Bab 1844
"Wilayah utara lainnya, yaitu
wilayah atas. Mereka menguasai Gunung Nagari yang kaya akan bahan obat..."
"Yang ketiga adalah sebuah
organisasi pembunuh misterius, yang dikenal sebagai Paviliun Yasobi. Mereka
sangat misterius, bahkan pemilik paviliun seolah muncul dalam semalam... "
"Tapi entah apa pun kekuatannya,
dia harus berdagang dengan Renan untuk mendapatkan Api Ilahi dengan
stabil..."
Berbicara sampai sini, Wennie
mengerutkan kening dan kembali menjelaskan, "Yang paling aku khawatirkan
saat ini bukanlah Renan, tetapi Paviliun Yasobi. Mereka tersebar luas dan
pandai melacak. Konon katanya, mereka bisa menemukan siapa pun... "
Gilbert juga terlihat agak murung.
Saka mengernyit dan menjawab, "Nggak
ada yang berpikir untuk melawan ? Merebut Sungai Causta bersama-sama?"
"Itulah yang dilakukan Pak Gary.
Gunung Nagari itu awalnya adalah tanah yang dikuasai oleh Pak Gary, tapi
kemudian..."
Berbicara tentang ini, Wennie
mengepalkan tangannya.
Pada saat ini, tiba-tiba, seorang
pria paruh baya datang mengetuk pintu sambil berkata, "Dokter Wennie, ada
sesuatu yang ingin aku sampaikan."
"Apa?" sahut Wennie.
"Ada kabar dari Renan bahwa Gary
punya utang darah padanya. Utang darah tersebut harus dibayar dengan darah.
Siapa pun yang ingin bertindak curang harus membayar harganya."
Setelah mengatakannya, pria paruh
baya itu berhenti sejenak dan kembali berkata, "Sebenarnya, Tuan Muda-ku
bisa membantumu, asalkan kamu mau berjanji padanya... "
Wennie mengerutkan kening, lalu
menjawab, " Suruh dia menyerah pada niatnya yang ini."
Pria paruh baya itu menghela napas
pelan, kemudian suara langkah kaki itu menjauh.
Saat ini, Saka tiba-tiba berkata,
"Kalau begitu cuma ada satu cara."
"Apa?" tanya keduanya
seraya menatapnya.
"Ketika seseorang mati, utangnya
akan dihapuskan!
Keduanya langsung tercengang.
"Nggak, kamu nggak akan
bertarung dengan Renan, 'kan? Ada begitu banyak orang di sekitarnya,
perlindungannya sangat kuat dan tingkat kultivasinya sendiri juga nggak
lemah."
Gilbert terkejut.
"Aku nggak akan segegabah
itu," balas Saka sambil tersenyum. Dia menatap Wennie seraya berkata,
" Tolong atur tempat untukku. Aku akan berlatih di sini selama beberapa
hari."
Wennie menghela napas lega, lalu
menjawab, " Benar, kamu bisa tinggal di sini sebentar. Kita bisa
mendiskusikannya lagi nanti. Pak Gary mungkin akan datang."
Mata Saka berkedip, jadi dia hanya
bisa memaksakan dirinya dan segera meningkatkan tingkat kultivasinya...
Sementara itu, pada saat ini.
Di luar.
"Dokter Wennie masih belum mau
bicara?" tanya Julio dengan tenang.
Pria paruh baya itu menggelengkan
kepalanya pelan dan berkata, "Pak Julio, kesempatan leluhur antara tujuh
keluarga besar kita dan keluarga kerajaan akan segera terbuka. Kita benar-benar
nggak bisa menyia -nyiakan waktu... "
"Nggak akan lama lagi... "
gumam Julio. Dia berdiri dengan tangan di belakang punggungnya, lalu berkata
dengan nada dingin, "Renan itu menyimpan banyak dendam. Dia nggak akan
menyerah begitu saja dalam masalah ini. Tunggu saja sampai anak ini dikalahkan
oleh Renan, aku akan mengambil tindakan lagi. Sudah waktunya bagi Dokter Wennie
untuk menyadari kenyataannya..."
Di sisi lain.
Di samping sungai lava yang mengalir
dan mengeluarkan percikan api, sesosok tubuh kurus sedang berdiri tegak
menghadap pada sungai lava yang kuat. Dia memainkan dua Api Ilahi tingkat lima
di tangannya.
Devian dan Sandi melihat ke belakang
dengan sedikit hati-hati.
Sebuah suara yang ringan dan jelas,
terdengar samar, "Saka itu lumayan murah hati. Kenapa sangat menginginkan
Api Ilahi ini? Apa karena kalian merasa nggak puas dengan apa yang sudah aku
berikan pada kalian?"
"Pak Renan, kami... "sahut
Devian dengan ragu - ragy.
"Apå yang kamu takutkan? Ini
bisa dianggap sebagai jarahan kalian dan akan dikembalikan pada kalian."
Renan tiba-tiba berbalik, menunjukkan
wajah yang lumayan tampan, bahkan tempramennya terlihat agak feminim.
Keduanya tercengang dan menyahut
dengan heran, "Terima kasih, Pak Renan…”
Renan mengangkat tangannya, lalu
melemparkan dua Api Ilahi ke dalam aliran sungai lava yang mengalir di kakinya.
Kemudian, dia tersenyum ramah pada dua pemuda itu.
"Ambillah."
Mantap...kapan lanjutanya Lagi ... makasih Min
ReplyDeleteLanjutkan min
ReplyDelete