Bab 1802
Di sisi lain.
Matahari tenggelam, langit barat
diliputi cahaya merah keemasan.
Di sebuah lembah berbentuk labu,
pertempuran sengit berlangsung.
Keluarga Syahrir menyerbu gerbang
lembah itu dalam gelombang demi gelombang. Namun, setiap kali maju, mereka
terpaksa mundur dengan luka parah. Lembah itu berubah menjadi medan yang penuh
darah dan kekacauan.
Di mulut lembah, berdiri seorang
wanita dengan tubuh ramping, memegang pedang. Cahaya jingga senja memantul di
tubuhnya, menyatu dengan percikan darah yang membasahi pakaiannya, hingga sulit
dibedakan mana sinar mentari dan mana darah.
Di belakangnya, matahari yang hampir
tenggelam menjadi latar. Di depannya, sekelompok anggota keluarga Syahrir yang
menatap penuh kebencian. Meskipun sendirian, keberadaannya seperti gerbang baja
yang tidak mungkin ditembus.
Di tengah para anggota keluarga
Syahrir yang bersimbah darah, berdiri seorang pria berbusana putih. Wajahnya
tenang, tangannya bersilang di belakang punggung, tidak terkotori sedikit pun
meski berada di tengah medan perang.
Dia seperti bulan yang cerah di malam
gelap, memancarkan pesona yang tak terjangkau.
"Dahlia, berapa lama lagi kamu
bisa bertahan?" Pria itu akhirnya membuka mulut. Suaranya tenang, nyaris
ramah, seolah-olah mereka sedang berbincang santai di bawah pohon.
Dahlia tidak menjawab. Dia hanya
berdiri teguh dengan pedang di tangan, napasnya yang tersengal mulai stabil
perlahan, memanfaatkan jeda singkat untuk memulihkan energi sejati dalam
tubuhnya.
Pria berbaju putih itu tersenyum
kecil sambil berkata, "Api ilahi itu masih butuh waktu tiga jam untuk
matang. Kamu nggak akan bertahan selama itu. Lagi pula, itu cuma api ilahi
tingkat delapan. Kamu benar-benar rela mengorbankan segalanya demi itu? Untuk seseorang
yang sudah mati? Bahkan jika kamu rela, aku nggak tega melihatmu begini."
Tatapannya melunak, nada bicaranya
berubah menjadi lembut. Dia berkata, "Kamu tahu, selama bertahun-tahun,
aku hanya menyukaimu. Tapi kamu malah menyia-nyiakan hidupmu demi seseorang
yang bahkan sudah tiada. Sungguh bodoh. Mengapa nggak bergabung denganku? Kita
bisa pergi ke Jalan Kejayaan dan merebut api ilahi tingkat sembilan
bersama-sama."
Nada suaranya terdengar tulus, penuh
rasa, tetapi juga menyiratkan kesombongan. Jelas, Adair benar- benar
menginginkan Dahlia di sisinya.
Namun, dinginnya mata Dahlia seperti
pedang yang membekukan suasana. Dia akhirnya berbicara untuk pertama kalinya,
dengan suara tegas dan penuh kebencian, "Kamu nggak pantas
menyebutnya!"
Adair tertegun, matanya sedikit
memerah karena amarah. Namun, lebih dari itu, dia tampak kecewa. Dia berkata,
"Kamu benar-benar nggak punya ambisi. Aku sudah menyukaimu selama bertahun
tahun, ini yang kudapat?"
Kelompok Tujuh Pilar Abadi serta
Penjahat Kejam Berhati Mulia adalah sosok sosok yang memang layak
berpartisipasi dalam perebutan Jalan Kejayaan. Hanya Api ilahi tingkat sembilan
yang sepadan dengan kekuatan dan ambisi mereka.
Namun, Dahlia rela mengorbankan
segalanya demi api tingkat delapan. Dia menjadi master ilahi, tanpa
mementingkan Jalan Kejayaan, hanya untuk membalas dendam bagi pewaris Tabib
Agung itu
"Benar-benar menghancurkan masa
depanmu... Ya sudahlah, " ujar Adair sambil menghela napas panjang.
Di sisi lain, tangan putih Dahlia
yang sudah penuh darah mulai menggenggam pedang setengah jadi lebih erat.
Namun, sebelum dia sempat bergerak,
seseorang datang tergesa-gesa dan berteriak, "Gawat! Tim pembunuh yang
kita kirim untuk Saka... semuanya tewas lagi!"
"Apa?"
Keributan langsung pecah di antara
mereka.
Adair memijit pelipisnya, ekspresinya
berubah menjadi sedikit tidak sabar. Dia berkata, "Saka lagi? Orang ini
benar-benar merepotkan... Kejar dia terus!
"Tapi... orang yang membawa
berita itu bilang dia sudah dua kali menemukan Saka. Dia mulai takut. Dia
meminta hadiah lebih besar..."
Adair tersenyum kecil, mengangkat
bahu. Dia membalas, "Hadiah? Itu masalah kecil."
"Tapi dia minta dua api ilahi
tingkat lima, ditambah obat-obatan dan barang barang lain. Itu hampir
seperempat dari hasil kita selarna dua minggu terakhir..." ucap pria itu
dengan wajah cemas.
"Tuan Adair, bagaimana kalau
kita hentikan saja?"
Adair terdiam sejenak, lalu dengan
nada tegas menjawab, "Membunuh Saka menyangkut kehormatan keluarga
Syahrir. Nggak ada barang di dunia ini yang lebih berharga daripada itu. Anggap
saja ini sebagai investasi besar untuk pelajaran kecil.
"Sebarkan berita. Siapa pun yang
memberikan informasi tentang Saka akan diberi hadiah tanpa batas!"
"Baik!"
Orang itu segera menerima perintah,
tetapi baru beberapa langkah, Adair memanggilnya kembali.
"Tunggu," katanya sambil
mengerutkan kening. Lalu, dia bertanya, "Orang itu sudah dua kali
menemukan Saka? Dan dia selamat?"
"Benar!"
"Kirimi dia pengawal. Awasi
setiap langkahnya," kata Adair sambil menyipitkan mata.
"Dia pasti punya kemampuan
khusus untuk menemukan orang dan melindungi dirinya. Tapi setelah dua kali
lolos dari maut, dia pasti ketakutan. Dia mungkin akan memeras kita untuk
hadiah besar lalu kabur."
Dengan suara dingin, Adair
menambahkan, "
Keluarga Syahrir nggak bisa
dipermainkan. Kalau dia berguna, maka manfaatkan dia sampai mati."
"Baik!" jawab orang itu dan
segera pergi mengatur rencana baru.
Namun, ketika Adair kembali fokus
pada Dahlia, wajahnya berubah masam. Orang-orangnya sudah habis.
"Apa aku harus turun tangan
sendiri?" pikirnya dalam hati.
Tidak bisa. Dia harus menyimpan
kekuatan untuk Jalan Kejayaan....
Beberapa saat kemudian, para anggota
keluarga Syahrir yang sudah terluka parah maju lagi dengan wajah penuh
keraguan. Namun, serangan mereka kini tidak lagi memberi tekanan besar pada
Dahlia.
No comments: