semakin berat, seolah-olah ilusi ini
beresonansi dengan Saka!
"Kesederhanaan membawa kebebasan
yang tak tertandingi, siapa takut! Dalam kabut dan hujan, biarlah aku jalani
hidupku tanpa beban!"
Saka tertawa terbahak-bahak,
menengadah ke langit. Hujan membasahi wajahnya, tetapi dia tidak merasa
terganggu. Dengan langkah besar penuh keyakinan, dia berjalan menuju truk besar
itu. Matanya penuh kepercayaan diri, dan tanpa dia sadari, cahaya aneh mulai
terpancar dari tatapannya!
Bum!
Langit meledak dengan suara guntur.
Kilat menyambar liar, langit seolah tersobek!
Di jalan yang dipenuhi guntur dan
hujan deras, Saka berjalan sendirian.
Hanya dalam beberapa langkah, dia
menyusul truk besar itu. Namun, Saka hanya menatap truk itu sejenak dan berkata
dengan suara pelan, "Aku takut padamu. Ketakutan ini telah lama terkubur
dalam hatiku, membuatku nggak berani menghadapimu."
"Menebasmu dengan pedang
bukanlah cara yang benar untuk menghadapi rasa takut. Itu hanya berarti aku
nggak mau mengakui keberadaanmu dan mencoba melarikan diri."
"Aku nggak akan pernah bisa
menebasmu, karena kamu adalah masa lalu. Nggak ada pedang yang mampu memutus
waktu."
"Mulai sekarang, aku akan
berjalan bersama rasa takut ini, sampai selamanya!"
No comments: