Bab 10
Nindi berhenti sejenak, suaranya
terdengar sopan tapi agak dingin, "Kak Nando, Kak Brando, Kak Leo."
Kalau tidak dipanggil, nanti mereka
pasti akan bilang dia sedang marah dan bersikap tidak sopan.
Sekarang, Nindi tidak punya energi
untuk debat soal itu, buang-buang waktu saja.
Leo menatapnya sambil mengangkat
alis, "Ujian hari ini gimana? Kamu lebih milih belajar keras dan nggak
ikut tim, aku jadi penasaran, seberapa bagus sih nilai kamu?"
Dengan segala hinaan dari Kak Leo,
Nindi cuma bisa diam saja. Lagi pula, apa pun yang dia lakukan, kakak-kakaknya
tidak pernah menghargainya.
Dia hanya meremas tasnya, dan
tersenyum tipis, " Aku akan berusaha."
Berusaha untuk mendapatkan nilai
lebih baik, berusaha untuk masuk ke Universitas Yasawirya, jauh dari kalian
semua.
Brando mencibir, "Nindi dari
dulu memang bukan orang yang pandai belajar. Pas SMA, nilai-nilai tinggi cuma
angan-angan. Kalau nggak salah, waktu itu, kamu malah nggak pernah bisa
ngalahin Sanía, kan? Sekarang malah baru semangat, tapi tetap aja, pasti nilai
kamu masih di bawah Sania."
Sania, yang ada di samping, tersenyum
dan berkata dengan suara lembut, "Kak Brando, jangan gitu deh. Kak Nindi
sekarang udah lebih rajin kok, gurunya aja udah puji dia. Nilai nggak bisa
nentuin semuanya, kan?"
Nindi meremas tasnya semakin kuat,
amarahnya mulai memenuhi dada.
Dulu, nilai jelek itu bukan karena
dia tidak bisa.
Namun, setiap kali Nindi mengalahkan
Sania di ujian, Sania pasti cari-cari masalah dengannya.
Dan itu yang membuat kakak-kakaknya
semakin tidak suka.
Makanya, dia sengaja mengerjakan
ujian dengan asal supaya tidak membuat masalah.
Namun, itu tidak berarti dia tidak
pintar, kan?
Waktu ujian besar, dia justru ingin
sekali mengalahkan Sania, ingin menunjukan kalau dia lebih hebat.
Tetapi apa yang terjadi?
Kak Darren malah maksa dia dan Sania
daftar di universitas yang sama, yang jelas lebih rendah kualitasnya.
Padahal dia bisa masuk universitas
yang lebih bagus dengan nilainya itu!
Pikirannya kembali ke masa lalu, dan
rasa sakit itu kembali datang. Nindi berusaha menahan emosinya, "Aku balik
ke kamar dulu."
Mata Nindi tajam, tetapi kali ini dia
tidak ingin melakukan hal bodoh lagi.
Keesokan harinya, saat hari libur
Nindi bangun tanpa alarm.
Dia turun ke bawah untuk sarapan, dan
melihat ruang keluarga kosong.
Mungkin mereka semua sudah berangkat
ke pusat pelatihan tim, pikirnya.
Nindi tidak terlalu peduli, selesai
makan, dia langsung kembali ke kamarnya.
Dia membuka ponselnya dan melihat
berita tentang pertandingan game.
Seperti yang dia duga, pengumuman
tentang Babak Penyisihan Ulang resmi dirilis.
Sama seperti kehidupan sebelumnya.
Leo merasa darahnya mendidih begitu
melihat jadwal Babak Penyisihan Ulang. Semangatnya membara, dia sudah siap
memberikan segala tenaga untuk memenangkan pertandingan ini.
Hanya dengan begini dia bisa melaju
ke babak final dan membalas dendam pada Tuan Muda keluarga Julian! 2
Namun, di kehidupan sebelumnya,
kemenangan LeSky Gaming di turnamen ini bisa dibilang hanya keberuntungan
semata. 1
Tuan Muda keluarga Julian tiba-tiba
mundur di detik -detik terakhir, dan itu memberi mereka peluang untuk meraih
juara.
Alasan kenapa Tuan Muda Julian
mundur, sampai Nindi meninggal pun, dia tidak pernah tahu.
Ada yang bilang karena sakit
mendadak, ada juga yang bilang dia dipanggil pulang untuk menjalankan bisnis
keluarga. Tapi, Tuan Muda Julian sendiri tak pernah memberikan klarifikasi.
Nindi menatap layar ponselnya,
tiba-tiba dia merasa tangan kanannya gatal untuk bermain game.
Tiba-tiba suara Cakra muncul dalam
pikirannya.
Dia sudah berjanji pada Cakra, untuk
menunggu hasil ujian sebelum memutuskan apakah dia akan bermain game atau
tidak.
'Baiklah, tahan dulu... nanti aja,
setidaknya tunggu hasil ujian bulanan keluar.'
Nindi mengambil ponselnya, dia
berpikir sebentar dan akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Cakra,
"Guru, minggu lalu aku nggak ke ruang UKS setelah pulang sekolah karena
Kak Nando tahu aku nggak pulang tepat waktu. Aku khawatir dia bakal tahu tentang
tempat rahasiaku, jadi aku nggak ke sana."
Setelah mengirim pesan itu, Nindi
menatap layar ponselnya dengan penuh harap. Namun, tak ada balasan.
Dengan rasa penasaran, dia pun
membuka profil Cakra di sosial media. Tetapi yang dia temukan hanyalah satu
garis melintang.
Pria itu benar-benar tidak pernah
meng-update status atau apa pun, ya?
'Aneh... gumam Nindi dalam hati.
Di sisi lain, Cakra sedang duduk
dengan ponsel di tangannya. Begitu melihat pesan yang masuk, matanya menyipit
sedikit.
"Kak Cakra, siapa yang kirim
pesan ke kamu?" tanya Zovan, yang duduk di dekatnya.
Cakra langsung mengunci layar
ponselnya.
Zovan mengangkat alis, "Lihat
dari foto profilnya, sepertinya cewek, ya? Yang kemarin kamu bantu, namanya...
Nindi, 'kan?"
"Udah deh, jangan banyak
tanya."
"Aku sih liatnya kamu agak nggak
enak, loh. Minggu lalu 'kan kamu sibuk di ruang UKS, eh tiba-tiba aja nggak ke
sana lagi. Sekarang muka kamu malah cemberut terus. Ada apa, sih? Jangan-jangan
kamu berantem sama dia?"
Cakra memalingkan kepala, matanya
menyiratkan ancaman, "Jangan pedulikan urusanku."
"Kita kan udah kenal dari kecil,
masa aku nggak tahu sih apa yang terjadi sama kamu? Nggak usah sok-sok nggak
ngerti!"
Cakra pun bangkit, membawa ponselnya
ke balkon. Dia menatap layar dengan tenang, membuka chat Nindi.
Ternyata, dalam pandangannya, ruang
UKS adalah " tempat rahasia" baginya?
Tanpa sadar, Cakra tertawa kecil. Dia
kemudian membuka profil sosial medianya.
Isinya kebanyakan cuma postingan
sehari-hari yang tampak seperti milik gadis-gadis muda biasa.
Cakra menghabiskan waktu cukup lama
memandanginya. Tiba-tiba dia merasa sudah terlalu lama memikirkan Nindi, dan
perasaan ini mulai terasa tak terkendali.
Akhirnya, Cakra menutup aplikasi chat
dan kembali ke ruang tamu.
Nindi menunggu sepanjang hari, tetapi
tak ada balasan.
Apa dia marah?
Namun, Nindi juga tidak berani
mengirim pesan lagi, karena khawatir akan mengganggu. Mungkin lebih baik
menunggu hingga hasil ujian bulan keluar.
Selama akhir pekan, Nindi lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah, belajar untuk ujian.
Sania dan kakak-kakaknya juga tidak
pulang, mereka langsung tinggal di pusat pelatihan tim untuk latihan.
Pagi hari Senin.
Nindi turun dari tangga dan akhirnya
bertemu dengan Sania dan kakak-kakaknya.
Hanya saja, mereka terlihat begitu
akrab, tertawa dan berbicara dengan ceria, hubungan mereka tampak semakin baik.
Nindi tidak berkata apa-apa dan
langsung berjalan ke ruang makan untuk sarapan.
Leo, dengan nada ejekan, berkata,
"Hari ini 'kan pengumuman hasil ujian, ya?"
Nindi mengangguk pelan,
"Iya."
Leo melanjutkan dengan nada yang
masih mengandung sindiran, "Aku kan udah bilang, lebih baik kamu masuk
tim, soalnya dengan nilai kamu, susah buat masuk universitas bagus. Daripada
buang waktu belajar, mending langsung latihan jadi pemain profesional. Dengan
semua sumber daya yang kita punya di Lesmana Grup, jadi terkenal cuma masalah
waktu. Sayangnya, kamu nggak manfaatin kesempatan itu, malah kamu kasih ke
Sania."
Mendengar itu, Nindi teringat
penghinaan yang dia terima di kehidupan sebelumnya, saat dia digantikan begitu
saja.
Dengan tenang, Nindi menjawab,
"Aku sih nggak masalah."
Setelah mengambil sarapan, Nindi
segera berbalik dan meninggalkan ruang makan tanpa peduli.
Melihat Nindi yang tampak begitu
cuek, Leo semakin kesal, "Aku tunggu aja hasil 'bagus' yang dia dapet
nanti, hah!"
Sania melihat Nindi yang tetap
menolak untuk bergabung dengan tim, merasa sedikit lega.
Dia tahu, Nindi memang punya bakat
dalam bermain game, dan kalau Nindi ikut, dia bisa kehilangan posisinya di tim.
Namun, dengan senyum terpaksa, Sania
berkata, " Kak Leo, jangan marah. Nindi cuma lagi ngambek aja. Nanti kalau
dia setuju masuk tim, aku langsung kasih posisinya ke dia." 1
Leo mengangguk dengan puas,
"Sania emang paling ngerti!"
Namun, senyuman di wajah Sania
tiba-tiba kaku, ada rasa ketidakpuasan yang dalam. Dia merasa sangat iri karena
selama ini sudah berusaha keras berlatih game hanya untuk mendapat pengakuan
dari Kak Leo.
Sayangnya, Kak Leo masih saja merasa
Nindi lebih unggul.
Di dalam hati, Sania sudah bertekad
untuk meraih prestasi besar di dunia game, agar Kak Leo berhenti berharap Nindi
bergabung dengan tim.
Leo terlihat sedikit khawatir, karena
babak penyisihan ulang akan datang, jika mereka kalah, maka kesempatan mereka
untuk melaju akan hilang.
Meskipun Sania berusaha keras,
sayangnya bakatnya dalam game masih kurang. Waktu untuk persiapan hanya tinggal
sebulan, dan kemampuan Sania jauh dari cukup.
Untuk bisa mengalahkan anak dari
keluarga Julian, mereka membutuhkan pemain yang benar-benar kuat.
Sekarang, Nindi adalah satu-satunya
pilihan yang mereka punya.
Namun, Leo merasa canggung untuk
memintanya. Selama ini, Nindi selalu berusaha keras untuk menyenangkan dirinya,
sikap lembut dan patuh itu sudah membuatnya terbiasa.
Leo kesulitan untuk mengubah pola
pikir dan cara mereka berinteraksi.
Nindi ini sampai kapan sih
ters-terusan marah? Harus dipaksa sampai dia yang menurunkan egonya?
No comments: