Bab 1801
"Siapa yang mau ambil? Silakan
ambil! Aku nggak butuh penghargaan ini!"
Ucapan itu meluncur dengan penuh
frustrasi dari seorang pria yang tampak muak. Dia melangkah mundur, menyerah,
membuat yang lain ikut ragu- ragu mendekat.
Namun tiba-tiba, bunga teratai di sekeliling
mereka sirna bagai kehilangan tenaga. Wajah Saka berubah pucat dan memuntahkan
darah segar. Dengan suara penuh amarah dan putus asa, dia meraung, "Nggak!
Ini belum cukup! Aku harus bunuh Adair! Aku nggak bisa mati di sini!"
Keraguan mulai timbul di benak
orang-orang yang tadinya mundur.
"Dia sudah mencapai batasnya
lagi?"
"Jadi, apa kita coba lagi?"
Mereka saling pandang dan bimbang,
tidak berani melangkah maju.
Saat itu, Saka tampak mengerutkan
kening, pikirannya berputar cepat. Orang bodoh sudah tidak bisa dibodohi lagi.
Dengan gerakan yang nyaris tidak
terlihat, dia mengaktifkan gelang sungai darah yang tersembunyi di balik
pakaiannya. Tiba-tiba, energi darah yang aneh dan bau merembes keluar dari
tubuhnya.
Energi darah itu terasa kacau,
dipenuhi kejahatan dan kekelaman yang tidak wajar.
"Aura yang begitu jahat, ini
jelas tanda-tanda gila karena latihan!" seru seseorang dengan nada penuh
semangat. Lalu, orang tersebut melanjutkan, " Nggak mungkin ini cuma pura-pura!"
Ucapan itu memicu reaksi. Sisa
belasan orang yang ragu langsung menyerbu Saka dengan kepercayaan baru.
Namun, saat mereka mendekat, Saka
mengangkat pandangannya. Senyum dingin menghiasi bibirnya yang masih berlumuran
darah. Dia berkata, " Sekarang, kalian nggak akan bisa lari."
Perasaan buruk langsung menyerang
para penyerang, tetapi semuanya sudah terlambat.
Bunga teratai yang tadi menghilang
tiba-tiba kembali dengan kekuatan penuh!
Bunga-bunga itu meledak, menyapu
seluruh arena dengan kekuatan mematikan.
"Licik sekali!" teriak
mereka dengan putus asa.
"Omong kosong! Lawan penjahat
harus lebih licik dari penjahat itu sendiri!" balas Saka dingin.
Dengan satu gerakan tangan,
bunga-bunga teratai itu menyerang para musuhnya tanpa ampun.
Dia melompat masuk ke tengah
kerumunan, gerakannya membawa kilauan emas yang memancar seperti matahari.
Tanpa ragu, dia melancarkan pembantaian.
Beberapa mencoba melarikan dirį meski
harus menerima serangan teratai yang melukai mereka. Namun, pukulan dari belakang
menghantam mereka, menghancurkan tubuh mereka seketika.
Saka terus bergerak seperti angin
badai. Pedang ganda di tangannya melayang, memotong kepala, mengakhiri nyawa
dalam hitungan detik. Dalam sekejap, belasan tubuh bersimbah darah tergeletak
di tanah, meninggalkan genangan merah di mana- mana.
Saka berdiri di antara mayat-mayat,
darah menetes dari tinjunya yang terkepal. Aura jahat mengelilinginya,
membuatnya tampak seperti raja iblis yang baru saja turun ke dunia fana.
Cecil berdiri terdiam, matanya
membelalak karena syok. Bibirnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Tiba-tiba, tatapan Saka mengarah
padanya, memancarkan hawa membunuh. Refleks, Cecil mundur selangkah, wajahnya
pucat.
"Aku sudah habisi semuanya.
Sekarang giliranmu," kata Saka sambil menyeringai.
Cecil tersentak sadar, buru-buru
berteriak, "Bagus! Bagus sekali!"
Namun, dalam hatinya, dia diliputi
rasa takut. Dia membatin, "Siapa sebenarnya orang yang aku ikuti
ini?"
Saka tertawa terbahak-bahak, lalu
merangkul Cecil, menariknya pergi. Dengan santai, dia mengusap tangannya yang
berlumuran darah di bagian bokong Cecil. Lalu, dia berkata, "Sekarang,
telepon Adair. Bilang sama dia, naikkan hadiahnya buatku."
"Iya..."
Cecil merasa tubuhnya kaku. Dengan
pipi yang memerah karena perlakuan Saka, dia menjawab dengan suara kecil,
"Tapi, kita mau ke mana sekarang?"
Saka menyeringai jahat sebelum
berkata, "Ke tempat Adair. Biar dia sekalian jadi kurir pribadiku."
"Adair pasti memiliki banyak
barang berharga. Semuanya harus aku rampas!" pikir Saka dalam hati.
Selain itu, mendekati Adair juga akan
mempermudah dirinya untuk diam-diam menyelamatkan Dahlia.
Wajah Cecil langsung pucat. Namun,
dia memaksakan diri untuk bertanya, "Kekuatanmu Apa mungkin setara dengan
kelompok pembunuh itu, Tujuh Pilar Abadi?"
Saka terkekeh, matanya berkilat penuh
kegembiraan. Dia membalas, "Hmm, julukan mereka lumayan juga. Keren, cukup
gaya."
Dia menatap Cecil sambil tersenyum
lebar dan bertanya, "Menurutmu, aku cocok pakai nama julukan apa?"
"Kali ini, karena sudah beralih
menjadi Saka, aku nggak mungkin lagi membawa nama buruk penjahat Kota Silas,
'kan?" pikirnya dalam hati.
Cecil diam sesaat, lalu melirik ke
arah para anggota keluarga Syahrir yang telah dia tipu mentah- mentah hingga
menemui ajal. Dia juga tidak bisa mengabaikan sensasi di bokongnya akibat
pijatan Saka yang jelas terlalu ahli.
"Seriusan? Kamu benar-benar tanya?
Apa kamu nggak sadar dapat julukan macam apa?" pikir Cecil.
Dia menghela napas dalam hati, lalu
berkata, "Kalau aku jujur, kamu pasti nggak bakal suka dengarnya ...
"
No comments: