Bab 55
Nindi mendapati kehadiran wali kelas
saat menegakkan kepala, lalu dia mengikuti arah pandangnya dan melihat Nando
berdiri di luar kelas.
Nindi merapatkan bibirnya, lalu
berjalan keluar.
Wajah Nanda terlihat tanpa ekspresi
saat berkata, " Kalau kamu ingin aku buatkan catatan untuk Sania,
sebaiknya jangan bicara."
Nindi tidak perlu lagi menebak
kedatangan Kak Nando ke sekolah selain meminta izin untuk Sania.
Sesuai dengan kebiasaan Kak Nando
sebelumnya, dia pasti akan meminta Nindi membuatkan catatan, bahkan membawa
pulang tugas-tugas sekolah setiap hari.
Nando merasa cemas sebelum bertanya,
"Nindi, apa pikiranmu sungguh seperti itu tentang diriku?"
Nindi mulai tidak sabar. "Sudah
selesai bicaranya?" tanyanya.
"Nindi, aku ingat nilai-nilaimu
di SD sangat bagus. Makin ke sini, nilaimu makin nggak stabil dan makin buruk.
Apa kamu sengaja meraih nilai yang mirip dengan Sania, bahkan lebih rendah
darinya?"
Langkah Nindi terhenti. 'Bagaimana
Nando tahu?'
Tatapannya penuh kecurigaan. 'Apa
maksud Kak Nando bilang begini?'
Saat melihat ekspresi Nindi, Nando
langsung tahu bahwa semua itu benar.
Nando merasa sedih.
'Kenapa aku nggak pernah menyadari
perubahan Nindi, nggak menyadari bahwa adikku turut memperlakukan Sania dengan
cukup baik, batin Nando, masih merasa pilu.
Namun, mereka terbiasa memihak pada
Sania yang baru datang.
Seiring berjalannya waktu, mereka
terbiasa mengabaikan Nindi. Padahal, sosoknya pun membutuhkan perhatian mereka.
Nindi mulai tidak sabar. "Kenapa
kamu tanya begitu? Bosan, ya?"
"Nindi, kamu hanya perlu jawab
ya atau nggak."
"Apa pentingnya?"
Nindi mundur selangkah, menjauh dari
Nando.
Tidak tinggal diam, Nindi memilih
untuk melawan. " Kak Nando, jika kamu benar-benar ingin minta maaf atau
menebus kesalahan, jangan ganggu aku sebelum Ujian Bersama Masuk Perguruan
Tinggi!"
Nando melengkungkan senyum sinis.
Sirat awas di mata sang adik nyaris melukai dirinya.
Ternyata, Nindi benar-benar tidak
menaruh percaya pada mereka.
Akhirnya, dia terpaksa menjawab,
"Baiklah, Kak Nando setuju denganmu."
Nindi menundukkan kepalanya. "Terima
kasih!"
"Nindi, kamu nggak perlu bilang
terima kasih padaku."
Nando berbisik pelan untuk bertanya,
"Lalu, di mana kamu tinggal selama ini?"
Nindi sontak melihat Nando dengan
waspada. 'Dia mau bertindak apa?'
"Jangan salah paham, aku
khawatir karena kamu belum pernah hidup mandiri sejak kecil. Aku ingin tahu apa
kamu baik-baik saja."
Hati Nando merasa sangat sedih.
Dulu, sang adik yang sering kali ada
di sekitarnya, justru begitu asing pada dirinya sekarang.
Kini, Nando baru menyadari.
Nindi begitu cuek saat menjawab,
"Aku baik-baik saja."
Di kehidupan sebelumnya, Nindi tidur
di jalanan, diganggu oleh pengemis, bahkan pernah mengais tempat sampah selepas
diusir dari rumah.
Nindi sudah merasakan semua
penderitaan.
Nando merenung sejenak.
"Sebaiknya, kamu kembali saja. Mungkin Kak Leo akan memberi tahu Kakak
tentang hal ini. Kamu juga paham sifatnya Kakak, pasti akan berpengaruh pada
persiapan ujianmu. Dokter sekolah itu akan turut menghadapi masalah besar."
"Selama kamu mau kembali, aku
nggak akan ikut campur entah ke mana saja kamu pergi, termasuk di akhir
pekan."
"Bagaimana?"
Nindi terdiam.
"Nindi, kamu nggak perlu
buru-buru menjawabku. Kamu bisa kembali ke kelas. Kalau nggak mau kembali, aku
akan bantu kamu sembunyi dari Kakak.
Nindi merasa tidak nyaman.
Nindi tidak ingin berutang budi pada
siapa pun!
Nindi berbalik dan kembali ke kelas.
Hal ini perlu dipikirkan.
Nando melirik Nindi, lalu bergegas
pergi ke ruang UKS.
Cakra duduk di kursi. Satu tangannya
ditaruh di sandaran, menampilkan pergelangan tangan yang dililit sebuah jam
tangan.
Mata Cakra terbuka perlahan, tetapi
sorotnya tersirat rasa tidak peduli.
Nando menatap dokter di depannya,
lalu melirik ke arah jam tangan yang dipakai. Nando sontak tidak bisa menahan
rasa terkejutnya.
'Jam tangan itu sangat mahal, bahkan
uang bisa saja gagal membeli edisi terbatas ini.'
'Dokter ini pasti bukan orang biasa.'
No comments: